Sabtu, 26 Agustus 2017

MY ADVENTURE TO BROMO

Keinginan untuk bepergian ke Bromo sudah muncul sekitar Desember tahun 2014, namun baru Agustus niat tersebut terwujud. Tepatnya pada 14 Agustus, ditemani dua Srikandi Pamulang, Yuli dan Hesti, kami berangkat pukul 16.30 WIB dari Stasiun Pasar Senen dengan menggunakan KA. Gumarang. Setelah beberapa stasiun disinggahi, akhirnya kami tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya.
Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 03.00 WIB. Karena kami baru akan dijemput pada pukul 05.00 WIB, maka kami pun berputar-putar di sekitar stasiun. Bermula kami mencoba menyeruput kopi di luar stasiun. Kehadiran kami di sekitar stasiun langsung diserbu oleh nyamuk. Entah mengapa nyamuk begitu banyak di sekitar stasiun.
Sekitar pukul 05.00 WIB kami dijemput Mas Win. Dengan Suzuki Ertiga-nya kami segera meluncur. Tujuannya adalah Cemara Lawang. Berkat radio yang dipasang di mobil, kami bisa menghindari kemacetan lalu lintas karena ada sebuah truk kontainer terbalik menutup separuh jalan. Mas Win membawa kami ke jalur-jalur alternatif sehingga terhindar dari kemacetan.
Tak lama setelah jarum panjang menyentuh angka 12 dan jarum pendek tepat di angka7, kami tiba di Probolinggo. Kami mampir ke sebuah rumah makan yang terkenal dengan menu rawon-nya. Popularitas rumah makan tersebut bisa dilihat dari beberapa foto Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika masih menjabat presiden pernah mengunjungi dan makan di rumah makan tersebut. Malah ada klipingan koran yang memberitakan bahwa SBY memuji tempe di rumah makan tersebut. Dan setelah saya mencobanya, ternyata pujian itu bukanlah isapan jempol belaka.

Selasa, 22 Agustus 2017

MARI HENTIKAN KEBIASAAN KUMPUL KEBO

Hampir semua agama sepakat bahwa kumpul kebo itu dosa. Dalam Gereja Katolik, mereka yang kumpul kebo dikenakan sanksi Gereja, yaitu dihalangi hak-haknya atas sakramen, khususnya komuni (tapi yang bersangkutan masih boleh ikut ekaristi). Sekalipun sudah melarang, Gereja tidak punya kekuatan untuk memaksa umatnya tidak melakukan kumpul kebo. Karena itu, umat perlu juga melihat kumpul kebo ini dari sisi lain.
Dari aspek hukum. Kumpul kebo merupakan pelanggaran hukum sipil sehingga pelakunya bisa disanksi dengan hukuman penjara dan/atau denda. Selain itu pelaku kumpul kebo bisa dijerat dengan pasal perzinahan, karena tidak mungkin mereka yang kumpul kebo tidak melakukan hubungan seksual. Karena itu, warga bisa melapor jika di lingkungannya ada praktek kumpul kebo.
Dari sisi hukum, kumpul kebo merugikan kaum wanita dan anak yang lahir dari hubungan tersebut. Ibu dan anak tidak dianggap sebagai istri sah, sehingga tak berhak atas nafkah dan warisan dari “suami” jika ia meninggal, dan tak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan. Anak tidak punya hubungan hukum dengan ayah. Hal ini berdampak pada perkembangan psikologis dan sosialnya.
Dari sisi psikologis. Studi oleh Robin dan Feigers membuktikan bahwa mereka yang menikah memiliki kebahagiaan 5 kali lipat daripada mereka yang kumpul kebo. Hal senada dengan studi oleh Kurdek dan Schmitt yang menyatakan bahwa pelaku kumpul kebo memiliki derajat kepuasan lebih rendah dibandingkan dengan pasangan menikah. Dari hasil studi ini terlihat bahwa kumpul kebo bertentangan dengan niat orang untuk hidup bersama, yaitu bahagia bersama.
Dari dua aspek ini, bisa disimpulkan bahwa kumpul kebo itu merugikan, khususnya bagi wanita dan anak. Karena itu, hentikanlah kumpul kebo mulai sekarang. Kaum wanita harus berani mengambil sikap untuk menolak kumpul kebo.

