Kamis, 31 Januari 2013

(C E R P E N) Cita-cita Warni

CITA-CITA WARNI
Sebenarnya Minah ogah tahun baruan ke kampung suaminya. Bukan lantaran capeknya atau belum adanya toilet di rumah mertuanya. Kasus yang terakhir ini sudah dianggap biasa oleh Minah. Ini karena sudah berkali-kali dia dan suaminya pergi ke sana, baik sebelum si buah hati lahir maupun sesudahnya. Pokoknya acara akhir tahun mereka habiskan di rumah orang tua suaminya. Hanya baru sekali saja mereka pergi ke  Yogya (Jawa), ke kampung halaman Minah. Waktu itu Mawarni, si buah hati, baru berusia setahun.
Yang membuat Minah tidak suka adalah karena mertua perempuannya (ibu dari suaminya) selalu mengajari yang aneh-aneh kepada cucunya. Salah satunya soal cita-cita masa depan Mawarni. Mosok sebagai nenek bukannya senang mendengar cita-cita cucunya, malah mengejek atau melarang.
Misalnya, pernah Warni menyebut keinginannya untuk menjadi guru. Karena menurut Warni guru itu pastilah orang hebat dan pintar. Dari guru lahir orang-orang besar seperti gubernur, bupati, mentri bahkan sampai presiden. Seandainya tidak ada guru, tentu juga tidak ada orang-orang seperti itu, demikian pikiran Warni. Mendengar celoteh sang cucu, si nenek bukannya bangga tapi malah mengejek. Guru itu miskin-miskin. Tak ada yang kaya, jelas si nenek.
“Bagaimana nanti kamu membalas budi jasa orang tua? Untuk dirimu saja atau keluarga saja sudah susah, apalagi untuk ayah dan ibumu. Jangan! Jangan deh jadi guru. Sengsara nanti hidupmu.”
“Kalo gitu, jadi.. pramugari saja deh,” alih Warni. “Jadi pramugari enak, Nek. Bisa terbang ke mana-mana. Bisa keluar negri.”
“Waduh Cu, jangan jadi pramugari. Entar gimana ngurusin keluarga. Anak-anak bisa terlantar. Mosok tega amat ngelantarin anak-anak. Kamu enak di sono, di sini anak-anak terlantar. Lagi pula keluarga bisa berantakan. Suami nanti bisa main sama wanita lain saat kamu pergi.”
Begitulah nasehat-nasehat nenek pada cucunya. Hal ini membuat Minah jengkel dan kesal pada mertua perempuannya. Pernah ia mendapati Warni kebingungan dengan cita-citanya. Minah jadi cemas, jangan-jangan anaknya nanti hidup tanpa punya cita-cita.
“Sudahlah, nggak usah dibawa ke hati omongan ibuku itu,“ nasehat suaminya saat mereka mulai berkemas-kemas untuk berangkat. “Toh, nanti kalo udah besar, Warni bisa menentukan sendiri jalan hidupnya. Dia kan nggak kecil terus.”
“Tapi Bang, cita-cita itu perlu ditanam sejak kecil. Bung Karno saja meng-anjurkan supaya mengantungkan cita-cita setinggi langit.”
“Kadang cita-cia pada masa kecil pun tidak terlaksana. Berubah setelah dewasa. Aku dulu sebenarnya bercita-cita jadi tentara, tapi kini... cuma puas jadi pekerja pabrik.”
“Itu lantaran ibumu melarang kamu jadi tentara, kan? Tentara itu kejam. Kerjanya membunuh orang, malah warga sebangsa sendiri. Kalo nggak membunuh, ya ngamilin anak gadis orang.”
Lho,” sang suami kaget, “Dari mana kau tau?”
“Ibumu sendiri yang cerita.”
“Ya sudah. Pokoknya kita berangkat. Aku mesti bilang apa pada orang tuaku jika kita nggak jadi pergi. Mereka pasti sudah menunggu. Kita kan sudah janji.”
Benar! Di antara mereka sudah ada kesepakatan bahwa setelah tiga kali ke rumah orang tua suami, maka kali berikutnya mereka harus bertahun baru ke Jawa. Ke rumah orang tua Minah. Karena itu, mesti ada perasaan kesal dan tak senang, Minah terpaksa mengangkat tas pakaiannya. Di ruang tamu sudah menunggu Warni dengan tas punggung berbentuk boneka panda di punggungnya. Ia terlihat ceria.
“Cepatan dong, Yah! Nenek pasti udah lama nunggu. Ma, ma, kita jumpa lagi sama kakek dan nenek, ya? Warni udah punya cita-cita baru. Pasti kali ini nenek senang dengarinnya.”
Sang suami melirik istrinya.
***
Malam itu Warni duduk di pangkuan neneknya. Mereka berdua berada di beranda depan rumah menikmati indahnya bintang di langit. Minah dan suaminya asyik bercengkrama bersama anggota keluarga lainnya. Memang sudah jadi kebiasaan tetap setiap tahun baru. Seminggu menjelang dan sesudah tahun baru, rumah itu selalu ramai. Adik-adik ipar Minah pada berdatangan dari rantau. Jumlahnya ada empat. Dan semuanya belum menikah. Makanya wajar bila mertuanya amat menyayangi Warni. Dialah cucu satu-satunya.
“Apa cita-citamu, Warni?”
“Aku pengen jadi perawat atau kalo ayah punya duit banyak, aku langsung jadi dokter.”
“Mengapa milih itu?”
“Supaya bisa melayani orang. Menolong dan menyembuhkan orang. Nanti kalo nenek sakit bisa aku suntikin dan kasih obat. Warni pernah liat itu di rumah sakit. Perawat dan dokternya ramah-ramah sama orang sakit. Mereka semua baik-baik. Suka menolong orang.”
“Bohong itu semua!” Ketus si nenek. “Karena uang mereka mau menolong. Mereka itu munafik. Pura-pura ramah. Pura-pura baik. Bukan melayani orang sakit, melainkan duit. Tujuan utama mereka adalah duit yang diselimuti pelayanan.”
Lho, kok gitu?”
“Ini, teman ayahmu,“ si nenek menunjuk rumah agak jauh di seberang rumah mereka. “Waktu si istri mau melahirkan, kami membawanya ke rumah sakit. Dokter dan perawat pun sibuk menolong. Dan berhasil. Setelah tiga hari di sana, mereka mau pulang ke rumah sambil membawa bayinya. Tapi pihak rumah sakit menahan bayi itu. Katanya, lunasi dulu keuangan baru bisa bawa bayi itu. Pihak rumah sakit tetap ngotot sekalipun kami udah jelasin bahwa mereka orang tidak mampu. Kami ada bawa surat keterangan dari kepala desa. Tetap nggak bisa. Bayi itu ditahan selama dua bulan. Nggak dikasih obat atau makanan. Akhirnya mereka dapat membawa bayi itu pulang setelah...”
“Membayar.”
Si nenek mengangguk. “Tau jumlahnya? Jutaan rupiah.”
“Tega amat.”
“Itulah keadaan rumah sakit kita. Katanya saja mau nolong orang, tapi nyatanya memeras orang. Oya, kamu tunggu saja di sini Nenek mau ambil koran hari ini.”
Si nenek berjalan masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul dengan sebuah koran daerah di tangannya.
“Nah, ini.” Tunjuk si nenek. “Kamu kan sudah mulai bisa baca. Tapi biarlah nenek baca sebagian saja. Ceritanya begini, ada seorang ibu menderita penyakit tumor. Pihak rumah sakit sudah mengoperasinya”
“Suami istri itu kebingungan melihat jumlah angka biaya pengobatan si istri selama ini. Empat juta rupiah. Si istri sempat shock. Dari mana mereka dapat uang sebesar itu, sementara mereka cuma petani biasa. Hasil taninya pun hanya cukup buat kebutuhan keluarga termasuk biaya sekolah anak-anaknya yang berjumlah delapan orang. Mereka sudah minta tolong pada bapak kepala desa untuk menjelasi kepada pihak rumah sakit bahwa mereka benar-benar dari keluarga miskin. Namun pihak rumah sakit tetap bersikeras. Akhirnya suami istri itu memutuskan untuk menjual rumahnya.”
“Menjual rumahnya? Di mana nanti mereka tidur?”
“Warni tidur!” Panggil Minah dari dalam rumah. “Udah malam, Nak.”
“Sudah, kita pergi tidur saja, ya? Pokoknya, jangan jadi dokter atau perawat. Mereka itu jahat. Nenek nggak suka cucu nenek jahat-jahat.”
Sang nenek menggendong cucunya masuk ke dalam kamar. Setelah mengecup dahi cucunya, ia pun berjalan keluar.
“Jadi, mereka jual rumahnya, Nek?”
Si nenek mengangguk.
Malam kian larut. Waktu menunjukkan pukul 00. 35. Mata-mata pun sudah mulai mengantuk. Minah dan suaminya memutuskan untuk beranjak ke kamar.
“Ma, mereka akhirnya menjual rumahnya.”
Lho, kok belum tidur?” Minah dan suaminya kaget. “Ada apa Warni?”
“Warni nggak mau jadi dokter atau perawat lagi.”
Minah memungut koran yang ada di samping kepala Warni. Ia membaca sebuah berita dengan judul RUMAH DIJUAL BUAT BIAYA OBAT.

“Bang?!” Ujar Minah pada suaminya.
Sinaksak, 5 Mrt 2001
by: adrian
Baca juga:
1.      Ulang Tahun Ramadhan
2.      Doa Si Toni Kecil
3.      Jam Weker
4.      Pelajaran Sejarah
5.      Tono dan Tini
6.      Kuda Lumping

Tidak ada komentar:

Posting Komentar