Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman
setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu
yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan
mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS
5: 51)
Selain sebagai kitab suci, umat islam melihat juga Al-Qur’an sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup. Hal
inilah yang membuat Al-Qur’an dilihat sebagai pusat
spiritualitas hidup umat islam. Di sana mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan
disembah, tetapi juga mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar
mereka ke surga. Al-Qur’an biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap
dan bertindak dalam hidup keseharian. Berhubung Al-Qur’an itu berasal dari
Allah, maka tuntunan dan pedoman yang diberikan Allah ini wajib ditaati.
Berangkat dari
premis ini, maka dapatlah dikatakan kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan
perkataan Allah yang berisi nasehat untuk dijadikan pedoman bagi umat islam
bersikap dan bertindak. Umat islam percaya bahwa hanya Muhammad saja yang
menerima wahyu Allah. Karena itu, kutipan kalimat Allah di atas diterima
Muhammad dari Allah. Melihat kalimat pertama wahyu Allah ini haruslah dikatakan
bahwa wahyu Allah ini lebih ditujukan kepada para pengikut Muhammad. Frasa
“umat yang beriman” selalu dimaknai sebagai umat islam, karena yang beriman itu
hanya islam. Allah telah membuat islam sebagai patokan seseorang
itu beriman (bandingkan ayat 41). Yang bukan islam dilabeli sebagai kafir. Allah menyampaikan itu melalui Muhammad. Artinya, Muhammad
diminta Allah untuk menyampaikan pesan-Nya itu.
Rumusan wahyu Allah ini sedikit aneh. Jika memang tujuan utama wahyu Allah ini adalah umat islam sebagai pengikut Muhammad, seharusnya Allah mengawali perkataannya dengan, “Katakanlah ….” Rumusan seperti ini jamak dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menjadi pertanyaan, kenapa di sini Allah tidak menyertakan frasa “Katakanlah …”? Apakah Allah lupa?