Rabu, 30 November 2022

STUDI AL-QUR'AN: SURAH AN NISA AYAT 142

Bisa dikatakan bahwa berbohong atau menipu adalah lumrah dalam agama islam. Hal ini mungkin disebabkan karena Allah SWT sendiri melakukan kebohongan. Sangat menarik kalau kita membaca dan mengkritisi surah an-Nisa ayat 142. Di sini Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” Terlihat jelas kalau surah ini berisi pengakuan Allah SWT bahwa Dia adalah pembohong atau penipu karena telah melakukan penipuan.



Senin, 28 November 2022

PANDANGAN KELIRU SOAL WAHABI

 


Sejak Rakernas Lembaga Dakwa PBNU selesai, 27 Oktober silam, kata atau istilah wahabi sering muncul di media sosial. Umumnya semua bernada negatif. Wahabi selalu dikaitkan dengan aksi kekerasan atas nama islam, entah itu kekerasan ringan atau juga berat, seperti terorisme. Wahabi dihubungkan juga dengan aksi intoleransi atas nama islam, kilafah dan juga pengkafir-kafiran. Soal yang terakhir ini sasarannya tidak hanya umat non muslim saja, melainkan juga dari kalangan islam sendiri. Dan biasanya yang memberi label itu adalah kalangan islam yang menyatakan dirinya moderat. Dengan mengaitkan kekerasan, intoleransi, kilafah dan pengkafir-kafiran kepada wahabi, ada kesan bahwa wahabi salah.

Bagi kami ini merupakan pandangan yang keliru. Harap diingat dan disadari klaim kaum islam moderat ini tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Bukan lantas berarti apa yang dikatakan kaum islam moderat tentang wahabi itu berarti bahwa kaum wahabi itu salah dan mereka adalah benar.

Kekeliruan lain adalah mengatakan bahwa wahabi itu adalah aliran dalam islam. Jika dirunut dari sejarahnya, haruslah dikatakan wahabi tak layak disebut sebagai (salah satu) aliran dalam islam. Wahabi awalnya merupakan sebuah gerakan, yang dipimpin oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab, yang mengajak umat islam untuk kembali menghidupi ajaran islam yang sebenarnya. Hal ini karena Abdul Wahab melihat ada banyak umat islam sudah tidak setia pada ajaran islam yang asli. Dengan demikian Abdul Wahab hendak mengembalikan islam yang asli dan sejati.

Pada titik ini tidaklah salah bila kaum Wahab diidentikkan dengan radikalisme. Sebenarnya kata ini tidaklah berkonotasi negatif. Akar kata radikalisme adalah radix, yang berarti akar. Secara sederhana kata radikalisme bisa dipahami sebagai gerakan kembali ke akar. Inilah yang dilakukan oleh kaum wahabi. Mereka ingin kembali ke akar ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis.

Dalam Al-Qur’an ada banyak ajaran yang berisi kekerasan terhadap non muslim. Ada perintah membunuh orang kafir dan orang musyrik. Kaum wahabi melakukan hal itu, sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an. Di sini sering kali kaum islam moderat keliru memandang kaum wahabi. Mereka mengatakan bahwa kaum wahabi salah menafsirkan wahyu Allah itu. Padahal kaum wahabi sama sekali tidak sedang menafsirkan wahyu Allah; justru kaum islam moderatlah yang melakukannya. Kaum wahabi hanya melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT sebagaimana tertulis dalam kitab suci. Melakukan seperti yang tertulis berarti mengindahkan kehendak Allah. Jadi, kaum wahabi berupaya melaksanakan kehendak Allah seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an.

Selain kekerasan, dalam Al-Qur’an ada banyak ajaran yang membangun sikap intoleran terhadap orang non muslim. Orang yang bukan islam akan disebut kafir, dan orang kafir harus dibenci dan dimusuhi. Allah SWT sudah memerintahkan kepada umat islam untuk tidak berteman atau menjalin relasi dengan orang kafir, serta untuk tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin. Kaum wahabi melaksanakan itu tanpa harus menafsirkan wahyu Allah. Kaum moderatlah yang menafsirkan wahyu Allah tersebut. Karena itu, kenapa kaum wahabi disalahkan? Janganlah karena wajah terlihat buruk, cermin yang disalahkan. Janganlah pula selalu menyembunyikan wajah buruk dibalik topeng dan menyalahkan wajah buruk orang lain.

Minggu, 27 November 2022

STUDI ALQURAN: TAURAT DAN INJIL PALSU

Umat islam percaya bahwa kitab suci orang Yahudi dan Kristen sudah tidak asli lagi, alias palsu. Mereka percaya ini karena Allah sudah mengatakannya dalam Alquran. Di sini tampak kalau perkataan Allah dijadikan tolok ukur asli atau tidaknya suatu naskah, bukan pada penelitian ilmiah. Bisa dikatakan kalau dalam Alquran Allah berkata 1+1=5, yakinlah pasti umat islam percaya saja, dan mengatakan kitab atau buku lain yang mengatakan 2 adalah salah. Kenapa Taurat dan Injil dinyatakan palsu? Video berikut ini mencoba mengulas topik ini secara logis.


Kalau mengalami kesulitan dalam membuka video di atas, silahkan coba membuka video sama di channel youtube kami. Selamat belajar!!! 

Jumat, 25 November 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ARAF AYAT 184

 


Dan apakah mereka tidak merenungkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak gila. Dia (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas. (QS 7: 184)

Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Di sana mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Al-Qur’an biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup keseharian, selain hadis. Umat islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam beberapa surah Al-Qur’an. Jadi, Allah sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan perkataan-Nya, sehingga ia dikenal juga sebagai kalam Allah. Karena itu, Al-Qur’an dihormati sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan terhadap keluhuran Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).

Selain itu juga umat islam melihat Al-Qur’an sebagai keterangan dan pelajaran yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri. Allah telah mengatakan bahwa diri-Nya telah memudahkan ayat-Nya sehingga umat dapat dengan mudah memahami. Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh umat islam. Tak sedikit ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Seandainya pun tidak persis seperti yang tertulis, tapi maknanya tak jauh beda dengan apa yang tertulis. Penafsiran atas wahyu Allah yang berbeda bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan kehendak Allah sendiri.

Berangkat dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Memang harus diakui juga bahwa apa yang tertulis itu tidaklah sepenuhnya merupakan perkataan Allah. Kata ‘Muhammad’ yang ada dalam tanda kurung (2 kali) merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Artinya, kata tersebut tidak pernah diucapkan Allah saat Dia menyampaikan wahyu ini kepada Muhammad. Melihat dan membaca teks di atas, orang langsung menemukan pembenaran wahyu Allah, yaitu wahyu Allah jelas dan mudah. Dengan sangat mudah orang menafsirkan kalimat Allah di atas sebagai berikut: “Muhammad itu tidak gila dan hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.” Sangat sederhana.

Akan tetapi, kalau kita menempatkan kutipan kalimat di atas pada konteksnya, maka langsung ditemukan keanehan dan masalah. Konteks wahyu Allah dalam Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Allah menyampaikan wahyu-Nya hanya kepada Muhammad. Jadi, ketika Allah menyampaikan kutipan ayat di atas, Muhammad adalah lawan bicaranya. Karena itu, secara logika dan juga secara linguistik, tafsiran bahwa yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu Muhammad adalah salah besar. Menafsirkan dengan Muhammad itu berarti tidak sesuai dengan kehendak Allah, karena bukan itu maksud Allah. Dapat dipastikan yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu bukanlah Muhammad. Jika yang dimaksud itu adalah Muhammad, seharusnya Allah berkata, “Dan apakah mereka tidak merenungkan bahwa engkau tidak gila. Engkau tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.”

Rabu, 23 November 2022

KIAT ATASI ANAK REWEL

 

Tentu kita berharap supaya anak-anak kita hidup tenang, menurut dan tidak rewel. Ada orangtua yang merasa kaget ketika menghadapi anaknya yang rewel, seperti suka ngambek dan teriak-teriak saat keinginannya tak dituruti. Kekagetan ini bisa saja disebabkan karena pengalaman orangtua ketika masih kanak-kanak tidak seperti anaknya saat ini. Padahal pepatah mengatakan “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Karena itu, orangtua akan bertanya apa, dimana dan siapa yang salah?

Perlu disadari bahwa menjadi orangtua tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hingga saat ini belum ada pendidikan khusus untuk menjadi orangtua. Menjadi orangtua merupakan suatu panggilan hidup, dan untuk menjadi orangtua yang baik merupakan suatu proses yang panjang, bahkan tak berhenti.

Untuk menjadi orangtua, kita harus memperkaya diri dengan banyak pengetahuan cara mendidik serta melakukan pengasuhan. Pengetahuan ini bisa didapat melalui bahan bacaan, bisa juga melalui pengalaman-pengalaman orang lain. Intinya, harus ada sikap terbuka untuk menerima masukan.

Mendidik dan mengasuh anak itu terkait dengan pola asuh. Tentang pola asuh ini, masing-masing keluarga punya caranya tersendiri. Namun perlu juga diingat bahwa pola asuh ini tidak selamanya bersifat permanen, kecuali sudah terbukti sahih. Bagi keluarga yang belum menemukan pola asuh yang pas, sangat terbuka untuk mengubahnya.

Dalam menghadapi anak yang rewel, orangtua perlu memberikan batasan dan pengertian mengenai hal-hal yang bisa diberikan atau tidak, lengkap dengan alasannya. Anak dapat membentuk sistem regulasi diri jika memang diberikan kesempatan lebih banyak untuk dapat melakukan yang baik dan benar sehingga hal tersebut akan terbentuk secara sempurna sesuai usia. Hal praktis yang dapat dilakukan oleh orangtua adalah dengan membuat aturan secara konsisten dan diterapkan lengkap dengan konsekuensi yang logis (bukan hukuman)

Anak yang sudah mencapai usia 6 tahun memungkinkan untuk mendapatkan penjelasan dan pemahaman secara verbal dan setiap aturan yang diberikan sebaiknya diikuti dengan contoh konkret. Misalnya, jika ingin membuat aturan kapan waktunya membeli mainan, anak diberikan pemahaman bahwa mainan itu baru dapat dibeli setiap 3 bulan sekali di tanggal tertentu; jelaskan alasannya dan mengapa perlu dilakukan pengaturan pembelian mainan.

Bila perlu, ajak anak untuk mendiskusikan keinginannya disertai contoh cerita anak-anak yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi sehingga anak akan lebih mudah dalam memahami. Selain itu, perlu dilakuan penguatan terhadap perilaku yang akan dibentuk dengan memberikan reward atau penghargaan berupa stiker atau poin ketika anak dapat melakukan sesuatu sesuai kesepakatan.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Selasa, 22 November 2022

RANGKAP JABATAN DAN KESERAKAHAN

 

Serakah atau keserakahan merupakan salah satu sifat buruk yang harus dihindari. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru terdapat 10 kali penyebutan kata ini, yaitu sekali dalam Injil (Mrk 7: 22), tujuh kali dalam surat Paulus (Rom 1: 29; Ef 4: 19; Ef 5: 3; Ef 5: 5; Kol 3: 5; 1Tim 3: 8 dan Tit 1: 7) dan dua kali dalam surat Petrus (2Ptr 2: 3 dan 2Ptr 2: 14). Semuanya menyerukan agar umat menghindari sifat serakah ini, karena orang yang serakah tidak akan mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah (Ef 5: 5).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “serakah” dipahami sebagai selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Orang yang memiliki sifat ini mempunyai perasaan tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya. Dia ingin lagi dan lagi, sekalipun ia sadar akan keterbatasan dirinya. Karena itu, kata “serakah” ini berpadanan dengan kata tamak atau rakus.

Dalam arti tertentu, kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, ke dalam dosa disebabkan karena sifat serakah mereka. Sekalipun sudah menikmati hidup bahagia di taman Eden, namun mereka tidak puas. Mereka ingin lebih. Pada titik inilah setan masuk dan menggoda. “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej 3: 4 – 5). Manusia ingin lebih dari apa yang sudah ada, sehingga akhirnya ia menuruti godaan setan.

Keserakahan dapat terlihat dalam berbagai wujud. Perselingkuhan yang terjadi dalam dunia rumah tangga bisa dikatakan sebagai bentuk lain dari keserakahan, karena suami atau istri merasa tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya, yaitu pasangan hidupnya. Keserahakan juga dapat dilihat pada perilaku remaja yang melakukan hubungan seks sebelum nikah, karena tindakan itu hanya dikhususkan bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri (makanya, hubungan seks = hubungan suami istri). Orang yang melakukan korupsi pun dapat dimasukkan ke dalam kategori serakah.

Masih banyak lagi bentuk konkret dari keserakahan. Yang akan dibahas di sini adalah soal rangkap jabatan. Ada banyak dalam kehidupan kita, baik itu dalam dunia sipil maupun dalam dunia Gereja, fenomena rangkap jabatan. Artinya, satu orang memegang beberapa jabatan. Menjadi persoalan, apakah rangkap jabatan termasuk kategori serakah?

Perlu disadari bahwa tidak semua yang rangkap jabatan itu adalah serakah. Akan tetapi, yang serakah itu pasti rangkap jabatan. Tidak ada orang yang tidak serakah hanya memiliki satu jabatan saja. Karena sifat tidak puas dengan apa yang sudah ada itu membuat orang berusaha untuk mendapatkan jabatan lain. Namun, orang yang rangkap jabatan belum bisa dikatakan sebagai orang serakah.

Senin, 21 November 2022

MENGENAL SEKILAS TENTANG SAKRAMEN TOBAT

 

Salah satu poin penting pada masa Tahun Suci Kerahiman adalah pertobatan. Umat diajak untuk bertobat, karena pertobatan merupakan sarana, yang darinya umat mendapatkan kerahiman Allah berupa pengampunan dosa. Dengan pengampunan dosa, kita memperoleh belas kasih Allah, sehingga kita berdamai kembali dengan Allah. Paus Benediktus XVI pernah berkata, “Tidak benar jika kita berpikir harus hidup sedemikian rupa sehingga kita tidak pernah membutuhkan pengampunan. Kita harus menerima kelemahan kita, tetapi terus berjalan, tidak menyerah tetapi bergerak maju dan bertobat menjadi baru kembali melalui Sakramen Pengampunan Dosa sebagai langkah awal, tumbuh dan menjadi dewasa dalam Tuhan oleh persekutuan kita dengan Dia.”

Hendaklah di tahun penuh rahmat ini umat benar-benar memanfaatkan pertobatan. Tobat ada karena ada dosa. Setiap manusia pastilah berdosa. Yohanes dalam suratnya yang pertama menulis, “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” (1Yoh 1: 8). Karena itu, St. Yohanes Maria Vianney berkata, “Setelah jatuh, segeralah bangkit kembali! Jangan biarkan dosa di dalam hatimu bahkan untuk sejenak!” Pastor dari Ars ini mengajak kita untuk menggunakan sarana yang ada, yaitu Sakramen Tobat. “Allah sangat menghargai pertobatan sehingga sekecil apa pun pertobatan di dunia, asalkan itu murni, menyebabkan Dia melupakan segala jenis dosa, bahkan setan pun akan diampuni semua dosanya, jika saja mereka memiliki penyesalan,” demikian kata St. Fransiskus de Sales.

“Pertobatan yang tulus adalah menghindari kesempatan untuk berbuat dosa,” ujar St. Bernardus Clairvaux. Dengan bertobat, kita diminta untuk tidak mengulangi dosa-dosa yang telah diakukan. Yang penting kita mau datang ke ruang pengakuan dengan rasa sesal dan niat untuk bertobat. Jangan suka menunda. Yohanes Maria Vianney menasehati, “Kita selalu menunda pertobatan kita lagi dan lagi sampai ajal tiba. Tapi siapa bilang bahwa kita masih akan memiliki waktu dan kekuatan untuk itu?” Karena itu, bertobatlah sekarang!

Mgr Ignatius Suharyo, dalam bukunya The Catholic Way (2009: 25), mengatakan ada tiga proses pertobatan. ketiga proses itu adalah [1] Pengakuan Pujian. Proses tobat diawali dengan menyadari dan mengalami kebaikan/anugerah Allah dalam hidup. Namun anugerah ini tidak ditanggapi dengan baik. Kita sering gagal dan jatuh. Pengakuan inilah yang diungkapkan dalam [2] Pengakuan Mengenai Hidup. Kita sadari dan akui kegagalan dan kejatuhan kita. Namun, sekalipun sering jatuh, kita tetap percaya bahwa kasih setia dan kerahiman Allah tanpa batas. Inilah yang dinyatakan dalam [3] Pengakuan Iman. Dengan demikian Sakramen Tobat pertama-tama membantu kita untuk mengalami kasih setia dan kerahiman Allah, bukan untuk menuduh diri kita.

Minggu, 20 November 2022

STUDI ALQURAN: SURAH YUSUF AYAT 41

Umat islam percaya dan mengakui kitab sucinya merupakan kitab kebenaran. Dasar kepercayaan ini terletak pada perkataan Allah. Selain itu, Allah juga menjadi jaminan akan kebenaran itu. Allah adalah maha benar. Tidak mungkin Allah salah atau pun keliru. Tak mungkin juga Allah berbohong. Karena itulah, kitab yang berasal dari-Nya adalah juga benar. Kebenaran itu menyangkut segala informasi yang diberikan Allah. Ada banyak informasi yang diberikan, termasuk sejarah. Wahyu Allah dalam surah Yusuf ayat 41 termasuk kebenaran sejarah yang disampaikan Allah.


Apabila video di atas sulit untuk dibuka, silahkan coba buka di channel youtube kami. Selamat menonton!!! 

Jumat, 18 November 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ANAM AYAT 114

 


Pantaskah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu secara rinci? Orang-orang yang telah Kami beri kitab mengetahui benar bahwa (Al-Qur’an) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. (QS 6: 114)

Tak bisa dipungkiri bahwa umat islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad, yang kemudian ditulis di atas kertas. Sekalipun ada di kertas, tapi umat islam yakin bahwa itu adalah kata-kata Allah sendiri. Karena Allah itu suci, maka kertas yang ditulisi perkataan Allah itu adalah suci juga. Maka tak heran ketika ditemukan lembaran-lembaran Al-Qur’an di tempat sampah, yang sebagiannya sudah terbakar, umat islam merasa marah. Hal itu dilihat sebagai bentuk penghinaan terhadap Allah. Allah sendiri sudah meminta umat islam untuk membunuh mereka yang menghina-Nya (QS al-Maidah: 33).

Dasar keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah sendiri. Allah sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya. Berhubung Allah itu mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar. Mana mungkin Allah yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena manusia bisa berbohong. Logika pikir orang islam kira-kira begini: bahwa Al-Qur’an itu wahyu Allah karena Allah sendiri yang mengatakannya adalah benar, sebab Allah itu mahabenar yang tak bisa berbohong.

Berangkat dari premis ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa yang tertulis di atas (kecuali kata “Al-Qur’an”), semuanya diyakini merupakan kata-kata Allah, yang kemudian ditulis oleh manusia. Seperti itulah kata-kata Allah ketika diucapkan. Dan perkataan Allah ini disampaikan kepada Muhammad, karena hanya Muhammad saja sebagai penerima wahyu. Jadi, bisa dikatakan bahwa konteks seluruh Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Karena surah ini masuk dalam kelompok surah Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini saat Muhammad ada di Mekkah.

