Rabu, 15 Agustus 2018

UTAK-ATIK CAWAPRES PILPRES 2019


Memasuki masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (4 – 10 Agustus), nama untuk calon presiden sudah mengerucut pada dua nama, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Menjadi teka-teki adalah siapa calon wakil presidennya. Semua mata politik terarah pada aneka kalkulasi untuk menentukan pendamping bagi Jokowi dan Prabowo. Proses pemilihan cawapres ini memang dramatis.
Di kubu Joko Widodo santer terdengar nama Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Banyak analis menilai peluang Mahfud MD sangat besar. Apalagi ada info Mahfud pernah menerima telepon dari lingkar dalam Jokowi. Akan tetapi, suara dari PBNU lebih condong ke Muhaimin Iskandar. Mungkin hal ini membawa Jokowi dalam situasi dilematis. Karena itu, di menit terakhir tiba-tiba muncul nama Ma’aruf Amin. Memilih figur ulama memang menjadi suatu keharusan (mengenai hal ini, silahkan baca: Inilah Sosok Pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019).
Di kubu Prabowo lebih dramatis lagi. Bukan tidak mustahil Prabowo pusing tujuh keliling. Semua partai koalisinya mengajukan nama untuk cawapres dengan sedikit memaksa. Belum lagi menghadapi partai koalisi, Prabowo disodorkan dua nama dari Ijtima Ulama, yaitu Habib Salim Al Jufri dan Ustaz Abdul Somad. Ketika mengajukan dua nama tersebut, Persaudaraan Alumni 212 menyatakan bahwa keputusan ulama tersebut adalah keinginan Allah. PA 212 tidak setuju dengan nama yang diajukan Partai Demokrat, sementara SBY, secara santun dan halus, ngotot agar putranya maju mendampingi Prabowo. Sama seperti di kubu Jokowi, di menit terakhir tiba-tiba muncul nama Sandiaga Uno.
Kamis, 09 Agustus 2018, merupakan drama pengumuman calon wakil presiden. Menjelang pengumuman ini, publik disodorkan syahwat-syahwat kekuasaan, yang sayangnya sama sekali tidak disadari. Syahwat itu lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok keagamaan, yaitu islam. Baik di kubu Jokowi maupun Prabowo tokoh-tokoh islam saling memamerkan syahwat kekuasaannya, seakan merasa negeri ini hanya milik umat islam; atau seolah-olah hanya islam-lah yang menentukan kehidupan bangsa ini.

REFLEKSI ATAS MUKJIZAT PENGGANDAAN ROTI

Ketika membaca buku Karen A. Barta, yang berjudul Warta Rohani Injil Markus, pada bagian akhir bab kelima, Karen mengajak kita untuk merefleksikan peristiwa Yesus memberi makan kepada orang banyak. Peristiwa tersebut dapat dibaca dalam Markus 6: 30 – 44 dan 8: 1 – 10. Sekalipun ceritanya berbeda, kedua kisah tersebut mempunyai kemiripan atau kesamaan, yaitu:
1.    Ada banyak orang lapar (lima ribu dalam bab 6; empat ribu dalam bab 8)
2.    Ada kebutuhan akan makanan (6: 36; 8: 2)
3.    Ada usaha menghindar dari tanggung jawab (6: 35 – 36; 8: 4)
4.    Sumber makanan terbatas (dalam bab 6 ada 5 roti dan 2 ikan; dalam bab 8 ada 7 roti dan beberapa ikan)
5.    Ada ucapan syukur (8: 6) dan/atau berkat (6: 41) atas makanan oleh Yesus
6.    Para murid membagi-bagi (6: 41; 8: 6 – 7)
7.    Orang banyak kenyang (6: 42; 8: 8)
8.    Ada kelimpahan (dalam bab 6 ada sisa 12 bakul penuh; dalam bab 8 ada sisa 7 bakul)
Dari kesamaan di atas, kita melihat adanya “pergerakan mukjizat” untuk menjawab kebutuhan orang banyak akan makanan. Sumber makanan ada pada para murid. Karena itu, Yesus mempertanyakan sumber makanan itu pada para murid (6: 38; 8: 5). Mungkin karena terbatas, para murid merasa apa yang ada padanya tidak cukup untuk orang banyak; malah dirinya pun akan teracam kelaparan. Karena itulah, awalnya murid-murid menahan sumber makanan itu. Hanya untuk mereka sendiri. Tapi, karena Yesus berkata, “Kamu harus memberi mereka makan.” (6: 37; bdk. 8: 2 – 3), para murid mengeluarkan makanan yang ada pada mereka, yang jumlahnya terbatas. Semuanya diserahkan kepada Yesus untuk diberkati, lalu dikembalikan kepada para murid untuk dibagi-bagikan kepada orang banyak. Terjadilah mukjizat!
Bagaimana teks ini dibaca dalam zaman kini?