Kamis, 23 April 2015

Kesaksian Korban Traffickig

KISAH MANUSIA YANG DIPERJUAL-BELIKAN
Dengan niat tulus, mereka mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, mereka tertipu oleh makelar, dan diperdagangkan seperti barang. Inilah yang dialami Ester Ene, kelahiran Bealaing, Manggarai Timur, Flores, 19 Agustus 1979.
Ester menikah dan tinggal bersama suaminya di Roho, Cibal, sekitar 20 kilo meter sebelah utara Ruteng, ibukota kabupaten Manggarai. Di tempat itu ia tinggal bersama lima anaknya.
Pada tahun 2011, suaminya merantau ke Kalimantan Timur. Selama dalam perantauan, sang suami pernah mengirim uang dan jika ditotal sebanyak tujuh juta rupiah. Sebagian besar uang itu dipakai untuk membayar utang. Karena suami pergi, Ester pun turun tangan mencangkul ladang untuk ditanami padi dan jagung. Namun usaha itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Di penghujung bulan September 2014, Ester bertemu dengan seorang Romo. Atas bantuan Romo itu, ia mendapat pekerjaan menjadi juru masak di SMP St Klaus Kuwu, Ruteng. Sebelum masuk kerja ia ingin pamit dengan keluarganya di kampung. Di sebuah pangkalan ojek ia bertemu dengan sahabatnya. Mereka berdiskusi seputar pekerjaan. Ternyata salah satu tukang ojek di tempat itu mendengar pembicaraan mereka.
Tak lama berselang Ester menyewa tukang ojek itu untuk mengantar pulang ke kampung. Ester waktu itu tidak tahu, kalau tukang ojek itu adalah calo, penyalur pembantu alias asisten rumah tangga (ART). Di perjalanan, calo itu membujuk Ester untuk menjadi ART di Jakarta dengan gaji dua juta rupiah per bulan. Tergiur dengan gaji itu, Ester mengikuti bujukan sang calo.
Dua hari kemudian, Ester pamit dengan anak dan keluarganya. Ia pamit pergi untuk bekerja menjadi juru masak di SMP St Klaus. “Kalau saya jujur, pasti saya dihalangi,” tandas umat Paroki Kristus Raja Pagal, Keuskupan Ruteng ini.
Ditemani calo ia berangkat bersama seorang calon ART lain dari Manggarai Timur menuju Labuan Bajo, Manggarai Barat. Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan kapal feri tujuan Sape, pulau Sumbawa. Dari sana mereka menuju tempat penampungan di Mataram. Di tempat itu Ester melihat ada sekitar 50 orang ART yang sedang ditampung.
Beberapa hari kemudian, Ester bersama tiga temannya diterbangkan ke Jakarta. Setibanya di Bandar Udara Soekarno Hatta mereka dijemput pihak yayasan. Ketika sampai di yayasan handphone (HP) dan KTP mereka langsung dikumpulkan oleh ketua yayasan. Saat itu juga ketua yayasan yang berinisial Y menjelaskan bahwa mereka harus bekerja selama dua tahun tanpa gaji.
Selanjutnya Ester diantar ke sebuah keluarga yang tinggal di apartemen di Jakarta Utara untuk bekerja. Di situ, Ester hanya bertahan tiga hari. Melihat Ester tidak betah, majikannya menelepon yayasan untuk menjemputnya. Pukul tiga pagi Ester dijemput. Setibanya di yayasan, Ester dipukuli dan ditendang oleh Y.
Setelah satu minggu, ia dan kedua temannya diantar lagi untuk bekerja di sebuah keluarga di kawasan Tanah Abang. Di keluarga ini, mereka merawat dua anak majikan yang masih balita. Di samping itu, mereka juga menyapu, mengepel lantai dan mengerjakan seabrek pekerjaan lainnya. Setelah satu bulan, Ester merasa tidak kuat. Ia bersama seorang temannya melarikan diri pada tengah malam. Ia membawa barang-barangnya dengan menggunakan karung karena tasnya disimpan yayasan.
Akhirnya, mereka bertemu seorang pria asal Kupang. Selama dua minggu Ester tinggal di tempat keponakan pria itu di Bekasi, dan November 2014 ia diantar ke rumah Pasutri Henrikus Riko Surya Setiawan dan Yasinta Ami Karyanti.
Menurut Riko dan Ami, sebenarnya mereka tidak membutuhkan pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga mereka kerjakan bersama dan tidak ada kendala. Anak semata wayang mereka juga sedang menempuh studi di Fakultas Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung. “Kami membantu Ester karena desakan hati yang muncul secara spontan,” ujar Riko.
Di rumah mereka, Ester sudah dianggap sebagai anggota keluarga, bukan sebagai pembantu. Peran pembantu, kata Ami dalam rumah tangga hanya membantu. Menurutnya, aktor utama dalam mengurus rumah adalah pemilik rumah itu sendiri. “Saya mengerjakan sendiri apa yang bisa saya lakukan, Ester hanya membantu,” tandas umat Paroki St Clara Bekasi ini. Beberapa hari setelah Ester tinggal bersama mereka, kebutuhan Ester mereka penuhi. Mereka membelikan HP, baju dan kebutuhan Ester yang lain. Setiap Minggu, mereka bersama-sama ke gereja. ”Saya senang bisa pergi ke gereja naik mobil,” ujar Ester.
Dengan HP barunya, Ester pun bisa lancar menjalin komunikasi dengan keluarga di kampung. Kini, batin Ester terusik mendengar kabar bahwa suaminya sudah pulang kampung. Pasutri Riko dan Ami tak keberatan dan siap membantu jika Ester mau pulang kampung. Sebaliknya, keluarga itu pun dengan senang hati menampungnya apabila Ester mau tetap tinggal di Bekasi.
sumber: Hidup Katolik

Orang Kudus 23 April: St. Adelbertus

SANTO ADELBERTUS, USKUP & MARTIR
Santo Adelbertus lahir pada tahun 956 dari sebuah keluarga bangsawan Bohemia. Ia memilih nama Adelbertus pada waktu menerima sakramen penguatan (krisma) dari gurunya Santo Adelbertus dari Magdeburg.

Pada tahun 983, walaupun baru menerima tabhisan subdiakon, Adelbertus muda dipilih dan ditabhiskan menjadi Uskup. Ketika usaha-usahanya untuk menciptakan pembaharuan-pembaharuan di antara klerus dan kaum awam mendapat perlawanan, Adelbertus menanggalkan jabatannya sebagai Uskup pada tahun 990 dan masuk sebuah biara di Roma. Namun ia kemudian di panggil pulang kembali ke Praha. Adelbertus mendapat perlawanan lagi, ketika ia mengekskomunikasikan sekelompok orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan seorang puteri bangsawan yang kedapatan berzinah. Adelbertus meninggalkan Praha dan pergi ke Roma.

Tetapi di Roma, para pemimpin Gereja menasehati dia agar kembali ke keuskupannya, meskipun keadaan Praha belum aman baginya. Atas permintaannya, ia diperbolehkan pergi ke Pomerania (Polandia Barat) untuk berkarya sebagai seorang misionaris di antara orang-orang Prusia. Di sana ia dibunuh oleh orang-orang Polandia pada tanggal 23 April 997. Gereja menghormatinya sebagai seorang martir.

Renungan Hari Kamis Paskah III - B

Renungan Hari Kamis Paskah III, Thn B/I
Bac I  Kis 8: 26 – 40; Injil                        Yoh 6: 44 – 51;

Tuhan Yesus, dalam Injil hari ini, memperkenalkan Diri-Nya sebagai roti hidup. “Akulah roti hidup.” (ay. 48). Ada kesamaan efek dari makan (ay. 51) dan percaya (ay. 47), yaitu mempunyai hidup kekal atau hidup selama-lamanya. Oleh karena itu, makan roti hidup, yang adalah Tubuh Yesus sendiri, berarti juga menerima Dia dalam hidup; atau dengan perkataan lain, menjadi percaya. Kepercayaan inilah yang mendatangkan keselamatan. Ada banyak wujud keselamatan, salah satunya adalah hidup sukacita.

Hidup sukacita karena percaya pada Tuhan Yesus terlihat dalam bacaan pertama. Kemarin dikisahkan tentang warta Filipus di daerah Samaria yang mendatangkan sukacita yang sangat besar setelah penduduk menerima Tuhan Yesus. Hari ini juga terlihat gambaran serupa. Sukacita dialami oleh seorang Ethiopia. Setelah mendengarkan pewartaan Filipus, ia percaya dan mau menerima Tuhan Yesus (ay. 37). Wujud penerimaan itu adalah pembaptisan. Dikatakan bahwa setelah pembaptisan itu, “ia meneruskan perjalanannya dengan sukacita.” (ay. 39).

Hari ini sabda Tuhan mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan Yesus adalah sumber sukacita. Menerima Dia akan mendatangkan sukacita dalam hidup. Menerima Tuhan Yesus berarti percaya kepada-Nya. Karena itu, sabda Tuhan hari ini menyadarkan kita yang sudah lama dibaptis. Dengan baptisan secara tidak langsung berarti kita sudah menerima Tuhan Yesus dalam hidup kita. Persoalannya adalah apakah kita sudah mengalami sukacita? Jika belum, ini berarti kita belum menerima Dia sepenuh hati. Tuhan menghendaki agar kita menerima Dia sepenuh hati, ibarat menyantap roti tak bersisa.

by: adrian