Jika kutipan kalimat Allah di atas dilepaskan dari konteksnya, maka pembaca akan dengan sangat mudah memahaminya; dan kalimat Allah itu sangatlah indah dan baik. Akan tetapi, akan berbeda jika kutipan teks di atas ditempatkan pada konteksnya. Orang yang mempunyai nalar akal sehat akan langsung menemukan keanehan dan persoalannya. Akar persoalan terletak pada 4 kata kunci, yaitu aku, Dialah, Kami dan Tuhanmu.

Kamis, 17 November 2022

ORANG KATOLIK JANGAN MALU BUAT TANDA SALIB

 

Tentu kita pernah melihat aksi para pesepak bola yang beragama katolik ketika memasuki lapangan. Mereka menyentuh rumput lapangan dengan ujung tangannya lalu membuat tanda salib. Hal yang sama dapat kita saksikan pada diri petinju kita Chris “Dragon” John. Sebelum memasuki ring dan setelah bertarung, ia selalu membuat tanda salib. Atau mungkin sebagian kita masih ingat aksi Susi Susanti, ketika memastikan emas di Olimpiade Barcelona untuk cabang olah raga Badminton. Susi membuat tanda salib.

Kebiasaan membuat tanda salib sangat populer dalam kehidupan orang-orang Flores. Dalam setiap aktivitas, orang selalu membuat tanda salib. Saat mau mandi, orang membasahi terlebih dahulu ujung jarinya lalu membuat tanda salib. Bahkan ada lelucon pencuri kelapa. Sebelum memanjat kelapa, ia membuat tanda salib dahulu.

Tanda salib merupakan ciri khas orang katolik. Ketika ada orang membuat tanda salib, pasti orang lain tahu bahwa pembuat tanda salib itu adalah katolik. Ada sebuah cerita. Seorang frater hendak liburan ke kampung. Ia naik bus lintas. Pada suatu perhentian ia turun makan. Setelah pesanan terhidang di atas meja, frater itu membuat tanda salib dan berdoa sejenak. Aksinya diperhatikan oleh seorang bapak keluarga di meja sebelah. Bapak ini, yang ternyata juga katolik, merasa kagum dengan tindakan frater itu mengingat tempat mereka makan merupakan daerah muslim. Akhir cerita, bapak itu membayar makanan frater itu.

Ada orang merasa malu dan takut membuat tanda salib. Mungkin mereka masih terbawa alam pikiran orang-orang Yahudi dan Yunani pada jaman dulu, karena salib merupakan suatu aib dan kebodohan. Orang-orang katolik jaman sekarang yang malu membuat tanda salib tak jauh beda dengan kebanyakan jemaat perdana. Karena itu, St. Sirilus dari Yerusalem (313 – 387) pernah berkata, “Jangan malu mengakui Sang Tersalib. Marilah dengan penuh keyakinan kita ‘memeterai’ dahi kita dengan jari-jari. Marilah membuat tanda salib pada setiap benda, pada roti yang kita makan dan pada cangkir tempat kita minum. Marilah membuat tanda salib ketika beranjak pergi dan pulang, sebelum tidur, ketika berbaring, ketika bangun, ketika menempuh perjalanan atau beristirahat.”

Jadi, ternyata nasehat untuk selalu membuat tanda salib dalam setiap aktivitas kita sudah disuarakan oleh orang kudus dari abad IV. Membuat tanda salib memiliki banyak makna. Yang utama adalah kita menempatkan diri kita dalam perlindungan Allah Tritunggal. Inilah yang diharapkan oleh para pemain sepak bola ketika memasuki lapangan, atau Chris John ketika memasuki ring tinju. Mereka menyerahkan diri mereka kepada perlindungan Allah Tritunggal: Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Membuat tanda salib dapat juga dilihat sebagai ungkapan syukur. Inilah yang ditampilkan Susi Susanti setelah mengakhiri permainan dengan kemenangan. Susi mengangkat kedua tangannya ke atas dan kemudian ia membuat tanda salib. Salib bagi orang Kristen adalah tanda kemenangan, dan Susi memperoleh kemenangannya. Karena itu, ia mempersembahkan kemenangannya itu kepada Sang Pemberi Kemenangan, yaitu Yang Tersalib. Itulah ungkapan syukurnya.

Dengan membuat tanda salib, secara tidak langsung kita sudah membuat pewartaan. Pewartaan sederhana yang ditampilkan adalah bahwa kita orang katolik, pengikut Kristus. Tentu diharapkan bukan diri kita yang menjadi pusat pewartaannya, melainkan Kristus. Sangat diharapkan setelah orang lain tahu bahwa kita adalah katolik, kita menampilkan kekatolikan kita dalam hidup.  Misalnya seperti kasih. Dari sinilah orang akan dapat dihantar kepada Sang Kasih itu. Jadi, jika kita melakukan kasih tanpa tanda salib, orang tidak dapat mengenal Sang Kasih itu. Tapi, jika dengan tanda salib, orang dapat mengenal-Nya. Itulah perwartaan kita.

Oleh karena itu, marilah kita, dalam kehidupan sehari-hari, kita membuat tanda salib. Dengan membuat tanda salib di awal kegiatan, kita sudah melakukan pewartaan bahwa Yesus yang tersalib telah menyelamatkanku, dan kini Dia tetap melindungiku. Kita dapat membuat tanda salib sambil berdoa dalam hati, “Yesus, Kau andalanku!” atau “Yesus, jagalah aku!” Hendaklah kita juga tidak lupa membuat tanda salib setelah melakukan kegiatan. Tanda salib yang kita buat di akhir kegiatan merupakan bentuk syukur dan terima kasih kita.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Rabu, 16 November 2022

ANAK CACAT: DOSA ORANGTUA ATAU KEHENDAK ALLAH?

 


Kerap dijumpai pemikiran bahwa cacat anak dikaitkan kepada dosa orangtuanya. Yesus sendiri pernah menghadapi pemikiran seperti ini (Yoh 9). Ketika bertemu dengan orang buta sejak kecil, orang-orang bertanya hendak menguji Dia apakah penyakit orang itu lantaran dosa orangtuanya atau dosa orang itu sendiri. Jawaban Yesus sama sekali tidak mengaitkan baik orangtua maupun yang bersangkutan, melainkan agar “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (ay. 3) Di sini Yesus mau mengajak orang-orang untuk tidak menghakimi orang yang sudah menderita, melainkan ikut berbela rasa dengan mereka. Daripada menghakimi, lebih baik berbelas kasih demi kemuliaan Allah. Itulah pekerjaan Allah.

Lantas kenapa ada anak yang lahir cacat? Anak lahir tanpa dosa, tak mungkinlah dia cacat jika bukan karena dosa orangtuanya.

Menarik kalau kita merenungkan firman Allah kepada Musa dalam Kitab Imamat: “Jikalau seseorang berbuat dosa dengan melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan tanpa mengetahuinya, maka ia bersalah dan harus menanggung kesalahannya sendiri.” (5: 17). Firman Allah ini kembali ditegaskan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: “Barangsiapa berbuat kesalahan, ia akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.” (Kol 3: 25). Dari dua teks kitab suci ini tampak jelas bahwa masing-masing orang menanggung dosanya sendiri. Hanya Yesus yang menanggung dosa umat manusia dan memakunya di salib sebagai bentuk penebusan dosa (1Ptr 2: 24; Rom 5: 8). Jadi, harus ditegaskan cacat anak bukan lantaran dosa orangtuanya.

Lalu, apakah karena dosa anak itu sendiri? Bukankah dia lahir tanpa dosa? Pandangan anak lahir tanpa dosa muncul karena pengaruh pemikiran John Locke dengan teori “tabula rasa”. Dalam teori ini setiap manusia lahir seperti kertas putih. Perkembangan hidupnya membuat lembar-lembar kertas putih itu mulai ada coret-coretan. Apakah Gereja mengakui teori ini terkait dosa?

Mari kita baca surat Paulus kepada jemaat di Roma. Di sana dikatakan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (5: 12). Yang dimaksud “satu orang” itu adalah Adam. Jadi, karena dosa Adam, dosa itu masuk ke dunia. Upah dosa adalah maut (Rom 6: 23); dan maut itu menjalar sehingga semua orang telah berbuat dosa. Ini berarti setiap manusia yang lahir ke dunia membawa dosa tersebut. St. Agustinus mengistilahkannya dengan “dosa asal” atau “dosa keturunan”. Akan tetapi, kita tak perlu gelisah, karena Paulus melanjutkan refleksinya bahwa karena satu orang juga manusia mendapatkan kasih karunia Allah (Rom 5: 15-19; bdk. 1Kor 15: 21-22). Satu orang itu adalah Yesus, sehingga Dia dikenal juga sebagai Adam Baru. Yesus telah menebus dosa manusia. Untuk masa kini rahmat penebusan itu hadir dalam Sakramen Baptis. Karena itulah, Gereja Katolik mempunyai tradisi membaptis bayi.

Lantas bagaimana bisa memahami fenomena anak lahir cacat dalam pandangan Gereja?

Selasa, 15 November 2022

INSENTIP JASA PELAYANAN: HARAM ATAU HALAL

 Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh pimpinan lembaga Gereja, yang diselenggarakan oleh Bimas Katolik, seorang bapak meminta tanggapan soal boleh tidaknya seorang petugas pastoral menerima uang insentip. Ia bertanya, “Apakah tabu atau tidak seorang pendamping Sekolah Minggu, misalnya, menerima uang insentip?”

Forum terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang mengatakan “boleh” alias tidak tabu. Alasannya, karena mereka telah meninggalkan “pekerjaannya” untuk pelayanan, dimana pekerjaannya itu seharusnya mendatangkan uang baginya. Yang lain melihat uang insentip itu sebagai ganti BBM yang hilang terpakai. Ada juga yang mengemukakan dasar biblis. “Seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10: 10).
Kelompok lain menyatakan tabu. Dengan kata lain, seorang petugas pendamping sekolah minggu atau sejenisnya tidak boleh menerima insentip. Mereka melihat bahwa tugas-tugas itu sebagai bentuk pelayanan kepada Gereja. Karena itu, upahnya tidak dilihat di dunia ini, melainkan di sorga, seperti pernyataan Tuhan Yesus dalam Sabda di bukit, “upahmu besar di sorga”. Ada juga yang mengemukakan dasar biblis, “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah.” (1Kor 9: 18).
Satu ketakutan kelompok yang menolak adanya uang insentip bagi petugas Gereja, yang dikenal dengan istilah “penyuluh non-PNS”, adalah perubahan mental. Sebelum adanya uang insentip, pelayanan yang dilakukan merupakan pengabdian. Orang datang bertugas karena memang ingin mengabdi. Namun dengan adanya uang akan terjadi perubahan. Bukan pengabdian yang diutamakan, melainkan uang-nya. Ada kecemasan jika tidak ada uang, orang tidak mau lagi memberi diri dalam tugas-tugas menggereja. Tentu ketakutan ini didasari pada pernyataan Santo Paulus, “Akar segala kejahatan ialah cinta uang.” (1Tim 6: 10). Uang membuat nilai pelayanan menjadi rusak.
Bagaimana hal ini harus disikapi? Ada dua hal utama dalam persoalan ini yang perlu disikapi, yaitu uang dan pelayanan. Uang adalah efek dari pelayanan yang diberikan. Namun ada ketakutan bahwa uang itu dapat merusak pelayanan. Untuk itu, pertama-tama harus dilihat secara baik dan benar uang itu. Apakah uang itu dilihat sebagai HAK atau sebagai HADIAH?
Jika uang insentip dilihat sebagai HAK, maka wajar saja kalau petugas Gereja tadi menerimanya. Ia menerima uang tadi karena ia sudah melaksanakan kewajibannya, yaitu tugas-tugas menggereja. Ada HAK maka ada pula KEWAJIBAN. Jadi, pelayanannya dilihat sebagai kewajiban. Tugas-tugas sebagai pendamping BIAR, misdinar atau pendampingan bagi calon penerima sakramen merupakan suatu kewajiban. Karena itu, dasar biblis “seorang pekerja patut mendapat upahnya” dapat digunakan di sini.

Senin, 14 November 2022

MEMAHAMI WAHYU ALLAH DALAM QS 33: 59

 

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap wanita islam identik dengan kerudung, atau biasa disebut jilbab. Bahkan jilbab menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Karena itu, sejak anak-anak pun, perempuan mengenakan jilbab; dan polisi wanita yang beragama islam pun menanggalkan seragam lazimnya dan mulai memakai jilbab. Perintah ini datang dari Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad, sehingga wajib untuk diikuti.

Pendasaran kewajiban mengenakan jilbab ini dapat dijumpai dalam QS al-Ahzab: 59. Bunyi surah tersebut adalah demikian, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam islam, selalu ada peristiwa yang mendasarkan turunnya firmal Allah kepada Nabi Muhammad. Dan ada ilmu yang khusus mempelajari asal usul ayat-ayat Al-Qur'an, yang dikenal dengan istilah Asbabun Nuzul. Terkait dengan kewajiban jilbab, ada dua peristiwa yang menjadi sebab turunnya surat ini.

