Kamis, 19 November 2015

Kenapa Orang Katolik Buat Tanda Salib?

MARI MEMBUAT TANDA SALIB
Tentu kita pernah melihat aksi para pesepak bola yang beragama katolik ketika memasuki lapangan. Mereka menyentuh rumput lapangan dengan ujung tangannya lalu membuat tanda salib. Hal yang sama dapat kita saksikan pada diri petinju kita Chris “Dragon” John. Sebelum memasuki ring dan setelah bertarung, ia selalu membuat tanda salib. Atau mungkin sebagian kita masih ingat aksi Susi Susanti, ketika memastikan emas di Olimpiade Barcelona untuk cabang olah raga Badminton. Susi membuat tanda salib.
Kebiasaan membuat tanda salib sangat populer dalam kehidupan orang-orang Flores. Dalam setiap aktivitas, orang selalu membuat tanda salib. Saat mau mandi, orang membasahi terlebih dahulu ujung jarinya lalu membuat tanda salib. Bahkan ada lelucon pencuri kelapa. Sebelum memanjat kelapa, ia membuat tanda salib dahulu.
Tanda salib merupakan ciri khas orang katolik. Ketika ada orang membuat tanda salib, pasti orang lain tahu bahwa pembuat tanda salib itu adalah katolik. Ada sebuah cerita. Seorang frater hendak liburan ke kampung. Ia naik bus lintas. Pada suatu perhentian ia turun makan. Setelah pesanan terhidang di atas meja, frater itu membuat tanda salib dan berdoa sejenak. Aksinya diperhatikan oleh seorang bapak keluarga di meja sebelah. Bapak ini, yang ternyata juga katolik, merasa kagum dengan tindakan frater itu mengingat tempat mereka makan merupakan daerah muslim. Akhir cerita, bapak itu membayar makanan frater itu.
Ada orang merasa malu dan takut membuat tanda salib. Mungkin mereka masih terbawa alam pikiran orang-orang Yahudi dan Yunani pada jaman dulu, karena salib merupakan suatu aib dan kebodohan. Orang-orang katolik jaman sekarang yang malu membuat tanda salib tak jauh beda dengan kebanyakan jemaat perdana. Karena itu, St. Sirilus dari Yerusalem (313 – 387) pernah berkata, “Jangan malu mengakui Sang Tersalib. Marilah dengan penuh keyakinan kita ‘memeterai’ dahi kita dengan jari-jari. Marilah membuat tanda salib pada setiap benda, pada roti yang kita makan dan pada cangkir tempat kita minum. Marilah membuat tanda salib ketika beranjak pergi dan pulang, sebelum tidur, ketika berbaring, ketika bangun, ketika menempuh perjalanan atau beristirahat.”
Jadi, ternyata nasehat untuk selalu membuat tanda salib dalam setiap aktivitas kita sudah disuarakan oleh orang kudus dari abad IV. Membuat tanda salib memiliki banyak makna. Yang utama adalah kita menempatkan diri kita dalam perlindungan Allah Tritunggal. Inilah yang diharapkan oleh para pemain sepak bola ketika memasuki lapangan, atau Chris John ketika memasuki ring tinju. Mereka menyerahkan diri mereka kepada perlindungan Allah Tritunggal: Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Membuat tanda salib dapat juga dilihat sebagai ungkapan syukur. Inilah yang ditampilkan Susi Susanti setelah mengakhiri permainan dengan kemenangan. Susi mengangkat kedua tangannya ke atas dan kemudian ia membuat tanda salib. Salib bagi orang Kristen adalah tanda kemenangan, dan Susi memperoleh kemenangannya. Karena itu, ia mempersembahkan kemenangannya itu kepada Sang Pemberi Kemenangan, yaitu Yang Tersalib. Itulah ungkapan syukurnya.
Dengan membuat tanda salib, secara tidak langsung kita sudah membuat pewartaan. Pewartaan sederhana yang ditampilkan adalah bahwa kita orang katolik, pengikut Kristus. Tentu diharapkan bukan diri kita yang menjadi pusat pewartaannya, melainkan Kristus. Sangat diharapkan setelah orang lain tahu bahwa kita adalah katolik, kita menampilkan kekatolikan kita dalam hidup.  Misalnya seperti kasih. Dari sinilah orang akan dapat dihantar kepada Sang Kasih itu. Jadi, jika kita melakukan kasih tanpa tanda salib, orang tidak dapat mengenal Sang Kasih itu. Tapi, jika dengan tanda salib, orang dapat mengenal-Nya. Itulah perwartaan kita.
Oleh karena itu, marilah kita, dalam kehidupan sehari-hari, kita membuat tanda salib. Dengan membuat tanda salib di awal kegiatan, kita sudah melakukan pewartaan bahwa Yesus yang tersalib telah menyelamatkanku, dan kini Dia tetap melindungiku. Kita dapat membuat tanda salib sambil berdoa dalam hati, “Yesus, Kau andalanku!” atau “Yesus, jagalah aku!” Hendaklah kita juga tidak lupa membuat tanda salib setelah melakukan kegiatan. Tanda salib yang kita buat di akhir kegiatan merupakan bentuk syukur dan terima kasih kita.
Natal, 19 Oktober 2015
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Orang Kudus 19 November: St. Nerses

Santo Nerses , Uskup & Martir
Nerses hidup pada abad keempat di Armenia. Ia adalah seorang pejabat di istana Raja Arshak. Setelah isterinya meninggal dunia, Nerses ditahbiskan sebagai imam. Ia menjadi Uskup utama Armenia pada tahun 363. Bersama St Basilus, ia bekerja keras demi membantu umat menjadi orang-orang Katolik yang terlebih saleh. Mereka mengundang seluruh Uskup Armenia untuk bertemu. Mereka ingin membantu para imam dan umat bertumbuh dalam kekudusan.

Uskup Nerses menjunjung tinggi panggilan biarawan. Ia ingin memulai biara-biara baru. Ia mendirikan rumah-rumah sakit dan mendorong orang-orang kaya untuk hidup jujur dan murah hati terhadap sesama. Raja Arshak tidak mengamalkan hidup yang baik. Ketika ia membunuh isterinya, Olympia, Uskup Nerses secara umum mengutuk kejahatan keji ini. Raja mengusir Uskup Nerses dari keuskupannya dan menunjuk seorang uskup lain.

Di kemudian hari, Raja Arshak terbunuh dalam peperangan melawan bangsa Persia. Puteranya naik takhta menjadi raja. Sayang, puteranya ini melakukan lebih banyak kejahatan dibanding ayahnya. Uskup Nerses berupaya memperbaiki perilakunya. Raja yang baru itu berpura-pura menyesal. Kemudian raja mengundang uskup ke istananya untuk suatu perjamuan makan malam guna menunjukkan niat baiknya. Tetapi racun dibubuhkan dalam hidangan yang disajikan dan Uskup Nerses tewas di sana, di meja makan sang raja. Uskup Nerses dianggap sebagai martir dan bangsa Armenia menyebutnya “agung”.

Renungan Hari Kamis Biasa XXXIII - Thn I

Renungan Hari Kamis Biasa XXXIII, Thn B/I
Bac I  1Mak 2: 15 – 29; Injil      Luk 19: 41 – 44;

Dalam Injil hari ini Tuhan Yesus mau berbicara soal perjuangan mewujudkan Kerajaan Allah. Tuhan Yesus memberikan perbandingan dengan keadaan kota yang sudah dihimpit oleh musuh dari segala penjuru. Ini menunjukkan betapa musuh bukan hanya kuat, melainkan beraneka ragam. Musuh inilah yang akan menghancurkan “benteng” pertahanan akan harapan Kerajaan Allah, yaitu iman. Akan tetapi, jika tetap bertahan, maka damai sejahteralah yang akan datang.
Gambaran Tuhan Yesus dalam Injil, terlihat jelas dalam bacaan pertama, dalam sosok Matatias dan anak-anaknya, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab pertama Makabe. Mereka kemudian diikuti oleh beberapa orang “yang mencari keadilan dan kebenaran.” (ay. 29). Dalam bacaan pertama betapa Matatias mendapat tantangan dari musuh yang sudah menghimpitnya. Iman dan harapannya ditantang, musuh-musuh itu tampak dalam tawaran jabatan dan status terhormat, hadiah-hadiah kekayaan seperti emas dan perak (ay. 18). Bukan itu saja. Ada juga orang Yehuda yang memberi contoh. Dan tawaran yang menggiurkan tentulah kehidupan itu sendiri. Akan tetapi, Matatias dan anak-anaknya menunjukkan keteguhan imannya akan Allah.
Iman selalu mendapat ujian. Setiap orang pasti mendapat ujian atas imannya. Dan tak sedikit orang meninggalkan imannya pada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat demi tawaran ujian itu. Artinya, ia gagal dalam ujian. Dewasa ini ada banyak wujud “musuh” yang menghimpit iman, yaitu perkawinan beda agama, jabatan dan pekerjaan, bantuan ekonomi dan tawaran-tawaran lainnya. Sabda Tuhan hari ini menghendaki agar kita, sekalipun mendapat tantangan dan cobaan, tetap setia dalam iman. Janganlah menggadaikan Tuhan Yesus demi kesenangan dan kepentingan diri.***
by: adrian