by: adrian

Sabtu, 19 Agustus 2017

My Adventure to Bromo: Sunrise in penanjakan #2

Renungan Hari Minggu Biasa XX Thn A

Renungan Hari Minggu Biasa XX, Thn A
Bac I    Yes 56: 1, 6 –7; Bac II    Rom 11: 13 – 15, 29 – 32;
Injil      Mat 15: 21 – 28;
Tema sabda Tuhan hari ini adalah kasih Allah melampaui batas ruang dan waktu. Dalam Injil, tema ini terlihat dalam sikap Tuhan Yesus yang menyembuhkan putri seorang perempuan Kanaan. Orang Kanaan tidak termasuk golongan orang Yahudi. Mereka bangsa asing. Karena itulah, awalnya Yesus menegaskan tugas perutusan-Nya hanya ditujukan kepada “domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (ay. 24). Akan tetapi, perempuan Kanaan itu, demi anaknya, bersikukuh memohon belas kasih Allah dari Yesus. Dia yakin bahwa dirinya, terlebih anak perempuannya, bisa juga menikmati kasih Allah. Keyakinan itulah yang menjadi pegangan Yesus untuk memberikan rahmat kesembuhan.
Sikap Tuhan Yesus dalam Injil, terlihat dalam diri Paulus. Dalam bacaan kedua, Paulus menegaskan bahwa dirinya adalah “rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (ay. 13). Dengan kata lain, Paulus mau menunjukkan bahwa kasih Allah yang mendatangkan keselamatan bagi umat manusia tidak hanya ditujukan kepada bangsa Yahudi saja. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menegaskan bahwa “Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.” (ay. 29). Ketidak-taatan bangsa Yahudi membuat bangsa lain menikmati kemurahan Allah (ay. 30).
Nabi Yesaya, dari jaman Perjanjian Lama, juga sudah menubuatkan sikap Allah yang terbuka bagi bangsa asing. Dalam bacaan pertama, Yesaya menyampaikan bahwa ada orang-orang asing menggabungkan diri kepada Tuhan untuk melayani dan mengasihi Tuhan. (ay. 6). Mereka akan mendapatkan perhatian dari Tuhan (ay. 7). Dengan kata lain, orang-orang asing yang percaya kepada Allah akan mendapat perhatian dari Allah. Hal ini sama seperti perempuan Kanaan dalam Injil.
Sabda Tuhan hari ini pertama-tama mau menyadarkan kita bahwa kasih Allah yang menyelamatkan itu ditujukan kepada semua bangsa manusia. Kasih-Nya tidak dibatasi oleh sekat primordialisme, apakah itu suku, ras, agama jenis kelamin, bangsa atau juga golongan. Melalui sabda-Nya ini, Tuhan hendak menyampaikan kepada kita dua pesan, pertama jangan pernah merasa sombong atas kekristenan yang dimiliki. Orang kristen harus sadar bahwa Kristus hadir membawa keselamatan bukan hanya untuk orang kristen saja, tetapi untuk semua umat manusia. kedua, orang kristen hendaknya mengambil sikap seperti Allah, tidak hidup untuk diri dan kelompoknya saja. Orang kristen diminta untuk menyalurkan kasih Allah kepada semua umat manusia.

by: adrian

My Adventure to Bromo: Cemara Lawang

Rabu, 16 Agustus 2017

PAUS FRANSISKUS: KATEKESE ADALAH PANGGILAN PELAYANAN, BUKAN PEKERJAAN

Katekis dipanggil untuk menjalankan misi mereka sebagai sebuah pelayanan, dengan mewartakan Injil melalui tindakan nyata daripada memperlakukannya sebagai sebuah pekerjaan saja. Demikian ungkap Paus Fransiskus pada sebuah konferensi tentang katekese di Argentina.
Seperti Santo Fransiskus, yang mewartakan Injil melalui perbuatannya, “panggilan dan tugas katekis” menjadi nyata ketika “kita mengunjungi orang miskin, membantu anak-anak dan memberi mekanan kepada orang miskin,” papar Paus Fransiskus kepada para peserta konferensi.
“Sebenarnya, menjadi katekis adalah penggilan pelayanan di Gereja, sesuatu yang telah diterima sebagai pemberian dari Tuhan yang pada gilirannya harus diberikan kepada orang lain,” pesan Paus Fransiskus. Pesan tersebut ditujukan kepada Uskup Agung Ramon Dus dari Resistencia, Argentina, Ketua Komisi Kateketik Waligereja Argentina. Komisi tersebut menyelenggarakan simposium internasional tentang katekese yang berlangsung di Universitas Kepausan Katolik Argentina di Buenos Aires, 11 – 14 Juli 2017.
Dalam suratnya, Paus Fransiskus mengatakan bahwa agar para katekis dapat secara efektif mewartakan Injil, mereka harus terus menerus kembali ke pewartaan pertama atau “kerygma” yang merupakan karunia yang mengubah hidup mereka.
Kerygma adalah sebuah kata bahasa Yunani yang berarti “memberitakan Injil”, yang “tidak hanya digaungkan lagi dan lagi dalam kehidupan kristen, tetapi terlebih lagi pada diri mereka yang dipanggil untuk mewartakan dan mengajarkan iman,” papar Paus Fransiskus.
“Pewartaan ini harus menyertai iman yang sudah ada dalam religiusitas masyarakat kita,” pesan Paus Fransiskus. Dengan berbuat demikian, karunia iman dapat bertumbuh sehingga tindakan dan kata-kata mencerminkan anugerah menjadi murid Yesus. Seorang katekis, lanjut Paus Fransiskus, tidak memulai dari gagasan dan seleranya sendiri melainkan berjalan dari dan bersama Kristus.
sumber: UCAN Indonesia

Senin, 14 Agustus 2017

KUMPUL KEBO DI MATA GEREJA KATOLIK

Menikah merupakan sebuah tindakan hukum. Artinya, orang yang menikah harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku agar dengan demikian pernikahannya menjadi sah. Dalam Gereja Katolik orang katolik yang menikah diatur oleh tiga hukum sekaligus, yaitu hukum ilahi/kodrat, hukum gereja dan hukum sipil. Semua ini demi legalitas hasil dari tindak menikah itu. Di Indonesia, pernikahan itu sah jika sudah diresmikan oleh agama (bdk. UU Perkawinan No 1 Thn 1974, pasal 2 ayat 1). Di luar itu, pernikahan yang dilangsungkan adalah tidak sah.
Akan tetapi, masih ada orang yang bertindak di luar hukum, khususnya dalam hidup bersama. Mereka hidup bersama di luar pernikahan, atau tanpa menikah. Ini dikenal dengan istilah kumpul kebo. Jadi, kumpul kebo adalah orang yang hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan resmi pernikahan. Hampir semua agama melarang umatnya untuk kumpul kebo. Bagaimana sikap Gereja Katolik?

Bagi Gereja Katolik, tindakan kumpul kebo merendahkan martabat pernikahan, karena mereka merusak konsep keluarga, melemahkan nilai kesetiaan dan demikian melawan hukum moral. Umumnya orang mengerti bahwa keluarga itu terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan segala efeknya. Kumpul kebo mengacaunya karena anak yang lahir tidak mendapat pengakuan resmi. Kumpul kebo tidak punya ikatan yang kuat sehingga merusak nilai kesetiaan di antara mereka sendiri serta berpeluang punya simpanan lain. KGK 2390 menegaskan bahwa kumpul kebo melanggar hukum moral, karena persetubuhan hanya boleh dilakukan di dalam pernikahan; di luar itu persetubuhan merupakan dosa berat dan mengucilkan dari penerimaan komuni kudus. Kumpul kebo merupakan sebuah dosa, yaitu dosa perzinahan.
by: adrian

Jumat, 11 Agustus 2017

INI DASAR PENOLAKAN JENAZAH PENDUKUNG AHOK

Di sela-sela kampanye Pilgub DKI Jakarta lalu, ada satu peristiwa unik yang menggelitik nalar dan hati nurani saya. Peristiwa itu adalah penolakan untuk menshalatkan jenazah orang yang mendukung calon Gubernur Petahana, Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok. Peristiwa ini hadir dalam dua kejadian, yaitu menolak jenazah Hindun bin Raisan (77 tahun) dan Ulfie Supiati binti Muhammad Undu (73 tahun), serta munculnya spanduk-spanduk yang berisi ajakan untuk tidak menshalatkan jenazah orang yang memilih Ahok.
Ketika mendengar berita tersebut, awalnya saya tidak percaya: masak agama islam, yang terkenal sebagai agama rahmatan lil alamin, mengajarkan hal seperti itu. Saya mencoba mengikuti perkembangan masalah ini di media dengan satu pertanyaan dasar: apa dan bagaimana sikap MUI terhadap hal ini. Pertanyaan ini bertujuan untuk mencari penegasan apakah sikap penolakan yang diambil oleh umat islam itu sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Hingga pilkada selesai, dan dimenangi oleh pasangan Anies Sandi, saya tidak menemukan adanya pernyataan sikap MUI. Sama sekali tidak ada reaksi dari MUI. Reaksi justru datang dari kepolisian.
Karena itu, kesimpulan awal saya adalah penolakan untuk mendoakan jenazah pendukung Ahok itu sudah sesuai dengan ajaran agama islam. Akan tetapi, akal sehat saya belum bisa menerima hal tersebut. Saya tidak percaya apa benar agama islam mengajarkan hal itu. Rasa penasaran membuat saya mencoba mempelajari ajaran islam. Salah satu inti ajaran agama islam adalah Al Quran. Maka, saya langsung menelusuri kitab itu untuk mencari apakah memang ada pendasarannya.
Akhirnya saya menemukan satu ayat yang bisa dijadikan dasar bagi umat islam untuk menolak menshalatkan jenazah pendukung Ahok. Dalam surah At-Taubah ayat 84 tertulis, “Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”

Setijab Paroki Koba Rasa Sambutan Mgr. Yuwono

Rabu, 09 Agustus 2017

PAUS FRANSISKUS: APA SAJA YANG TUHAN PERCAYAKAN KEPADA KITA DIMAKSUDKAN UNTUK SEMUA ORANG

Masyarakat Internasional tidak boleh tutup mata atau berdiam diri menghadapi penderitaan orang-orang yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi, yang seringkali disebabkan oleh ketidak-pedulian dan keegoisan. Demikian tegas Paus Fransiskus dalam sebuah pesan untuk konferensi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, 3 Juli 2017.
Dalam pesan itu juga Paus Fransiskus mengatakan bahwa perang, terorisme dan pemindahan paksa bukanlah “hal yang tak terelakkan, melainkan konsekuensi dari keputusan konkret” yang menyebabkan kurangnya makanan dan nutrisi yang memadai bagi mereka yang tidak berdaya.
“Kita berhadapan dengan mekanisme yang kompleks yang membebani mereka yang paling rentan, yang tidak hanya dikucilkan dari proses produksi, tapi sering terpaksa meninggalkan tanah mereka untuk mencari perlindungan dan harapan,” pesan Paus Fransiskus, yang disampaikan Kardinal Pietro Parolin, Sekretaris Vatikan.
Dalam pesan itu Paus Fransiskus mengungkapkan keinginan Tahta Suci untuk membantu masyarakat internasional “mempromosikan tidak hanya kemajuan atau tujuan pembangunan secara teori, melainkan penghapusan kelaparan dan kekurangan gizi yang sesungguhnya.”
“Kita semua menyadari bahwa niat untuk menyediakan roti setiap hari bagi semua orang tidak cukup. Sebaliknya, ada kebutuhan untuk menyadari bahwa semua memiliki hak untuk itu dan karenanya mereka harus mendapatkan keuntungan darinya,” ujar Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus juga mengatakan bahwa permintaan yang tidak terpenuhi untuk memerangi kekurangan gizi “sangat bergantung pada kurangnya budaya solidaritas.” Paus Fransiskus menambahkan bahwa tujuan pembangunan masyarakat internasional harus mengakui “bahwa hak setiap orang untuk bebas dari kemiskinan dan kelaparan bergantung pada kewajiban seluruh keluarga manusia untuk memberikan bantuan praktis kepada mereka yang membutuhkan.”
“Karena apa saja yang Tuhan percayakan kepada kita dimaksudkan untuk semua orang. Ada kebutuhan mendesak akan solidaritas untuk menjadi kriteria yang mengilhami semua bentuk kerja sama dalam hubungan internasional,” pungkas Paus Fransiskus.
sumber: UCAN Indonesia

Senin, 07 Agustus 2017

KAUM MUDA, JANGAN MAU NIKAH MUDA

Hukum Gereja membolehkan pria yang sudah genap 16 tahun atau wanita yang sudah genap 14 tahun untuk menikah (bdk. Kan. 1083). Namun perlu disadari bahwa penentuan usia ini semata-mata dari sudut biologis-seksual saja. Kematangan psikologis jauh lebih penting dan esensial daripada kematangan fisik-biologis. Karena ini, pada kanon 1072 para pastor diminta untuk menjauhkan kaum muda dari pernikahan dini. Dengan kata lain, Gereja menghendaki agar kaum remaja dan kaum muda katolik tidak terjebak dalam pernikahan usia muda.
Ada banyak alasan kenapa pernikahan dini harus dihindari. Pertama-tama mental dan kepribadian pasangan muda belum siap untuk menjalani hidup rumah tangga. Umumnya pasangan muda ini terbuai dengan indahnya romantisme pacaran sehingga berpikir seperti itulah kehidupan rumah tangga kelak.
Karena ketidak-siapan mental dan kepribadian itu, maka pernikahan dini sangat rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Cepat atau lambat indahnya romantisme masa pacaran akan sirna dan berubah menjadi pahitnya prahara. Biasanya korbannya selalu kaum wanita (istri) dan anak.
Pernikahan dini berdampak pada kesehatan, khususnya kaum wanita. Sebuah studi mengungkapkan bahwa wanita yang menikah pada usia 10 – 14 tahun memiliki kemungkinan meninggal 5 kali lebih besar selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan yang menikah di usia 20 – 25 tahun. Sementara itu, yang menikah pada usia 15 – 19 tahun memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar. Penelitian lain, wanita yang menikah di usia muda rentan terhadap kanker serviks.
Alasan lain adalah terputusanya akses pendidikan. Pernikahan dini mengakibatkan anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak juga pada kehidupan rumah tangga dan pola asuh anak.

Karena itu, hindarilah niat menikah di usia muda. Siapkanlah diri matang-matang sebelum memasuki hidup rumah tangga.

by: adrian

Sabtu, 05 Agustus 2017

TETAP JAGA TOLERANSI

Pada suatu pesta, di halaman sebuah gereja, pada tanggal 14 Mei 2017, suara musik menggelegar. Ramai orang bergoyang-ria mengikuti dendang irama. Muda – tua, anak-anak hingga orangtua, pria maupun wanita, bercampur-baur di lantai dansa dalam sukacita. Mereka tertawa dalam suara dentuman musik memekakkan telinga.
Tak terasa hari beranjak senja. Pukul 17.50 ketua panitia meminta pesta dihentikan segera. Musik pun berdiam. Ketua menyampaikan bahwa tak lama lagi azan maghrib akan berkumandang. Suasana pesta dan suara musik harus dijaga untuk menghormati dan menghargai saudara yang akan berdoa. Demi teleransi, kata ketua panitia.
Seorang pemuda agak kecewa dengan keputusan ketua. Dia masih ingin bersukaria bersama irama musik yang dia suka. Dia datang kepada saya, ungkap rasa kecewa. “Kenapa kita yang harus toleransi, sementara mereka tidak? Mereka selalu menggangu kita dengan suara TOA yang membahana.” Itulah yang dia kata. Saya hanya tersenyum saja.
Kupanggil dia duduk di samping saya. Dengan lembut saya sampaikan bahwa jika kita juga menggangu mereka dengan dentuman irama sukaria, apa bedanya kita dengan mereka. Kalau mereka dikenal sebagai teroris, apakah kita juga harus jadi teroris. Apabila mereka jahat, apakah kita juga demikian juga. Maka, saya tegaskan bahwa kita berbeda dengan mereka. Beda itu ada pada ajaran agama kita.
Yesus Kristus telah mengajarkan para murid-Nya untuk menghargai dan menghormati sesama. “Apa yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” (Lukas 6: 31). Demikian Yesus bersabda. Maka, bila kita ingin dihormati, maka hormatilah orang. Apabila kita mau orang tidak menggangu kita, maka janganlah menganggu orang lain.
Pemuda tadi lantas angkat bicara. Kenapa mereka terus menganggu kita dengan suara TOA, padahal kita tidak pernah menggangu mereka. Itulah yang dia kata. Apa yang dia kata adalah benar adanya. Itulah fakta yang ada. Banyak orang terganggu dengan suara TOA yang ada, tapi mereka diam seribu basa. Mungkin takut menghadapi massa yang marah. Tentu kita pernah dengar tragedi Tanjung Balai Asahan, dimana kelenteng dan vihara dibakar massa yang marah. Semuanya berawal pada suara TOA.
Kembali saya tegaskan bahwa kita beda dengan mereka. Dan beda itu ada pada ajaran agama kita. Yesus pernah berkata, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu.” (Matius 5: 39). Selain itu, Yesus juga bersabda, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Sungguh perbedaan yang nyata antara kita dan mereka.
Ajaran Yesus Kristus ini kembali ditegaskan oleh para rasul-Nya. Paulus, dalam suratnya kepada umat di Roma, berkata, “Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!” (Roma 12: 17). Dan dalam suratnya yang pertama kepada umat di Tesalonika, Paulus juga berkata, “Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.” (1Tesalonika 5: 15). Rasul Petrus juga tak mau ketinggalan. Dalam suratnya yang pertama dia berkata, “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan ..., tetapi sebaliknya hendaklah kamu memberkati.” (1Petrus 3: 9).
Pemuda itu menunduk kepala mendengar yang saya kata. Dalam diam mungkin dia merenung setiap kata yang saya sampaikan. Tak terlihat lagi wajah kecewa pada mukanya. Dengan gembira dia melangkah pulang ke rumah.
Koba, 16 Mei 2017
by: adrian
baca juga tulisan lain:

MENGASAH MINAT & BAKAT ANAK SEJAK DINI

Ada alasan kenapa pakar psikologi dan pendidikan anak selalu menekankan pentingnya pemberian stimulus pada anak-anak sejak usia dini. Bahkan ada pula yang mengatakan stimulus tersebut bisa diberikan sejak anak masih berada dalam rahim ibu. Semuanya ini dikarenakan pemberian stimulus berpengaruh terhadap masa depan anak.
Jovita Maria Ferlina, MPsi, psikolog dari Little Shine Daycare, mengatakan anak wajib mendapatkan berbagai macam stimulus sejak dini untuk mengasah bakat dan minatnya. Jika bakat dan minat tidak diasah, anak bisa kehilangan arah hidup hingga tak memiliki tujuan.
“Kalau anak tidak tahu bakatnya apa, dia akan kesulitan menentukan goals dan kebingungan saat beranjak dewasa. Makanya, kita lihat ada anak sudah lulus SMA tetapi bingung menentukan jurusan dan pilihan kuliah.” Ungkap Jovita, dalam sebuah acara di Jakarta Selatan.
Hal inilah yang membuat Jovita mengambil tema creativpreneur saat menjalankan daycare di kantor produsen pocari sweat ini. Creativpreneur mengenalkan anak kepada bermacam-macam jenis kecerdasan, yang diharapkan mampu membuat anak bersaing di masa depan. Dengan creativpreneur, anak akan mampu menemukan dan mengungkapkan ide dan gagasan yang dimilikinya. Ide dan gagasan tersebut muncul sesuai dengan bakat dan minat serta jenis kecerdasan yang menonjol pada diri anak.
Satu nasehat bagi orangtua adalah agar orangtua menerapkan sistem demokrasi dalam mendidik anaknya. Pemberian stimulus kepada anak bisa sejalan dengan gaya demokrasi dalam pola asuh anak. Orangtua jangan terlalu mengekang atau menentukan bahwa anak harus ini atau itu.
sumber: Detik Health
Baca juga:

Kamis, 03 Agustus 2017

PAUS FRANSISKUS: ORANG KRISTEN TIDAK PERGI KE PERAMAL

Kehidupan kristen adalah jalan yang dilalui pria dan wanita, dipanggil untuk dipimpin oleh Tuhan, bukan beralih ke paranormal dan horoskop dengan harapan bisa mengetahui apa yang ada di depan. Demikian ungkap Paus Fransiskus dalam misa pagi di Domus Sanctae Marthae, 26 Juni.
Seperti Yesus, yang dilucuti dari segala sesuatu dan dipaku di kayu salib, orang-orang kristiani dipanggil untuk ‘melucuti’ rasa nyaman dan mengikuti panggilan Tuhan, meskipun mereka tidak tahu ke mana arahnya. “Seorang kristen tidak memiliki horoskop untuk melihat masa depan,” kata Paus Fransiskus. “Dia tidak pergi ke peramal dengan bola kristal atau membaca telapak tangannya. Tidak, tidak. Dia tidak tahu kemana dia pergi. Dia dibimbing.”
Dari nabi-nabi Perjanjian Lama hingga murid-murid Perjanjian Baru, mengikuti Tuhan selalu menyiratkan sebuah panggilan untuk memulai dan percaya pada rencana Allah. Gaya hidup orang Kristen adalah perjalanan menuju Tanah Perjanjian.
“Kita adalah pria dan wanita yang berjalan menuju sebuah janji, menuju suatu perjumpaan, menuju suatu – sebuah negeri yang Tuhan sampaikan kepada Abraham – yang kita terima sebagai warisan,” ujar Paus Fransiskus.
Percaya pada Tuhan berarti bersikap terbuka terhadap “kejutan dari Tuhan” bahkan hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti penyakit atau kematian orang yang dicinai. Akan tetapi, orang Kristen juga harus hidup dengan percaya diri bahwa apa pun yang terjadi sepanjang perjalanan, Tuhan akan membawa mereka “ke tempat yang aman.”
Paus Fransiskus mengatakan bahwa dalam mengikuti teladan Abraham, orang kristen dapat berjalan di sepanjang jalan hidup untuk memuji Tuhan dan memberkati mereka yang dijumpai di sepanjang jalan. “Kehidupan Kristen sesederhana itu,” pungkas Paus Fransiskus..
sumber: UCAN Indonesia

Selasa, 01 Agustus 2017

MENIKAH ITU = BERSEKOLAH

Orang selalu bilang bahwa tidak ada sekolah khusus yang mengajar atau mendidik orang untuk menjadi suami istri atau ayah ibu. Hal ini disebabkan karena orang melihat sekolah secara harafia, yaitu adanya gedung, kurikulum, guru dan proses belajar mengajar. Akan tetapi, dalam pengertian umum, sebenarnya menikah itu sama artinya dengan bersekolah. Keluarga adalah sekolahnya.
Memang pada sekolah khusus ada guru yang mengajar, dan murid belajar. Namun ada kesamaan mendasar, yaitu setiap pesertanya (murid di sekolah, dan suami istri di keluarga) dituntut untuk BELAJAR. Dengan belajar orang akan mendapatkan tujuannya. Seorang murid menjadi pintar dengan mendapat nilai bagus atau lulus ujian; suami istri mendapatkan kesejahteraan bersama.
Proses belajar dalam pernikahan dilakukan sendiri. Ini bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu membaca, baik buku-buku tentang kehidupan keluarga, yang bisa ditemukan di toko buku, maupun kitab suci. Ada banyak buku yang akan menuntun pada terciptanya kebahagiaan rumah tangga, bagaimana merawat dan mendidik anak, bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga, dan masih banyak lainnya. Kitab suci juga memuat pedoman bagi suami istri. Semuanya tergantung pada kemauan untuk membaca.
Bisa juga ditempuh dengan bertanya kepada mereka yang sudah berpengalaman. Pepatah mengatakan, ‘malu bertanya sesat di jalan’. Ketika menikah orang hanya diliputi oleh romantisme pacaran dan idealisme. Masih ada banyak hal yang belum diketahui. Karena itu, tidak salah jika bertanya kepada yang berpengalaman. Hal ini bisa dilakukan secara gratis, bisa juga berbayar (misalnya, konsultasi pada ahli keluarga).

Cara ketiga adalah refleksi diri. Refleksi itu ibarat bercermin. Ketika menemukan ada kekurangan dalam diri kita di cermin, kita segera membenahinya. Kita sendirilah yang membenahinya. Demikian pula dalam hidup keluarga. Jika ada yang kurang, langsung diberesi.
by: adrian

SEMINAR KELUARGA: MENGOLAH KONFLIK JADI BERKAT

BANYAK YANG DIUNDANG, SEDIKIT YANG DATANG