Pertama, peristiwa yang dialami oleh seorang istri Muhammad bernama Siti Saudah. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Saudah keluar rumah untuk keperluan. Pada waktu itu, Umar melihatnya dan berkata, “Hai Saudah. Demi Allah, bagaimana pun kamu akan dapat mengenalmu. Karenanya cobalah pikir mengapa engkau keluar?” Dengan tergesa-gesa ia pulang. Ketika bertemu dengan Muhammad, ia berkata, “Ya Rasulallah, aku keluar untuk sesuatu keperluan, dan Umar menegurku (karena ia masih mengenalku).” Karena peristiwa inilah maka turun surah al-Ahzab: 59.

Kedua, peristiwa yang dialami oleh istri-istri Muhammad. Diceritakan bahwa suatu malam, istri-istri Muhammad keluar dari tenda untuk buang hajat (beol/pipis?). Pada waktu itu kaum munafiqin menganggu mereka yang menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah SAW, sehingga Rasul menegur kaum munafiqin. Mereka menjawab, “Kami hanya menganggu hamba sahaya.” Setelah peristiwa inilah maka turun surah al-Ahzab: 59.

Perlu diketahui bahwa pada saat peristiwa itu terjadi belum ada perintah untuk mengenakan jilbab. Jadi, saat itu Saudah dan istri-istri Muhammad, bahkan para istri pengikut nabi, tidak mengenakan jilbab. Kaum munafiqin mengira bahwa mereka bukan istri Muhammad sehingga mereka menggodanya. Mereka tidak mengenal sehingga dengan sendirinya menggoda. Akan tetapi, setelah peristiwa itu, maka mulailah isteri-isteri Muhammad mengenakan jilbab. Demikian pula istri-istri orang islam.

Namun ada beberapa persoalan, karena surah ini turun setelah ada dua peristiwa. Artinya, pewajiban mengenakan jilbab setelah turun surah al-Ahzab: 59. Pertama, kita tidak tahu waktu dari dua peristiwa tersebut, apakah peristiwa itu terjadi pada hari yang sama atau berlainan. Hal ini mengandaikan bahwa surah ini turun dua kali, yaitu saat Muhammad berbicara dengan Siti Saudah di rumah istri cantiknya, Aisyah, dan saat Muhammad menegur kaum munafiqin. Karena itu, bisa dipertanyakan, kenapa para istri Muhammad tidak mengenakan jilbab ketika mereka keluar hendak buang hajat? Bukankah surah pewajiban jilbab sudah turun ketika Muhammad berbicara dengan Siti Saudah? Atau sebaliknya.

Minggu, 13 November 2022

STUDI ALQURAN: SURAH MUHAMMAD AYAT 8

Allah swt sudah berkata bahwa alquran merupakan kitab atau keterangan yang jelas. Allah sendiri sudah memudahkan ayat-Nya sehingga memudahkan umat islam untuk memahaminya. Menjadi pertanyaan, benarkah alquran itu kitab yang jelas? Sungguh jelaskah wahyu Allah dalam ayat-ayat alquran? Video berikut ini mencoba memberi sedikit jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. 


Apabila video di atas tidak bisa di buka, atau mengalami kesulitan dan prosesnya, silahkan coba buka di channel youtube kami. Selamat belajar!!!


Jumat, 11 November 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ANAM AYAT 104

 


Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka dialah yang rugi. Dan aku (Muhammad) bukanlah penjaga(mu). (QS 6: 104)

Publik sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga sebagai wahyu Allah. Karena Allah itu maha benar, maka benar pula apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu, Al-Qur’an dinilai suci karena Allah adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an berarti juga penghinaan terhadap Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi bentuk hukuman bagi mereka yang menghina-Nya (QS al-Maidah: 33).

Al-Qur’an dikenal juga sebagai kitab atau keterangan yang jelas. Kata “jelas” di sini dimaknai bahwa apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an harus dimaknai secara lugas. Dengan kata lain, ketika Allah berbicara, Allah tidak menggunakan kata-kata kias. Karena itu, kata “membunuh” harus dipahami dengan tindakan menghilangkan nyawa seseorang, tidak ada makna lain. Demikian pula dengan kata “perang” atau “jihad”. Memang tidak semua perkataan Allah itu selalu bermakna lugas. Ada beberapa yang memiliki makna kias, terlebih kata-kata yang berkonotasi seksual. Misalnya, kata “bercampur” dimaknai dengan bersetubuh. Sekalipun memakai makna kias, tetap saja perkataan Allah itu mudah dipahami, karena Allah sendiri sudah berfirman bahwa diri-Nya telah memudahkan Al-Qur’an supaya mudah dipahami.

Berangkat dari premis-premis di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa kutipan di atas tidaklah sepenuhnya merupakan perkataan Allah. Tulisan yang berada di dalam tanda kurang harus diakui sebagai tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Dengan perkataan lain, kata-kata yang ada dalam tanda kurung tidak pernah diucapkan oleh Allah. Karena itu, aslinya wahyu Allah ini berbunyi sebagai berikut: Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa melihat, maka bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta, maka dialah yang rugi. Dan aku bukanlah penjaga.”

Kamis, 10 November 2022

SELALU ADA RUANG MISTERI DALAM AGAMA

 

Dari etimologinya, kata “agama” memiliki beberapa arti. Ada yang mengatakan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, dari kata A yang berarti tidak dan GAMA yang berarti kacau. Secara sederhana agama dipahami tidak kacau; dan ini mengarah pada tradisi. Biasanya tradisi ini mengacu pada relasi manusia dengan Sang Pencipta, sesamanya dan juga alam. Jika agama ini dipelihara maka terciptalah harmoni.

Istilah lain yang sering dipakai untuk pengertian agama adalah RELIGI. Istilah ini berasal dari Bahasa Latin “religio”, yang diambil dari akar kata RE yang berarti kembali, dan LIGARE yang berarti mengikat. Jadi, religi berarti mengikat kembali; karena istilah ini biasa digunakan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka istilah religi dipahami mengikat kembali relasi dengan Tuhan.

Apapun pengertiannya, istilah agama ini biasanya dikaitkan dengan Tuhan. Karena itu, orang sering mendefinisikan agama sebagai penghambaan manusia kepada Tuhannya. Relasi manusia dengan Tuhan adalah relasi hamba – tuan. Dan untuk mengatur relasi itu, muncullah agama.

Rabu, 09 November 2022

STUDI AL-QUR'AN: SURAH ALI IMRAN AYAT 6

Seperti yang telah diketahui umum, apa yang tertulis di dalam surah ali imran ayat 6 merupakan perkataan Allah, yang diucapkan-Nya sendiri kepada Muhammad. Jadi, waktu itu Allah berfirman kepada Muhammad, “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim menurut yang Dia kehendaki. Tidak ada tuhan selain Dia.” Siapakah yang dimaksud dengan DIA dalam wahyu Allah ini? Tentu saja umat islam langsung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan DIA adalah Allah. Akan tetapi, apakah Allah yang dimaksud adalah Allah yang berbicara? Tentulah bukan. Jika Allah yang dimaksud adalah Allah yang berbicara jelas-jelas menyalahi logika akal sehat.



Selasa, 08 November 2022

BERBAGI ATAU MEMBERI

 

Berbagi merupakan suatu kegiatan memberi apa yang dimiliki kepada orang lain. Yang diberi ini tidak harus berwujud materi, tetapi dapat juga berbentuk non materi seperti saran, ilmu pengetahuan atau tugas pekerjaan. Jadi, berbagi di sini terjadi pada orang yang memiliki “kelimpahan” dan menyerahkan “kelimpahan” itu kepada yang tidak mempunyai. Berbagi bisa terjadi dalam urusan pekerjaan. Berbagi tugas misalnya. Sebagai contoh, seorang pimpinan memberikan beberapa tugas kepada bawahannya untuk dikerjakan. Orang yang menerima tugas tersebut bertanggung jawab kepada si pemberi tugas.

Akan tetapi, tidak selamanya memberi tugas itu termasuk berbagi tugas. Memberi tugas kepada orang lain terjadi karena si pemberi tidak dapat mengerjakan tugas-tugas itu pada waktu yang sama dan di tempat yang berbeda. Misalnya, pastor paroki tidak dapat merayakan dua misa pernikahan pada waktu yang sama di dua tempat yang berbeda. Jika ia memberikan salah satu tugas itu kepada pastor pembantunya, ia bukan berbagi tugas, melainkan memberi tugas.

Memberi tugas juga dapat terjadi karena si pemberi tidak suka pada pekerjaan yang dihadapinya. Misalnya, seorang ibu minta pelayanan misa arwah di rumahnya. Pastor paroki tidak suka merayakan misa di sana karena yakin ia tidak akan mendapatkan uang stipendium yang besar. Maka ia menyerahkan tugas pelayanan itu kepada pastor pembantunya. Terkesan bahwa pastor paroki ini sudah berbagi tugas, padahal dia hanya memberi tugas.

Dengan berbagi tugas seseorang tidak hanya memberikan suatu tugas, melainkan memberikan kepercayaan. Sekalipun seseorang dapat melakukan tugas-tugas tersebut, namun ia menyerahkan kewenangan itu kepada orang lain, dan ia akan tunduk karena ia sudah percaya kepadanya. Sebagai contoh akan diambil dari kehidupan di paroki. Di paroki pastor paroki adalah pemegang kuasa. Semua tugas adalah kewenangannya. Pastor pembantu hanya menerima sisa-sisa; atau tugas yang sama sekali tidak bisa dikerjakan oleh pastor paroki karena keterbatasan ruang dan waktu atau karena ketidaksukaan pada tugas.

Misalnya, seorang pastor paroki mempercayakan kepada pastor pembantunya untuk bertugas membagikan jadwal misa; dan ia akan tunduk pada pembagian yang dibuat pembantunya itu. Atau pastor paroki memberi keparcayaan kepada pastor pembantunya untuk mengurus soal Kursus Persiapan Perkawinan, administrasi paroki, pembinaan katekumen/komuni pertama/krisma, dll.

Di dalam berbagi tugas ada terkandung beberapa keutamaan, yaitu sikap rendah hati dan semangat bekerja sama. Hanya orang yang rendah hati dan yang memiliki semangat bekerja sama saja mau memberikan sebagian kewenangannya kepada orang lain. Orang yang rendah hati akan tahu diri tentang keterbatasan dirinya dan makna tugas pelayanannya. Karena itu, orang yang memiliki sikap rendah hati akan selalu terbuka dengan siapa saja sehingga ia dapat bekerja sama.

Jadi, ada perbedaan antara memberi tugas dengan berbagi tugas. Berbagi tugas merupakan suatu keutamaan, sedangkan memberi tugas bukan merupakan keutamaan. Ia adalah hal biasa, karena adanya keterbatasan ruang dan waktu atau karena selera. Untuk perkembangan suatu lembaga, dibutuhkan adanya sistem berbagi tugas dari para pimpinan kepada bawahan.

Senin, 07 November 2022

CATATAN HUJAN BULAN OKTOBER

 

Sebenarnya pemantauan hujan selama bulan Oktober berlangsung di Ujung Beting. Saya tiba di Ujung Beting pada tanggal 28 September. Tiga hari terakhir September di Ujung Beting tidak diisi dengan hujan. Langit memang mendung, tapi hujan tak kunjung turun. Berhubung Rm. Simpli baru tiba tanggal 10, sementara Rm. Yohan pergi cuti ke kampung, maka saya terpaksa menetap lagi di Dabo. Mulai tanggal 14 Oktober saya menetap di Dabo. Bagaimana pantauan hujan di dua lokasi ini?

Mulai tanggal 1 hingga saya berangkat ke Dabo, hujan hampir turun setiap hari. Curah hujan cukup tinggi. Intensitas hujan memang ringan dan sedang, tapi ini hampir setiap hari berlangsung. Demikian pula pantauan hujan di Dabo. Sejak tiba hujan selalu turun, hampir setiap hari. Intensitas hujan hampir mirip seperti di Ujung Beting.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan curah hujan di bulan Oktober ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Prediksi kita, dengan membandingkan catatan hujan di tahun 2021, jelas meleset jauh. Karena itu, jika digrafikkan maka akan terlihat grafik meningkat. Memperhatikan curah hujan di bulan Oktober ini dapatlah dipastikan saatnya memasuki musim hujan. Tren curah hujan tinggi belanjut di awal November. Tanggal 1 Nov hujan turun seharian, dan dilanjutkan pada tanggal 3, 5 dan 6. Tanggal 7 saya sudah berada di Ujung Beting. Pemantauan berikutnya dari sana. Bukan tidak mungkin di sisa 2 bulan tahun 2022 curah hujan tetap tinggi.

Minggu, 06 November 2022

STUDI ALQURAN: MUHAMMAD TELADAN AGUNG

Bagi umat islam posisi Muhammad sudah jelas dan pasti. Dia dipuja, dipuji, dimuliakan, diagungkan bahkan disembah. Allah sendiri sudah berkata taat kepada Muhammad sama artinya taat kepada Allah. Karena itu, tidak heran kalau muncul gelar buat Muhammad sebagai insan kamil, manusia sempurna. Tapi ketika ditanya dimana letak kesempurnaan Muhammad, dapat dikatakan umat islam tak punya jawaban pasti dan tegas. Video berikut ini mengulas sosok Muhammad sebagai teladan agung, yang wajib diikuti setiap muslim.


 Jika tak bisa memutar video di atas, silahkan cari atau buka di channel youtube kami. Selamat menikmati!!

Jumat, 04 November 2022

TINJAUAN ATAS KATA GANTI ALLAH DALAM SURAH AL-ANAM

 


Dewasa ini, jika dikatakan Al-Qur’an tentulah orang langsung memahaminya sebagai kitab suci umat islam yang bertuliskan bahasa Arab, yang terdiri dari 114 surah. Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Ia dipercaya sebagai wahyu Allah yang disampaikan langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Jadi, konteks keseluruhan ayat Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Apa yang didengar Muhammad inilah yang kemudian ditulis, dan akhirnya menjadi Al-Qur’an. Karena itu, apa yang tertulis di dalamnya dipercaya sebagai kata-kata Allah. Kepercayaan ini didasarkan pada perkataan Allah sendiri yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya bahwa kitab sucinya merupakan wahyu Allah karena Allah sudah mengatakan demikian dalam kitabnya. Hal inilah yang membuat umat islam menaruh hormat yang tinggi pada Al-Qur’an. Penodaan terhadap Al-Qur’an dilihat sebagai penodaan terhadap Allah sendiri, dan orang yang melakukan itu harus dibunuh. Ini merupakan perintah Allah, yang tertuang dalam Al-Qur’an sendiri (QS al-Maidah: 33).

Surah al-Anam merupakan surah keenam dalam kitab Al-Qur’an. Surah ini masuk dalam kelompok surah makkiyyah, artinya wahyu Allah yang turun saat Muhammad berada di Mekkah. Surah al-Anam terdiri dari 165 ayat. Dapat dipastikan ke-165 ayat ini tidaklah turun sekaligus. Artinya, Allah tidak langsung menyampaikan kepada Muhammad ke-165 wahyu-Nya ini. Bisa saja Allah menyampaikannya 2 kali, bisa juga lebih. Tidak ada yang tahu pasti.

Seperti surah-surah lainnya, dalam surah al-Anam ini Allah memakai beberapa kata ganti, yang dimaknai sebagai Allah. Selain kata “Allah” sendiri, digunakan juga kata ganti “Kami”, “Dia” dan “Aku”. Jika ditelusuri, kata “Allah” terdapat dalam 18 ayat, kata “Kami” ada 48 ayat, kata “Dia” ada 37 ayat, dan kata “Aku” dalam bentuk kepunyaan ada 2 ayat. Penggunaan kata-kata ganti ini bervariasi. Misalnya, pada ayat 1 dipakai kata “Allah”, lalu dua ayat berikutnya pakai “Dia” untuk menunjukkan pengganti kata “Allah” di depannya. Ayat 4 kembali pakai kata “Tuhan” sebagai kata lain dari “Allah”. Dan pada ayat 6 – 9 digunakan kata “Kami”. Terlihat pemakaian 3 kata ganti ini selalu berselang-seling. Gambaran seperti ini terulang berkali-kali sepanjang surah al-Anam. Sebagai contoh, ayat 126 memakai kata “Kami”, ayat 127-128 pakai kata “Dia”, dan ayat 129 kembali pakai kata “Kami”, tapi ayat 130 menggunakan kata ganti “Aku” dalam bentuk kepunyaan (ayat-ayat-Ku).

Kamis, 03 November 2022

ANTARA PELAYAAN DAN KEWAJIBAN

 

Saya merasa risih mendengar pernyataan seorang imam bahwa dirinya telah melakukan tugas pelayanan dengan maksimal. “Kami bekerja setiap hari selama seminggu. Kerjanya 24 jam.” Ungkap imam itu dengan bangganya. Tugas yang dimaksud imam tersebut adalah misa setiap hari (misa harian), setiap hari Minggu 2 hingga 3 kali; kadang tengah malam dibangunkan untuk memberi pengurapan orang sakit, dll. Intinya, semua tugas sakramen dan sakramentalia.

Kebanggaan imam itu ditambah lagi dengan uang saku yang diterimanya. Sekalipun bekerja setiap hari dan 24 jam, ia hanya menerima uang saku. Ia tidak menerima gaji. Uang sakunya pun sedikit, meski ia dapat memiliki benda-benda elektronik yang harganya tak terjangkau uang sakunya sebulan.

Pertanyaannya adalah benarkah imam itu sudah melakukan tugas pelayanan? Pelayanan menjadi inti dari imamat. Ketika ditahbiskan menjadi imam, seorang imam dipanggil untuk melayani, bukan dilayani. Ini mengutip pernyataan Tuhan Yesus sendiri, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20 28).

Pernyataan imam bahwa ia telah melakukan pelayanan patut dipertanyakan. Apakah benar ia sudah melakukan tugas pelayanan, atau tugas kewajiban? Sangat tipis perbedaan antara sebuah tugas pelayanan dengan tugas kewajiban.

Bagi saya, jika hanya sebatas merayakan misa sesuai ketentuan, ini merupakan kewajiban. Adalah tugas seorang imam untuk merayakan ekaristi. Dan adalah juga tugas seorang imam untuk memperhatikan kebutuhan rohani umat gembalaannya. Karena itu, seorang imam merayakan misa bersama umat, entah itu di gereja atau di komunitas, itu adalah kewajibannya.

Bahkan ketika tengah malam, tidur seorang imam diganggu oleh panggilan untuk perminyakan orang sakit, itu adalah kewajibannya. Dia ditahbiskan untuk itu.

Lantas, kapan seorang imam dikatakan melakukan tugas pelayanan? Pelayanan lahir dari dalam diri seorang imam. Tugas yang dilakukan bukan karena aturan atau ketentuan, tetapi karena dirinya mau melakukannya. Dalam pelayanan ada pengorbanan; dan pengorbanan terbesar adalah egonya.

Sebagai contoh, suatu hari seorang imam sudah mempunyai jadwal dua misa. Tiba-tiba ada seorang umat minta diadakan misa di tempatnya. Soal waktu dapat diatur, dan kesempatan itu memang ada. Jika menyanggupi permintaan itu, ia telah melakukan pelayanan. Apalagi jika ia tidak memperhatikan status sosial-ekonomi umat yang minta (terkait dengan stipendium yang bakal diterima).

Atau, ketika seorang imam datang mengunjungi umat tanpa memandang status sosial-ekonomi, suku atau golongan; melayat umat yang mendapat musibah, baik di rumah maupun di penjara dan rumah sakit.

Intinya, di saat imam melakukan suatu tugas, yang tidak termasuk ketentuan baku, dia sudah melakukan pelayanan. Tugas yang sudah ditentukan, misalnya seperti misa, berkat Dalam pelayanan itu, ia telah mengorbankan kepentingan dirinya.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu