Kamis, 22 Desember 2016

UMAT KATOLIK MALAYSIA HADAPI TANTANGAN RUMIT


Mereka duduk sambil mendaraskan rosario dalam bahasa Melanau. Di luar, dengungan nyamun seiring dengan senja yang mulai meredup. Lantunan doa berakhir. Tiba-tiba suara meledak saat mereka menyanyikan lagu, “Ajarilah, oh ajarilah kami, ya Bunda Suci, bagaimana menaklukkan setiap dosa...” Mereka menyanyi dengan penuh semangat.
Kala itu adalah Oktober – Bulan Rosario Suci. Umat katolik taat itu tinggal di sepanjang Sungai Oya di Serawak, Kalimantan. Setiap malam secara bergilir mereka berkumpul di rumah seorang umat untuk berdoa.
Malaysia berubah. Fundamentalisme Islam dan fermentasi perselisihan di daratan Malaysia merambat ke dalam jantung Borneo. Orang-orang Malanau Serawak sebagian besar adalah muslim. Namun di Dalat kebanyakan umat katolik.
Ada keinginan untuk melindungi nilai-nilai identitas dan keluarga mereka. Mereka telah menjadi katolik selama beberapa generasi, tetapi mereka berjuang mewariskan ini kepada anak-anak mereka. Kekhawatiran utama mereka adalah anak-anak akan meninggalkan imannya dan masuk islam, menikah dan mengadopsi gaya hidup yang berbeda.
Tidak seperti Indonesia, Malaysia melarang pernikahan di antara muslim dan non-muslim, kecuali jika yang non-muslim masuk islam. Jadi, jika ada warga non muslim mau menikah dengan warga muslim, maka ia harus menjadi islam dahulu.
Rose Sute, seorang nenek yang terlibat dalam pelayanan di Gereja St. Bernard di Dalat, berbicara tentang krisis iman di kalangan orang muda. “Tragedi ini telah terjadi. Orangtua mungkin menentang anak-anak mereka dikonversi demi pernikahan, orang muda mungkin lemah dan frustasi ...., ada banyak kasus."
Komunitas katolik Melanau di Dalat sekitar 6.000 jiwa. Umat kristen dan islam tinggal di kota yang sama, meskipun di daerah terpisah. Namun, ada integrasi di antara kedua komunitas tersebut. Orang-orang muda islam menghadiri pusat pelatihan ketrampilan komputer yang dikelola paroki.
Pauline dan suaminya merasa khawatir dengan tiga dari delapan anak mereka. Ketiganya menyelesaikan sekolah dan berada pada usia di mana mereka akan mudah terpengaruh oleh perubahan yang terjadi di Malaysia. “Kini kami semua memiliki teman muslim. Kami saling mengunjungi. Kami berkabung bersama-sama sebagai satu keluarga ketika ada kematian dan secara bersama merayakan hari raya keagamaan,” ujar Pauline.
Bagi Rose, kehidupan di desa itu berubah. “Menghormati cara kami sedang meredup.orang muda menentang orangtua. Mereka terpengaruh oleh apa yang mereka lihat dan dengar ketika mereka meninggalkan tanah kelahirannya untuk belajar atau bekerja di semenanjung,” katanya. “Mereka kehilangankontak dengan kami di Serawak dan ketika mereka kembali, mereka membawa nilai-nilai yang berbeda ... mereka agresif dan mudah marah. Ini bukan cara kami,” tambahnya.
Pekerjaan langka dan orang muda bermigrasi ke kota-kota mencari pekerjaan. Sejumlah rumah berdiri kosong. “Para orangtua meninggal, anak-anak mereka pergi dan tidak pernah kembali. Bahkan anak-anak saya juga telah pergi,” kata Robert Napi, seorang pensiunan katekis. Kebijakan pemeerintah federal baru-baru ini seperti pelarangan penggunaan kata “Allah” oleh umat kristiani telah mengguncang komunitas kristiani.
“Guru-guru dari semenanjung membawa nilai-nilai mereka dan berusaha mengkonversi kami. Mereka berupaya mempengaruhi anak-anak kami dan bahkan mengkonversi mereka,” kata seorang ibu. “Mereka telah berhenti sekolah sekarang, tapi ada cara lain dimana mereka berupaya mengambil identitas kami.misalnya, dalam satu sekolah, siswa harus mengenakan pakaian tradisional Melayu seminggu sekali, dan semua orang tahu pakaian itu identik dengan islam,” tambahnya.
Tapi, meskipun masalah mereka, warga desa dapat mengandalkan iman mereka sebagai inspirasi. Lagu Maria dinyanyikan mereka dengan lirik, “Bagaimana mencintai dan saling membantu // Bagaimana memberi hidup untuk menang.” Mereka berusaha menjaga toleransi dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan.