Senin, 04 Agustus 2014

Pelajaran Sejarah (sambungan)

sambungan kemarin...............


Akhirnya pertemuan menghasilkan dua keputusan. Pertama, kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada orang, lembaga dan negara lain. Segala keputusan tentang proklamasi harus mengikutsertakan golongan muda. Kedua, mengutus Wikana dan Darwis untuk menyampaikan hasil pertemuan kepada Bung Karno.

Jam 21.50 Wikana dan Darwis meninggalkan ruang pertemuan. Dengan sepeda onthelnya mereka menuju ke rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56. Para pemuda lainnya masih menunggu di gedung Lembaga Bakteriologi.

Sekitar jam 23. 15 Wikana dan Darwis kembali ke ruang pertemuan. Raut wajah mereka menggambarkan kejengkelan, kekesalan dan kemarahan.

“Tampaknya misi kita gagal,” bisik Sutomo kepada Parolan.

“Bagaimana hasilnya?” Tanya Chairul to the point.

Setelah semua duduk, Wikana mulai menjelaskan bahwa misi telah gagal. Wikana mengungkapkan bahwa di rumah Bung Karno ada juga Bung Hatta, dr. Buntara, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Di hadapan orang-orang itu Bung Karno dan Bung Hatta menolak gagasan kaum muda.

“Sekalipun saya mengancam akan terjadi pertumpahan darah, Bung Karno malah balik menantang. Dia bilang ‘Ini leher saya, potonglah sekarang juga! Jangan tunggu sampai besok!’ Bung Karno, sebagai ketua PPKI, harus mengikuti mekanisme yang ada. Besok ia akan tanya ke anggota PPKI lainnya.”

“Kenapa harus tunggu besok? Kan di situ ada wakil ketua dan penasehat PPKI. Anggotanya juga ada.” Ungkap Parolan.

“Bung Hatta pun menolak,” jelas Darwis. “Dia bilang agar kita jangan memaksa-maksa mereka. Malah seperti Bung Karno, Bung Hatta menantang kita untuk memproklamasikan kemerdekaan jika sanggup.”

Suasana sidang jadi ramai. Aura kemarahan dan kejengkelan sangat begitu terasa. Karena misi gagal, Chairul Saleh akhirnya membubarkan pertemuan sambil melihat perkembangan besok setelah pertemuan PPKI. Para peserta pertemuan terlihat gusar. Mereka meninggalkan ruang pertemuan sambil mengumpat-umpat.

“Dasar pengecut!”

“Boneka Jepang!”

Parolan melihat Chairul dan beberapa pemuda masih terlihat ngobrol serius di halaman Lembaga Bakteriologi. Ia menghampiri mereka.

“Kita bicarakan di asrama.”

Yang lain mengangguk setuju. Langsung mereka mengayuh sepedanya ke Jalan Cikini 71, asrama Baperpi.

“Saudara-saudara, kita tidak bisa tinggal diam dalam amarah,” Chairul angkat bicara setelah tiba di serambi asrama. “Kita harus melakukan sesuatu!”

Suasana rapat menjadi tenang. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada yang saling berdiskusi dengan teman di sampingnya.

“Kita singkirkan saja Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang.” Setelah sekian lama bermenung diri, Parolan memecahkan kesunyian malam.

“Kita culik mereka.”

“Saya setuju,” tegas Chairul. “Kita singkirkan mereka ke Rengasdengklok. Di sana kita paksa mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”

Maka mulailah para pemuda ini berembug membagi tugas. Ada yang menghubungi Cudanco Subeno, komandan kompi tentara PETA Rengasdengklok, untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta. Ada yang bertugas menculik Bung karno dan Bung Hatta dari rumah mereka masing-masing. Ada yang bertanggung jawab soal kendaraan. Shudanco Singgih dipercayakan untuk melakukan aksi penculikan ini.

Aksi menculik Bung Karno tidak mendapat banyak kesulitan karena sebelumnya Wikana sudah menghubungi S. Suhud, komadan dan pengawal rumah Bung Karno. Sedikit kesulitan muncul ketika istri Bung Karno, Ibu Fatmawati, memaksa diri untuk ikut bersama bayinya, Guntur, yang waktu itu berumur 9 bulan.

Akhirnya sekitar jam 04.00, para pemuda membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta ke tempat yang sudah ditentukan. Di sana mereka langsung diterima dan diamankan Subeno.

Sementara yang lain ke Rengasdengklok, Wikana, Sudiro dan Jusuf Kunto tetap berada di Jakarta. Mereka ditugaskan untuk melaporkan hasil pertemuan PPKI hari itu. Akan tetapi rapatnya batal sebab ketua dan wakilnya tidak ada.

Pada sore hari, sekitar jam 17.30, rombongan Ahmad Subardjo dengan ditemani Jusuf Kunto dan Sudiro, tiba di lokasi pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia terharu dengan aksi heroik para pemuda dan sedih melihat Bung Karno sekeluarga. Karena itu ia berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan besok tanggal 17 Agustus sebelum jam 12.00.

