Jumat, 11 Oktober 2019

HEBOH SUAMI PERKOSA ISTRI DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG


Hingga saat ini Indonesia, yang sudah 74 tahun merdeka, masih menggunakan hukum pidana produk Pemerintah Kolonial Belanda. Sudah sejak puluhan tahun muncul keinginan agar bangsa Indonesia mempunyai produk hukum pidananya sendiri. Akan tetapi, ketika rancangan undang-undang KUHP hendak disahkan oleh DPR, aksi penolakan begitu kuat. (RUU-KUHP bisa dibaca di sini). Demikian pula dengan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS; RUU-PKS dapat dibaca di sini). Ada beberapa pasal yang dinilai menuai kontroversial. Salah satunya adalah persoalan kehadiran negara pada ranah pribadi.
Persoalan kehadiran negara pada ranah pribadi ini tampak dalam beberapa pasal. Yang paling menonjol adalah soal suami memperkosa istri, yang dapat dihukum maksimal 12 tahun penjara. Kami sendiri belum menemukan pasal dengan klausul perkosaan suami terhadap istri. Akan tetapi, di media sosial persoalan ini ramai dibicarakan para netizen. Mungkin yang dimaksud adalah pasal 597 RKUHP. Pada umumnya netizen bersikap negatif terhadap pasal tersebut, dan menilai pasal tersebut berlebihan.
Sebelum kita membahas persoalan ini, terlebih dahulu kita harus memahami apa yang dimaksud dengan perkosaan suami terhadap istri. Umumnya perkosaan dipahami dengan pemaksaan dalam berhubungan seks; dan yang melakukan pemaksaan itu adalah suami, sedangkan istri sebenarnya menolak. Atau, mengutip pasal 16 RUU PKS, perkosaan adalah “kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.” Jadi, dalam konteks ini, suami memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seks, padahal istri tidak setuju, atau tidak siap atau tidak lagi mood dengan berbagai macam alasan.

UU PERKAWINAN DALAM TERANG KITAB HUKUM KANONIK DAN IMPLIKASINYA BAGI PASTORAL PERKAWINAN

Undang-Undang Republik Indonesia no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan upaya unifikasi dari sekian banyak peraturan atau undang-undang perkawinan sebelumnya. Undang-undang ini adalah sarana negara untuk menjaga tata tertib (keamanan) di ruang publik sekaligus memberikan kepastian hukum bagi warga negara. Karena itu, undang-undang ini mengikat seluruh warga Indonesia.
Karena mengingat setiap orang Indonesia, maka umat katolik juga terikat padanya. Jadi, secara hukum, orang Indonesia yang beragama katolik terikat pada 3 hukum, yaitu hukum ilahi, hukum Gereja dan hukum sipil (negara). Apa saja implikasi pastoral perkawinan terkait undang-undang perkawinan ini? Untuk mengetahui isi undang-undang perkawinan, silahkan klik di sini.
1.    Sifat Monogami Perkawinan
Dari definisi perkawinan (pasal 1) tersirat sifat monogami perkawinan, yaitu bahwa perkawinan terjadi antara “seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri”. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 (1): “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.” Dengan demikian, sebenarnya negara mengakui sifat monogami perkawinan sebagaimana yang diajarkan Gereja Katolik.