CITA-CITA
WARNI
Sebenarnya Minah ogah tahun baruan ke kampung suaminya. Bukan
lantaran capeknya atau belum adanya toilet di rumah mertuanya. Kasus yang
terakhir ini sudah dianggap biasa oleh Minah. Ini karena sudah berkali-kali dia
dan suaminya pergi ke sana, baik sebelum si buah hati lahir maupun sesudahnya.
Pokoknya acara akhir tahun mereka habiskan di rumah orang tua suaminya. Hanya
baru sekali saja mereka pergi ke Yogya (Jawa), ke kampung halaman Minah.
Waktu itu Mawarni, si buah hati, baru berusia setahun.
Yang membuat Minah tidak suka adalah karena mertua
perempuannya (ibu dari suaminya) selalu mengajari yang aneh-aneh kepada
cucunya. Salah satunya soal cita-cita masa depan Mawarni. Mosok sebagai nenek bukannya senang
mendengar cita-cita cucunya, malah mengejek atau melarang.
Misalnya, pernah Warni menyebut keinginannya untuk menjadi
guru. Karena menurut Warni guru itu pastilah orang hebat dan pintar. Dari guru
lahir orang-orang besar seperti gubernur, bupati, mentri bahkan sampai
presiden. Seandainya tidak ada guru, tentu juga tidak ada orang-orang seperti
itu, demikian pikiran Warni. Mendengar celoteh sang cucu, si nenek bukannya
bangga tapi malah mengejek. Guru itu miskin-miskin. Tak ada yang kaya, jelas si
nenek.
“Bagaimana nanti kamu membalas budi jasa orang tua? Untuk
dirimu saja atau keluarga saja sudah susah, apalagi untuk ayah dan ibumu.
Jangan! Jangan deh jadi guru. Sengsara nanti hidupmu.”
“Kalo gitu, jadi.. pramugari saja deh,” alih Warni. “Jadi
pramugari enak, Nek. Bisa terbang ke mana-mana. Bisa keluar negri.”
“Waduh Cu, jangan jadi pramugari. Entar gimana ngurusin
keluarga. Anak-anak bisa terlantar. Mosok tega amat ngelantarin anak-anak. Kamu
enak di sono, di sini anak-anak terlantar. Lagi pula keluarga bisa berantakan.
Suami nanti bisa main sama wanita lain saat kamu pergi.”
Begitulah nasehat-nasehat nenek pada cucunya. Hal ini membuat
Minah jengkel dan kesal pada mertua perempuannya. Pernah ia mendapati Warni
kebingungan dengan cita-citanya. Minah jadi cemas, jangan-jangan anaknya nanti
hidup tanpa punya cita-cita.
“Sudahlah, nggak usah dibawa ke hati omongan ibuku itu,“
nasehat suaminya saat mereka mulai berkemas-kemas untuk berangkat. “Toh,
nanti kalo udah besar, Warni bisa menentukan sendiri jalan hidupnya. Dia kan
nggak kecil terus.”
“Tapi Bang, cita-cita itu perlu ditanam sejak kecil. Bung
Karno saja meng-anjurkan supaya mengantungkan cita-cita setinggi langit.”
“Kadang cita-cia pada masa kecil pun tidak terlaksana.
Berubah setelah dewasa. Aku dulu sebenarnya bercita-cita jadi tentara, tapi
kini... cuma puas jadi pekerja pabrik.”
“Itu lantaran ibumu melarang kamu jadi tentara, kan? Tentara
itu kejam. Kerjanya membunuh orang, malah warga sebangsa sendiri. Kalo nggak
membunuh, ya ngamilin anak gadis orang.”
“Lho,” sang suami kaget, “Dari mana kau tau?”
“Ibumu sendiri yang cerita.”
“Ya sudah. Pokoknya kita berangkat. Aku mesti bilang apa pada
orang tuaku jika kita nggak jadi pergi. Mereka pasti sudah menunggu. Kita kan
sudah janji.”
Benar! Di antara mereka sudah ada kesepakatan bahwa setelah
tiga kali ke rumah orang tua suami, maka kali berikutnya mereka harus bertahun
baru ke Jawa. Ke rumah orang tua Minah. Karena itu, mesti ada perasaan kesal
dan tak senang, Minah terpaksa mengangkat tas pakaiannya. Di ruang tamu sudah
menunggu Warni dengan tas punggung berbentuk boneka panda di punggungnya. Ia
terlihat ceria.
“Cepatan dong, Yah! Nenek pasti udah lama nunggu. Ma, ma,
kita jumpa lagi sama kakek dan nenek, ya? Warni udah punya cita-cita baru.
Pasti kali ini nenek senang dengarinnya.”
Sang suami melirik istrinya.
***
Malam itu Warni duduk di pangkuan neneknya. Mereka berdua
berada di beranda depan rumah menikmati indahnya bintang di langit. Minah dan
suaminya asyik bercengkrama bersama anggota keluarga lainnya. Memang sudah jadi
kebiasaan tetap setiap tahun baru. Seminggu menjelang dan sesudah tahun baru,
rumah itu selalu ramai. Adik-adik ipar Minah pada berdatangan dari rantau.
Jumlahnya ada empat. Dan semuanya belum menikah. Makanya wajar bila mertuanya
amat menyayangi Warni. Dialah cucu satu-satunya.
“Apa cita-citamu, Warni?”
“Aku pengen jadi perawat atau kalo ayah punya duit
banyak, aku langsung jadi dokter.”
“Mengapa milih itu?”
“Supaya bisa melayani orang. Menolong dan menyembuhkan orang.
Nanti kalo nenek sakit bisa aku suntikin dan kasih obat. Warni pernah liat itu
di rumah sakit. Perawat dan dokternya ramah-ramah sama orang sakit. Mereka
semua baik-baik. Suka menolong orang.”
“Bohong itu semua!” Ketus si nenek. “Karena uang mereka mau
menolong. Mereka itu munafik. Pura-pura ramah. Pura-pura baik. Bukan melayani
orang sakit, melainkan duit. Tujuan utama mereka adalah duit yang diselimuti
pelayanan.”
“Lho, kok gitu?”
“Ini, teman ayahmu,“ si nenek menunjuk rumah agak jauh di
seberang rumah mereka. “Waktu si istri mau melahirkan, kami membawanya ke rumah
sakit. Dokter dan perawat pun sibuk menolong. Dan berhasil. Setelah tiga hari
di sana, mereka mau pulang ke rumah sambil membawa bayinya. Tapi pihak rumah
sakit menahan bayi itu. Katanya, lunasi dulu keuangan baru bisa bawa bayi itu.
Pihak rumah sakit tetap ngotot sekalipun kami udah jelasin bahwa mereka orang
tidak mampu. Kami ada bawa surat keterangan dari kepala desa. Tetap nggak bisa.
Bayi itu ditahan selama dua bulan. Nggak dikasih obat atau makanan. Akhirnya
mereka dapat membawa bayi itu pulang setelah...”
“Membayar.”
Si nenek mengangguk. “Tau jumlahnya? Jutaan rupiah.”
“Tega amat.”
“Itulah keadaan rumah sakit kita. Katanya saja mau nolong
orang, tapi nyatanya memeras orang. Oya, kamu tunggu saja di sini Nenek mau
ambil koran hari ini.”
Si nenek berjalan masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul
dengan sebuah koran daerah di tangannya.
“Nah, ini.” Tunjuk si nenek. “Kamu kan sudah mulai bisa baca.
Tapi biarlah nenek baca sebagian saja. Ceritanya begini, ada seorang ibu
menderita penyakit tumor. Pihak rumah sakit sudah mengoperasinya”
“Suami istri itu kebingungan melihat jumlah angka
biaya pengobatan si istri selama ini. Empat juta rupiah. Si istri sempat shock. Dari mana mereka dapat uang
sebesar itu, sementara mereka cuma petani biasa. Hasil taninya pun hanya cukup
buat kebutuhan keluarga termasuk biaya sekolah anak-anaknya yang berjumlah
delapan orang. Mereka sudah minta tolong pada bapak kepala desa untuk menjelasi
kepada pihak rumah sakit bahwa mereka benar-benar dari keluarga miskin. Namun
pihak rumah sakit tetap bersikeras. Akhirnya suami istri itu memutuskan untuk
menjual rumahnya.”
“Menjual rumahnya? Di mana nanti mereka tidur?”
“Warni tidur!” Panggil Minah dari dalam rumah. “Udah malam,
Nak.”
“Sudah, kita pergi tidur saja, ya? Pokoknya, jangan jadi
dokter atau perawat. Mereka itu jahat. Nenek nggak suka cucu nenek jahat-jahat.”
Sang nenek menggendong cucunya masuk ke dalam kamar. Setelah
mengecup dahi cucunya, ia pun berjalan keluar.
“Jadi, mereka jual rumahnya, Nek?”
Si nenek mengangguk.
Malam kian larut. Waktu menunjukkan pukul 00. 35. Mata-mata
pun sudah mulai mengantuk. Minah dan suaminya memutuskan untuk beranjak ke
kamar.
“Ma, mereka akhirnya menjual rumahnya.”
“Lho, kok belum tidur?” Minah dan suaminya
kaget. “Ada apa Warni?”
“Warni nggak mau jadi dokter atau perawat lagi.”
Minah memungut koran yang ada di samping kepala Warni. Ia
membaca sebuah berita dengan judul RUMAH DIJUAL BUAT BIAYA OBAT.
“Bang?!” Ujar Minah pada suaminya.
Sinaksak, 5 Mrt 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar