Senin, 09 April 2018

NIKAH BEDA GEREJA DAN BEDA AGAMA

Kita tak bisa menutup mata bahwa kita hidup dalam masyarakat yang plural. Apalagi di Indonesia ini, umat katolik termasuk kelompok minoritas. Gereja tidak mengendaki umatnya membangun menara gading, melainkan ikut berbaur dalam keragaman, menjadi garam dan terang dunia. Karena itulah, Gereja tak bisa melarang terjadinya relasi khusus antar dua insan berbeda yang bisa berakhir pada pernikahan.
Gereja Katolik memang mengharapkan pernikahan ideal itu terjadi antara pasangan seiman, yaitu katolik - katolik. Namun karena situasi tidak memungkinkan, maka Gereja membuka peluang bagi pernikahan campur. Ada dua jenis pernikahan campur, yaitu pernikahan beda Gereja (disparitas cultus) dan pernikahan beda agama (mixta religio).
Pernikahan beda Gereja terjadi antara pihak katolik dengan pihak baptis non katolik, atau yang dikenal dengan sebutan Gereja Protestan. Dalam kan. 1124 disebutkan bahwa pernikahan antara dua orang yang berbeda Gereja ini termasuk larangan, bukan halangan. Jadi, jika tetap dilangsungkan tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku, seperti izin dari otoritas yang berwenang, pernikahan tersebut tetap sah, tapi tidak halal. Supaya pernikahan campur beda Gereja ini sah dan halal, maka diperlukan izin dari Ordinaris Wilayah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam kan.1125.
Pernikahan beda agama terjadi antara pihak katolik dengan pihak non baptis. Agama, selain agama kristen (katolik dan protestan), bahkan aliran kepercayaan, termasuk kelompok non baptis. Mereka yang menikah dengan pihak katolik digolongkan dalam pernikahan campur beda agama. Pernikahan ini, dalam kan. 1086, termasuk kategori halangan. Orang yang melanggar halangan ini mendapat sanksi Gereja, dan pernikahannya tidak sah. Namun, jika orang mau pernikahannya sah, maka dia butuh dispensasi dari Ordinaris Wilayah.
by: adrian