Kamis, 07 Mei 2015

Maria Teladan Iman

BUNDA MARIA SEBAGAI TELADAN IMAN
Dalam Gereja Katolik, bulan Mei selalu dipersembahkan kepada Bunda Maria. Karena itu, bulan Mei dikenal juga sebagai Bulan Maria. Salah satu harapan Bapa-bapa Gereja, dengan penetapan bulan Mei sebagai Bulan Maria, adalah agar umat semakin mendekatkan diri pada Bunda Maria. Umat diajak menimba berbagai teladan hidup Bunda Maria. Salah satunya adalah teladan iman.
Secara sederhana iman dapat dipahami sebagai sikap berserah diri kepada kehendak Allah. Apapun yang terjadi, semuanya sesuai dengan kehendak Allah. Dan inilah yang terlihat dalam diri Bunda Maria.
Bila diperhatikan kehidupan Bunda Maria, kita dapat melihat sikap imannya itu. Dari awal perkenalan akan rencana keselamatan (warta gembira) hingga akhir (wafat Sang Putera), Bunda Maria menunjukkan sikap iman itu. Pada waktu menerima kabar sukacita dari Malaikat Gabriel, Bunda Maria sadar akan konsekuensi dari keputusannya. Akan tetapi semuanya diserahkan kepada Allah. “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu itu.”
Dalam tradisi Gereja, pernyataan Bunda Maria kepada Malaikat Gabriel kembali terulang ketika ia menerima jenasah Puteranya yang baru diturunkan dari salib. Dikatakan bahwa setelah menurunkan tubuh Yesus dari salib, Yusuf dari Arimatea meletakkan jenasah itu ke pangkuan Bunda Maria. Inilah yang melahirkan figur patung pieta. Setelah menerima jenasah puteranya, Bunda Maria berkata, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”
Bunda Maria tidak berontak atau protes atas apa yang terjadi pada dirinya, sekalipun semua itu tidak sesuai dengan keinginannya. Tentu dia tidak ingin hamil sebelum menikah. Bunda Maria sadar betul konsekuensi bagi seorang perempuan jika ketahuan hamil sebelum menikah. Tentulah ia akan dituduh berzinah. Dan orang yang berzinah akan dihukum rajam. Tapi karena semua itu merupakan kehendak Allah, Bunda Maria menerimanya dengan takwa.
Demikian pula ketika puteranya dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib. Bunda Maria tidak protes atau berontak atas apa yang menimpa puteranya sekalipun dia tahu tidak ada kesalahan pada puteranya. Bunda Maria tidak menuntut Pilatus atau Kayafas. Dengan tenang Bunda Maria menerima semuanya itu dengan penuh iman. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”
Sikap iman Bunda Maria ini mirip dengan sikap iman Abraham. Seperti yang sudah diketahui, Abraham mengikuti saja perintah Allah, termasuk mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal. Ishak didapat dengan susah payah, butuh waktu yang lama. Ishak merupakan wujud janji Allah kepada Abraham tentang keturunannya. Abraham tidak protes atau berontak kepada Allah. Ia berserah kepada kehendak Allah, sehingga ia mau mempersembahan putera tunggalnya. Karena itulah Abraham dikenal sebagai Bapa Kaum Beriman.
Pengalaman hidup yang dialami Bunda Maria bisa saja sering kita alami. Bukan tidak mungkin, dalam kehidupan kita sering mengalami persoalan hidup atau peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Pasti dalam hidup kita pernah mengalami kegagalan, kesedihan, kekecewaan dan lain sebagainya. Tak jarang kebanyakan kita menyikapinya dengan marah, berontak lari dari masalah atau putus asa.
Bunda Maria adalah contoh teladan iman. Dari padanya umat dapat menimba teladan imannya. Menghadapi persoalan-persoalan hidup yang sering tidak sesuai dengan harapan dan keinginan pribadi, kita diajak untuk menyerahkannya kepada kehendak Allah. “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Kita diajak untuk berserah diri kepada Tuhan. Di balik semua peristiwa hidup, ada rencana Tuhan atas diri kita.
Memang hal ini tidaklah mudah. Menuntut sikap berserah sesuai kehendak Allah, sementara kehendak Allah itu bertolak belakang dengan keinginan kita, terasa amat sangat sulit. Namun bukan lantas berarti kita langsung menyerah. Sikap menyerah berarti kalah. Sementara dalam sikap berserah ada secercah harapan. Untuk ini kita sebenarnya mempunyai banyak saksi, seperti yang diutarakan penulis Kitab kepada Orang Ibrani (Ibr 11 – 12).
Saya cukup tersentuh dengan pernyataan iman seorang ibu tua di Jakarta ketika menghadapi peristiwa duka. Suaminya yang tercinta dipanggil Tuhan. Ibu itu sudah lama menderita sakit stroke, sementara suaminya masih segar bugar. Tapi jalan hidup manusia tidak ada yang tahu. Tuhan memanggil sang suami lebih dahulu. Tentu kebanyakan orang, termasuk ibu itu, akan berpikir kenapa bukan ibu itu yang lebih dahulu meninggal. Bukankah dia sudah sakit-sakitan.
Ketika saya menyalaminya dan mengucapkan belasungkawa, ibu itu berkata, “Tuhan menghendaki demikian.” Dia sedih tapi menyerahkankan semuanya kepada Tuhan. Terus terang saya cukup kaget mendengar pernyataan ibu itu. Awalnya saya berpikir dia akan berkata, “Kenapa bukan saya yang dipanggil?”
Batam, 30 April 2015
by: adrian

Orang Kudus 7 Mei: St. Gisela

SANTA GISELA, PENGAKU IMAN
Informasi mengenai orang kudus ini sangat terbatas. Yang jelas Gisela adalah Ratu Hungaria dan ibu dari Santo Emerik. Dengan rajin, ia memajukan karya evangelisasi di seluruh Hungaria. Ada banyak orang yang tidak suka dengan kegiatan Gisela ini, namun mereka tidak berani menghalangnya karena segan kepada sang raja. Sepeninggal suaminya, ia dipenjarakan agar tidak terus mewartakan Injil Kristus. Tetapi kemudian ia dibebaskan oleh Kaisar Jerman dan menjadi pemimpin suatu biara.
sumber: Iman Katolik
Baca juga riwayat orang kudus 7 Mei:

Renungan Hari Kamis Paskah V - B

Renungan Hari Kamis Paskah V, Thn B/I
Bac I  Kis 15: 7 – 21; Injil                   Yoh 15: 9 – 11;
Bacaan pertama hari ini merupakan kelanjutan dari bacaan pertama kemarin. Dikisahkan bahwa Paulus dan Barnabas tiba di Yerusalem dan menyampaikan persoalan yang terjadi di Antiokia. Para rasul kemudian mengadakan “konsili” untuk membicarakan hal itu. Hari ini bacaan pertama memuat pidato singkat Petrus dan Yakobus setelah konsili. Intinya adalah bahwa Roh Kudus berkarya juga bagi bangsa-bangsa lain dengan tidak mengadakan perbedaan (ay. 8 – 9). Oleh karena itulah, jemaat diminta untuk memiliki semangat seperti Roh Kudus itu, yaitu terbuka pada siapa saja yang hendak menerima Tuhan Yesus (ay. 19).
Semangat keterbukaan menerima sesama tanpa memaksakan kehendak merupakan ciri adanya kasih. Injil hari ini berbicara tentang kasih. Kepada para murid-Nya Tuhan Yesus menegaskan bahwa Dia telah mengasihi mereka. Tuhan Yesus tidak memandang status, jabatan, kepribadian atau lainnya. Kasih-Nya bersifat universal. Dan Tuhan Yesus meminta para murid untuk tinggal dalam kasih-Nya (ay. 9). Itu berarti mereka musti bersikap terbuka dalam menerima sesama. Dan itulah yang direfleksikan para rasul dalam konsili yang terlihat dalam bacaan pertama.
Melalui sabda-Nya, Tuhan mau menyadarkan kita bahwa Tuhan telah mengasihi kita, tanpa peduli keadaan kita. Sekalipun kita berdosa, Tuhan tetap mengasihi. Dan Tuhan juga meminta supaya kita tinggal di dalam kasih-Nya. Terlihat jelas bahwa Tuhan menghendaki agar kita memiliki sikap terbuka dalam menerima orang lain tanpa membeda-bedakan. Justru kita diajak untuk bisa menghargai perbedaan itu. Namun, perlu disadari bahwa perbedaan itu bukan sebagai biang perpecahan, melainkan kekayaan yang dapat berguna dalam membangun Kerajaan Allah.

by: adrian