Geger! Di sebuah kampung pinggir kali di suatu hari menjelang
pagi. Beberapa ibu
menemukan mayat terapung di kali saat mereka mau mandi. Spontan warga kampung
Sigagak jadi ribut. Datang ke tempat kejadian kepala lorong, beberapa tetua
kampung dan tiga orang hansip yang baru selesai ronda. Dengan bantuan beberapa
pemuda mereka mengangkat tubuh mayat yang ternyata seorang gadis. Warga langsung mengenali mayat tersebut. Dialah cewek penyanyi Keyboard terpanas,
tersexy, terlaris, terseronok dan ter-ter lainnya.
Tapi kok dia ada di sini. Bukankah dia anggota kelompok
musik keyboard Serbelawan? Tentulah dia tinggal di sana.
“Kayaknya dia telah diperkosa. Liat saja celananya
cabik-cabik. Bajunya juga. Kutangnya sudah nggak ada.”
Warga makin geger. Aneh bin ajaib, segera nama Samir beredar di
kalangan masyarakat. Entah angin apa yang meniupnya. Samir pun tak tahu.
Samir tak habis pikir. Dirinya dituduh warga desa bertanggung
jawab atas matinya penyanyi keyboard terpanas di
Pematangsiantar. Warga menilai Samirlah yang harus bertanggung jawab, karena
dialah yang terakhir kali bertemu dengan penyanyi itu. Ya, malam
minggu itu, di acara keyboard pada malam pesta perkawinan anak
kepala desa inpres. Banyak warga melihat Samir lagi ngobrol dengan penyanyi itu
di belakang panggung yang remang-remang. Banyak warga tahu. Malah Tono dan
Joko, temannya dulu, mengaku bahwa Samir pernah mengagumi penyanyi itu. Bukan
cuma penampilannya di panggung yang panas dan sexy hingga
membuat orang terangsang, tetapi juga parasnya yang lumayan manis.
“Cantik sih nggak,” ujar Samir pada Joko
dan Tono sepulangnya mereka dari nonton keyboard di Simpang
Sinaksak.
“Tapi lumayan kan, Bang?”
“Iya, sih. Tak bisa kupungkiri.”
“Hanya sayang, cewek semanis itu mau-maunya
tampil seronok di depan umum. Aku yakin, andai dia mau hidup biasa-biasa saja,
pasti banyak cowok yang naksir. Atau mungkin pengaruh obat-obatan?”
“Betul,” tegas Samir. “Andaikan saja wajah
dan body Fatima seperti dia, tentu rajin aku ngapelinya. Malah
langsung saja kukawini.”
“Kalo aku jadi abang, udah kutinggali si
Fatima demi gadis itu. Apalah si Fatima itu. Liatnya saja aku nggak terangsang.
Tapi kalo cewek ini, aku betul-betul
bernafsu.”
Aku kan cuma mengaguminya,
pikir Samir. Apakah berdosa? Apa nggak boleh mengagumi seseorang. Apa salah.
Samir terus berpikir. Apa kaitan mengagumi dengan membunuhnya. Lha aku
saja sudah punya pacar kok! Apa tujuanku membunuhnya?
“Bisa saja cintanya ditolak, Pak,” jelas Joko
pada tetua kampung. “Pasti malam itu, saat mereka ngobrol berdua, Samir
mengutarakan cintanya pada cewek itu. Bisa jadi Samir mau mengawininya. Tapi
ditolak.”
“Benar, Pak. Siapa sih yang
nggak sakit hati bila cintanya ditolak.”
“Tapi kan Samir sudah punya
Fatima.”
“Tadikan sudah kami ceritakan kalau Fatima
itu nilainya jauh di bawah cewek itu. Samir pernah bilang kalo Fatima secantik
cewek itu sudah dikawininya. Jadi, ada niat dalam diri Samir.”
Samir memang mengakui pernah ngobrol sama
gadis itu pada malam pesta kawin anak kepala desa inpres. Saat itu dia lagi
istirahat. Ada banyak hal yang mereka bicarakan. Umumnya tentang kehidupan
gadis itu. Tak pernah sekalipun sepenggal kata cinta keluar dari bibirnya.
Apalagi soal niat melamar. Tidak. Sekalipun tidak pernah. Ia berani disumpah,
malah sumpah pocong sekalipun.
“Saya sebenarnya orang sini, Bang.”
“Oya? Di mana?”
“Sigagak.”
“Kok saya nggak pernah liat kamu. Aku sering main ke rumah Joko. Rumahnya kan di
Sigagak. Kenal sama Joko?”
“Joko anak Poniran? Ya kenal
baik, Bang. Teman sekelas waktu di SMA Negeri Dua. Hanya saya keluar kelas dua.”
Samir mengambil Star Mild dari saku
jeketnya. Ia
menyodorkan pada gadis itu. Dengan mancisnya Samir membantu menyalakan rokok
yang sudah bertengger di sela bibir merah si penyanyi keyboard.
“Saya jarang main-main ke sini. Warga di sini nggak mau terima saya. Katanya
bisa merusak moral anak-anak. Munafik! Orang sekarang banyak yang munafik.
Omongnya saja saya ini perusak moral anak-anak. Padahal mereka sendiri telah
membiarkan moral anak-anaknya rusak. Mereka nggak
sadar kalo dengan membeli VCD anak-anak bisa bebas nonton filem porno. Ini
fakta lho, Bang. Saya bukan mau balas kekecewaan saya. Abang
mungkin belum tau kenapa anak gadis kepala lorong kawin muda. Sekolahnya saja belum tamat. Baru SMA kelas
satu udah buru-buru kawin. Kan aneh. Itu lantaran ia hamil.
Sudah pasti karena pengaruh pergaulan bebas. Dan itu dipengaruhi film-film
porno tadi.”
Selanjutnya gadis itu berkisah tentang
dirinya, tentang kekecewaannya, tentang penampilannya yang selalu seronok dan
tentang masa depannya. Ia mengakui kalau dia memakai obat-obatan terlarang.
Sekedar menambah gairah dan menghilangkan rasa malu. Makanya ia jadi berani
tampil seronok. Bagi dia itu wajar kok. Semua penyanyi keyboard pakai obat.
Tujuannya ya itu tadi, menutupi rasa malu agar bisa tampil
sedikit buka-bukaan.
Soal penampilannya yang seronok, ia tak mau munafik. Ia tak mau seperti kebanyakan masyarakat
yang sok moralis, alim dan suci. Bukankah hal itu yang dibutuhkan
masyarakat sekarang ini? Wajar saja bila CD-CD porno bebas beredar. Polisi
nggak bisa bertindak apa-apa, karena mereka sendiri butuh dan suka. Demikian pula soal obat-obatan. Banyak juga pejabat kita yang
terlibat. Suka main-main obatan. Nonton dan lihat hal-hal yang porno baik itu
di film, majalah maupun internet.
“Jadi, nggak usahlah munafik-munafikkan.
Jangan sok moralis. Semua sudah tau kok. Jaman
sudah berubah. Jaman sekarang ya jaman kayak gini-ginian. Kita
nggak bisa nolak. Kita kan anak jaman, jadi kita ikut apa yang
diingini jaman. Nggak bisa nolak!”
“Bisa!” Samir coba membantah. “Kita yang
menentukan jaman, bukan jaman yang nentukan kita.”
“Omong kosong! Itu cuma teori. Teori kadang
tak sejalan dengan fakta.”
Samir diam. Samir tak bisa membantah lagi. Lalu ia bertanya soal
lain. Soal pekerjaan.
“Saya kerja ini karena uang. Mau tampil
seronok pun lantaran uang. Saya nggak mau munafik. Sekarang ini ada dua hal
yang dikejar-kejar orang. Uang dan kekuasaan. Kalo uang itu dikejar oleh
orang-orang kecil seperti saya ini, kekuasaan itu dikejar oleh para pejabat dan
tokoh-tokoh politik. Demi dua hal ini orang akan
berjuang dengan segala cara untuk mencapainya. Orang tak peduli lagi soal
nilai-nilai moral dan agama. Abang liat saja di pemerintahan kita ini.
Agama dibawa-bawa untuk menyerang orang demi mencapai kekuasaan.”
Samir diam. Diam-diam dia kagum akan
penjelasan gadis di hadapannya itu. Ternyata gadis
ini tak sebodoh yang kukira, batinnya. Kekaguman Samir bukan lagi terletak pada
paras gadis itu yang lumayan manis dan sexy, tetapi karena
kepintarannya. Samir sebenarnya masih ingin ngobrol lebih lama lagi dengannya.
Namun masa istirahat gadis itu sudah habis. Menejer keyboard memanggilnya
untuk tampil lagi.
Dan seru teriak penonton di luar arena pesta
membahana. Gadis itu membawakan sebuah lagu
dangdut yang cukup populer di telinga warga. Ia segera menghipnotis penonton
dengan goyangan-goyangan mautnya yang seronok, panas dan sensual
Suitan-suitan pemuda kampung saling
bersahutan.
“Jadi, cuma itu yang kamu bicarakan?”
“Benar Pak,” jawab Samir di hadapan para
tetua kampung.
“Jangan bohong”
“Sumpah Pak. Demi Allah. Saya berani lakukan sumpah pocong.”
“Jangan ngancam!”
“Demi kebenaran, saya berani disumpah.”
Para tetua kampung berembuk menentukan sikap.
Sementara Samir termenung memikirkan nasibnya. Kenapa aku yang dituduh dan
difitnah. Jangan-jangan ada orang lain yang melakukan lalu menimpakannya
padaku. Mengambil posisiku. Sebenarnya dia yang punya hasrat pada gadis malang
itu. Mungkin cintanya yang ditolak, lalu karena jengkel terpaksa membunuh.
Perkosa dulu sampai puas. Kemudian ditimpakan semua itu padaku. Tapi siapa
orang itu? Samir terus berpikir. Apa mungkin si Joko? Memang dia itu teman,
namun dia tipe orang yang suka mendua, plintat plintut. Memang dia dulu yang
mendukung aku untuk mengawini gadis itu, tapi bukankah dia juga sebenarnya
berhasrat juga? Akh, nggak baik berprasangka buruk. Kalau begitu,
siapa?
“Saudara Samir,” panggil seorang tetua adat. “Mari kita keluar untuk men-dengarkan keputusan di hadapan warga.”
Samir dan semua tetua adat berjalan keluar
dari balai kampung. Mereka berdiri di teras. Di luar para warga desa sudah
menunggu keputusan para tetua adat kampung. Mereka menantikan kebenaran.
Beberapa warga ada yang kelihatan gelisah, tak sabaran dan ada pula yang
tenang-tenang saja. Di pojok teras balai, Samir berdiri dengan tenang. Ia
merasa yakin kalau dirinya tidak bersalah.
“Para saudara, kami sudah bermusyawarah untuk
mencari kebenaran atas masalah yang melanda kampung kita. Saksi-saksi sudah
banyak kami dengar. Dan keterangan dari saudara Samir pun sudah kami dengar.
Barang-barang bukti juga sudah kami kumpulkan lalu diselidiki. Dalam musyawarah
tadi, memang kami tidak ada kata sepakat. Akhirnya kami voting. Ini
demi mencari kebenaran. Sekali lagi kami tegaskan, kami voting. Dan hasil voting memutuskan saudara Samir
bersalah telah melakukan pembunuhan.”
Samir lemas dan akhirnya pingsan.
Di tempat lain sekelompok anak-anak sedang asyik bermain kelereng.
Tiba-tiba acara mereka terhenti karena diganggu oleh bauan tidak sedap. Bau
kentut. Mereka mulai saling menuduh.
“Jangan enaknya saja nuduh orang. Nggak boleh lho memfitnah.
Kata Pak Haji fitnah itu lebih kejam dari membunuh. Jangan-jangan kamu yang
kentut.”
“Ayam bertelur pasti berkotek. Jadi...”
“Yono yang kentut. Sudah biasa dia kentut
bau. Aku kenal betul baunya.”
Seorang anak dengan nekat coba menciumi pantat masing-masing
temannya. Ia akhirnya
berhenti di pantat Rusli. Spontan Rusli membantah. Wajah dan matanya merah. Ia
bersikeras menolak tuduhan teman-temannya. Akhirnya ia punya akal.
“Bang-bang tut jendelo ewa-ewa, siapa brani kentut ditembak
raja tu....”
“Udah, begini saja,” seorang anak berbadan besar memotong,
karena ia yakin “mantra” Rusli akan berakhir pada dirinya. “Kayaknya ada dua orang yang
kemungkinan besar kentut. Sekarang kita pungut suara saja.” Ia coba
mengendalikan permasalahan. “Nah, sekarang siapa yang setuju Yono kentut
angkat tangan? Dua orang. Rusli? Dua orang juga.
Wah imbang.”
“Amir?” Sela seorang anak.
Tiba-tiba muncul enam tangan di
udara. Akhirnya mereka semua sepakat bahwa yang kentut adalah Amir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar