Jumat, 18 Oktober 2019

MEMPERSOAL PASAL PENGHINAAN AGAMA DALAM RKUHP

Tujuan dasar diadakannya hukum atau undang-undang adalah supaya kehidupan masyarakat  teratur sehingga tercapailah kehidupan yang harmonis. Di tengah masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia ini, tentulah keberadaan hukum atau perundang-undangan yang selaras dengan tujuan dasar itu sangat dibutuhkan. Dengan produk undang-undang tersebut masyarakat akan dapat saling menghormati dan menghargai. Tentulah segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut akan mendapat sanksi hukum.
Demikianlah dengan kehadiran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Seyogiyanya, produk hukum ini akan mengganti produk hukum yang berasal dari pemerintahan Belanda. Dapat dikatakan bahwa produk hukum pidana yang akan dihasilkan ini merupakan hasil karya anak bangsa. Dengan kata lain, kitab hukum pidana ini lahir dari pemikiran anak bangsa yang didasarkan pada situasi konkret bangsa Indonesia.
Satu poin yang dibahas dalam RKUHP ini adalah soal PENGHINAAN AGAMA. Sebagaimana diketahui, saat ini bangsa Indonesia mengakui adanya 7 agama resmi, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu dan Aliran Kepercayaan. Dapatlah dipastikan pasal penghinaan agama ini hendak mengatur masyarakat beragama untuk saling menghormati dan menghargai sehingga terciptalah kerukunan dan kedamaian, sekalipun sebenarnya agama sudah mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan menghargai..
Akan tetapi, benarkah pasal-pasal yang membahas penghinaan agama sudah sesuai dengan harapan?

MEMPERSOAL PASAL PERKOSAAN SUAMI TERHADAP ISTRI DAN PASAL PERJUDIAN DALAM RKUHP


Salah satu pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah soal pemerkosaan istri oleh suami. Dalam RKUHP, tindak pidana ini terdapat dalam pasal 597, yang terdiri dari 2 ayat (khususnya ayat 2). Berikut ini adalah kutipan ayat dari pasal kekerasan seksual suami istri.
(1) “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI.”
(2) “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.”
Pertama-tama perlu dipahami bahwa pasal ini masuk dalam delik aduan. Artinya, tindakan pidana pemerkosaan suami terhadap istri, atau sebaliknya, baru dapat diproses jika ada laporan dari korban kepada pihak aparat hukum. Akan tetapi, sekalipun demikian, banyak orang menentang dan menolak pasal ini. Setidaknya ada 3 alasan penolakan tersebut. Pertama, bahwa masalah hubungan seksual yang terjadi di antara suami istri merupakan urusan pribadi, terlepas apakah hal itu pemaksaan atau tidak. Pengaturan masalah hubungan seksual dalam RKUHP dilihat sebagai bentuk intervensi negara yang berlebihan.