“Apa jaminan atas ucapan Bapak?” Tanya Parolan.

“Nyawa saya!”

“Baiklah, kami akan melepaskan kalian,” ujar Subeno. “Tapi beberapa anggota kami akan mengikuti kalian.”

“Silahkan! Kalianlah yang akan mengawasi dan menjaga kami saat penyusunan proklamasi.”

Subeno memandang Chairul dan Wikana. Chairul hanya menganggukkan kepalanya. Ketegangan pun mereda. Maka segera mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta. Beberapa pemuda ikut dalam rombongan.

Sekitar jam 23.00 mereka tiba di Jakarta. Atas permintaan Bung Karno, rombongan langsung menemui Mayjend Nishimura untuk menjajagi sikapnya soal proklamasi kemerdekaan. Sudiro awalnya hendak protes, namun Chairul segera menghalangi niatnya.

Setiba di rumah Nishimura, Bung Karno dan Bung Hatta turun dan berjalan menuju ke dalam rumah. Rombongan lainnya tetap di dalam mobil. Tak lama kemudian kedua tokoh PPKI keluar dari dalam rumah dengan muka merah. Mereka berjalan menuju rombongan dengan muka tertunduk.

“Tanda buruk,” bisik Parolan dalam hati.

“Bagaimana?”

Mereka menolak. Mereka tidak mau mengubah status quo sampai nanti sekutu tiba,” jelas Bung Hatta.

“Nah kan,” celetuk Parolan. “Kami sudah bilang, kemerdekaan itu harus kita rebut. Kita tidak bisa tunggu diberi Jepang. Malah, kalau tunggu sekutu, itu namanya peralihan penjajah saja.”

“Maafkan kami,” suara Bung Karno terdengar berat. “Kalian benar!”

“Sekarang kita ke mana?” Tanya sopir rombongan.

“Ke rumah Laksamana Muda Maeda.” Jawab Ahmad Subardjo.

“Bukankah dia itu orang Jepang?”

“Tidak semua orang Jepang itu jahat. Saya kerja di kantor dia,” jelas Subardjo. “Dia akan menjamin keselamatan kita. Dan yang terpenting, dia mendukung kemerdekaan kita.”
Moro, 9 Februari 2013
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:
1.      Pasien Kamar 14
3.      Kicau Burung Hilang
4.      Kuda Lumping
5.      Ulang Tahun Ramadhan
6.      Cita-cita Warni

Renungan Hari Senin Biasa XVIII - Thn II

Renungan Hari Senin Biasa XVIII, Thn A/II
Bac I    Yer 28: 1 – 17; Injil               Mat 14: 22 – 36;

Bacaan pertama hari ini diambil dari Kitab Nabi Yeremia. Di dalamnya dikisahkan pertentangan antara Nabi Hananya dan Nabi Yeremia, yang sama-sama mengklaim dirinya atas nama Allah. Berhubung warta Nabi Hananya lebih menyenangkan hati umat, maka umat lebih menerima Hananya daripada Yeremia, padahal Allah telah menyampaikan pesan-Nya melalui Nabi Yeremia. Warta Nabi Yeremia ditolak karena pesannya penuh penderitaan. Akan tetapi, melalui mulut Nabi Yeremia, Allah kembali menunjukkan ketegasan-Nya. Akibatnya, Hananya mati.

Sikap sebagai murid dalam Injil, secara tidak langsung menggambarkan sikap umat Israel dalam bacaan pertama. Para murid lebih bisa menerima Yesus yang sesuai dengan harapan mereka, seperti Yesus yang menyembuhkan orang sakit, mengusir setan atau Yesus yang memberi makan lima ribu orang. Tapi ketika mereka dihadapkan pada kesulitan hidup, mereka seakan meragukan Tuhan Yesus. Inilah yang terjadi dalam Injil. Di saat para murid dihantam badai gelombang, Yesus yang datang pun disangka mereka hantu. Mereka meragukan-Nya, sampai Petrus harus menuntut bukti.

Hidup manusia itu ibarat ombak di laut. Selalu ada bagian atas dan ada bagian bawah. Hidup kita pun terkadang di atas, kadang juga di bawah. Suka duka, susah senang, tangis dan tawa selalu menghiasi hidup kita. Tak akan ada manusia yang sepanjang hidupnya adalah suka, senang dan tawa ria, ataupun sebaliknya. Hal yang sama juga dengan kehadiran dan warta Tuhan kepada kita. Sabda Tuhan hari ini mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan hadir dalam nada pesan suka dan duka. Apapun nada pesannya, kita hendaklah menerimanya. Sekalipun nada pesan Allah itu tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita, jangan lantas kita menolaknya. Kita diajak untuk merenungkannya.

by: adrian