Kamis, 03 Januari 2013

(C E R P E N) Ada Mayat Di Pagi Hari

ADA MAYAT DI PAGI HARI
Geger! Di sebuah kampung pinggir kali di suatu hari menjelang pagi. Beberapa ibu menemukan mayat terapung di kali saat mereka mau mandi. Spontan warga kampung Sigagak jadi ribut. Datang ke tempat kejadian kepala lorong, beberapa tetua kampung dan tiga orang hansip yang baru selesai ronda. Dengan bantuan beberapa pemuda mereka mengangkat tubuh mayat yang ternyata seorang gadis. Warga langsung mengenali mayat tersebut. Dialah cewek penyanyi Keyboard terpanas, tersexy, terlaris, terseronok dan ter-ter lainnya. Tapi kok dia ada di sini. Bukankah dia anggota kelompok musik keyboard Serbelawan? Tentulah dia tinggal di sana.
Kayaknya dia telah diperkosa. Liat saja celananya cabik-cabik. Bajunya juga. Kutangnya sudah nggak ada.”
Warga makin geger. Aneh bin ajaib, segera nama Samir beredar di kalangan masyarakat. Entah angin apa yang meniupnya. Samir pun tak tahu.
Samir tak habis pikir. Dirinya dituduh warga desa bertanggung jawab atas matinya penyanyi keyboard terpanas di Pematangsiantar. Warga menilai Samirlah yang harus bertanggung jawab, karena dialah yang terakhir kali bertemu dengan penyanyi itu. Ya, malam minggu itu, di acara keyboard pada malam pesta perkawinan anak kepala desa inpres. Banyak warga melihat Samir lagi ngobrol dengan penyanyi itu di belakang panggung yang remang-remang. Banyak warga tahu. Malah Tono dan Joko, temannya dulu, mengaku bahwa Samir pernah mengagumi penyanyi itu. Bukan cuma penampilannya di panggung yang panas dan sexy hingga membuat orang terangsang, tetapi juga parasnya yang lumayan manis.
 “Cantik sih nggak,” ujar Samir pada Joko dan Tono sepulangnya mereka dari nonton keyboard di Simpang Sinaksak.
“Tapi lumayan kan, Bang?”
“Iya, sih. Tak bisa kupungkiri.”
“Hanya sayang, cewek semanis itu mau-maunya tampil seronok di depan umum. Aku yakin, andai dia mau hidup biasa-biasa saja, pasti banyak cowok yang naksir. Atau mungkin pengaruh obat-obatan?”
“Betul,” tegas Samir. “Andaikan saja wajah dan body Fatima seperti dia, tentu rajin aku ngapelinya. Malah langsung saja kukawini.”
“Kalo aku jadi abang, udah kutinggali si Fatima demi gadis itu. Apalah si Fatima itu. Liatnya saja aku nggak terangsang. Tapi kalo cewek ini, aku betul-betul bernafsu.”         
Aku kan cuma mengaguminya, pikir Samir. Apakah berdosa? Apa nggak boleh mengagumi seseorang. Apa salah. Samir terus berpikir. Apa kaitan mengagumi dengan membunuhnya. Lha aku saja sudah punya pacar kok! Apa tujuanku membunuhnya?
“Bisa saja cintanya ditolak, Pak,” jelas Joko pada tetua kampung. “Pasti malam itu, saat mereka ngobrol berdua, Samir mengutarakan cintanya pada cewek itu. Bisa jadi Samir mau mengawininya. Tapi ditolak.”
“Benar, Pak. Siapa sih yang nggak sakit hati bila cintanya ditolak.”
“Tapi kan Samir sudah punya Fatima.”
“Tadikan sudah kami ceritakan kalau Fatima itu nilainya jauh di bawah cewek itu. Samir pernah bilang kalo Fatima secantik cewek itu sudah dikawininya. Jadi, ada niat dalam diri Samir.”
Samir memang mengakui pernah ngobrol sama gadis itu pada malam pesta kawin anak kepala desa inpres. Saat itu dia lagi istirahat. Ada banyak hal yang mereka bicarakan. Umumnya tentang kehidupan gadis itu. Tak pernah sekalipun sepenggal kata cinta keluar dari bibirnya. Apalagi soal niat melamar. Tidak. Sekalipun tidak pernah. Ia berani disumpah, malah sumpah pocong sekalipun.
 “Saya sebenarnya orang sini, Bang.”
 “Oya? Di mana?”
 “Sigagak.”
 “Kok saya nggak pernah liat kamu. Aku sering main ke rumah Joko. Rumahnya kan di Sigagak. Kenal sama Joko?”
“Joko anak Poniran? Ya kenal baik, Bang. Teman sekelas waktu di SMA Negeri Dua. Hanya saya keluar kelas dua.”
Samir mengambil Star Mild dari saku jeketnya. Ia menyodorkan pada gadis itu. Dengan mancisnya Samir membantu menyalakan rokok yang sudah bertengger di sela bibir merah si penyanyi keyboard.
 “Saya jarang main-main ke sini. Warga di sini nggak mau terima saya. Katanya bisa merusak moral anak-anak. Munafik! Orang sekarang banyak yang munafik. Omongnya saja saya ini perusak moral anak-anak. Padahal mereka sendiri telah membiarkan moral anak-anaknya rusak. Mereka nggak sadar kalo dengan membeli VCD anak-anak bisa bebas nonton filem porno. Ini fakta lho, Bang. Saya bukan mau balas kekecewaan saya. Abang mungkin belum tau kenapa anak gadis kepala lorong kawin muda. Sekolahnya saja belum tamat. Baru SMA kelas satu udah buru-buru kawin. Kan aneh. Itu lantaran ia hamil. Sudah pasti karena pengaruh pergaulan bebas. Dan itu dipengaruhi film-film porno tadi.”
Selanjutnya gadis itu berkisah tentang dirinya, tentang kekecewaannya, tentang penampilannya yang selalu seronok dan tentang masa depannya. Ia mengakui kalau dia memakai obat-obatan terlarang. Sekedar menambah gairah dan menghilangkan rasa malu. Makanya ia jadi berani tampil seronok. Bagi dia itu wajar kok. Semua penyanyi  keyboard pakai obat. Tujuannya ya itu tadi, menutupi rasa malu agar bisa tampil sedikit buka-bukaan.
Soal penampilannya yang seronok, ia tak mau munafik. Ia tak mau seperti kebanyakan masyarakat yang sok moralis, alim dan suci. Bukankah hal itu yang dibutuhkan masyarakat sekarang ini? Wajar saja bila CD-CD porno bebas beredar. Polisi nggak bisa bertindak apa-apa, karena mereka sendiri butuh dan suka. Demikian pula soal obat-obatan. Banyak juga pejabat kita yang terlibat. Suka main-main obatan. Nonton dan lihat hal-hal yang porno baik itu di film, majalah maupun internet.
“Jadi, nggak usahlah munafik-munafikkan. Jangan sok moralis. Semua sudah tau kok. Jaman sudah berubah. Jaman sekarang  ya  jaman  kayak  gini-ginian. Kita nggak bisa nolak. Kita kan anak jaman, jadi kita ikut apa yang diingini jaman. Nggak bisa nolak!”
“Bisa!” Samir coba membantah. “Kita yang menentukan jaman, bukan jaman yang nentukan kita.”
“Omong kosong! Itu cuma teori. Teori kadang tak sejalan dengan fakta.”
Samir diam. Samir tak bisa membantah lagi. Lalu ia bertanya soal lain. Soal pekerjaan.
“Saya kerja ini karena uang. Mau tampil seronok pun lantaran uang. Saya nggak mau munafik. Sekarang ini ada dua hal yang dikejar-kejar orang. Uang dan kekuasaan. Kalo uang itu dikejar oleh orang-orang kecil seperti saya ini, kekuasaan itu dikejar oleh para pejabat dan tokoh-tokoh politik. Demi dua hal ini orang akan berjuang dengan segala cara untuk mencapainya. Orang tak peduli lagi soal nilai-nilai moral dan agama.  Abang liat saja di pemerintahan kita ini. Agama dibawa-bawa untuk menyerang orang demi mencapai kekuasaan.”
Samir diam. Diam-diam dia kagum akan penjelasan gadis di hadapannya itu. Ternyata gadis ini tak sebodoh yang kukira, batinnya. Kekaguman Samir bukan lagi terletak pada paras gadis itu yang lumayan manis dan sexy, tetapi karena kepintarannya. Samir sebenarnya masih ingin ngobrol lebih lama lagi dengannya. Namun masa istirahat gadis itu sudah habis. Menejer keyboard memanggilnya untuk tampil lagi.
Dan seru teriak penonton di luar arena pesta membahana. Gadis itu membawakan sebuah lagu dangdut yang cukup populer di telinga warga. Ia segera menghipnotis penonton dengan goyangan-goyangan mautnya yang seronok, panas dan sensual
Suitan-suitan pemuda kampung saling bersahutan.
“Jadi, cuma itu yang kamu bicarakan?”
“Benar Pak,” jawab Samir di hadapan para tetua kampung.
 “Jangan bohong”
 “Sumpah Pak. Demi Allah. Saya berani lakukan sumpah pocong.”
 “Jangan ngancam!”
 “Demi kebenaran, saya berani disumpah.”
Para tetua kampung berembuk menentukan sikap. Sementara Samir termenung memikirkan nasibnya. Kenapa aku yang dituduh dan difitnah. Jangan-jangan ada orang lain yang melakukan lalu menimpakannya padaku. Mengambil posisiku. Sebenarnya dia yang punya hasrat pada gadis malang itu. Mungkin cintanya yang ditolak, lalu karena jengkel terpaksa membunuh. Perkosa dulu sampai puas. Kemudian ditimpakan semua itu padaku. Tapi siapa orang itu? Samir terus berpikir. Apa mungkin si Joko? Memang dia itu teman, namun dia tipe orang yang suka mendua, plintat plintut. Memang dia dulu yang mendukung aku untuk mengawini gadis itu, tapi bukankah dia juga sebenarnya berhasrat juga? Akh, nggak baik berprasangka buruk. Kalau begitu, siapa?
“Saudara Samir,” panggil seorang tetua adat. “Mari kita keluar untuk men-dengarkan keputusan di hadapan warga.”
Samir dan semua tetua adat berjalan keluar dari balai kampung. Mereka berdiri di teras. Di luar para warga desa sudah menunggu keputusan para tetua adat kampung. Mereka menantikan kebenaran. Beberapa warga ada yang kelihatan gelisah, tak sabaran dan ada pula yang tenang-tenang saja. Di pojok teras balai, Samir berdiri dengan tenang. Ia merasa yakin kalau dirinya tidak bersalah.
“Para saudara, kami sudah bermusyawarah untuk mencari kebenaran atas masalah yang melanda kampung kita. Saksi-saksi sudah banyak kami dengar. Dan keterangan dari saudara Samir pun sudah kami dengar. Barang-barang bukti juga sudah kami kumpulkan lalu diselidiki. Dalam musyawarah tadi, memang kami tidak ada kata sepakat. Akhirnya kami voting. Ini demi mencari kebenaran. Sekali lagi kami tegaskan, kami votingDan hasil voting memutuskan saudara Samir bersalah telah melakukan pembunuhan.”
Samir lemas dan akhirnya pingsan.
Di tempat lain sekelompok anak-anak sedang asyik bermain kelereng. Tiba-tiba acara mereka terhenti karena diganggu oleh bauan tidak sedap. Bau kentut. Mereka mulai saling menuduh.
“Jangan enaknya saja nuduh orang. Nggak boleh lho memfitnah. Kata Pak Haji fitnah itu lebih kejam dari membunuh. Jangan-jangan kamu yang kentut.”
“Ayam bertelur pasti berkotek. Jadi...”
“Yono yang kentut. Sudah biasa dia kentut bau. Aku kenal betul baunya.”
Seorang anak dengan nekat coba menciumi pantat masing-masing temannya. Ia akhirnya berhenti di pantat Rusli. Spontan Rusli membantah. Wajah dan matanya merah. Ia bersikeras menolak tuduhan teman-temannya. Akhirnya ia punya akal.
 “Bang-bang tut jendelo ewa-ewa, siapa brani kentut ditembak raja tu....”
 “Udah, begini saja,” seorang anak berbadan besar memotong, karena ia yakin “mantra” Rusli akan berakhir pada dirinya. Kayaknya ada dua orang yang kemungkinan besar kentut. Sekarang kita pungut suara saja.” Ia coba mengendalikan permasalahan. “Nah, sekarang siapa yang setuju Yono kentut angkat tangan? Dua orang. Rusli? Dua orang juga. Wah imbang.”
 “Amir?” Sela seorang anak.
Tiba-tiba muncul enam tangan di udara. Akhirnya mereka semua sepakat bahwa yang kentut adalah Amir.
by: adrian
Sinaksak, 18 Mrt 2001
Baca cerpen lain juga:
4.      Kicau Burung Hilang
5.      Ulang Tahun Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar