Minggu, 28 Juli 2013

Membentuk Manusia

Dalam penilaian kinerja, mulai dari tingkat supervisor sampai manajer senior, aspek “developing others” bisa dipastikan selalu ada di antara penilaian kompetensi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita meyakini kegiatan pengembangan anak buah ini sangat penting. Kita sadar bahwa apapun bisnis dan organisasinya, manusia adalah aset “intangible” terpenting, bahkan juga aset terbesar. Pertanyaannya, dalam organisasi kita, berapa banyak dari jajaran pimpinan yang sudah mendapat nilai “baik” atau “memuaskan” pada aspek developing others ini? Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa di banyak perusahaan, bahkan perusahaan yang dinilai memiliki sistem talent management yang sudah mumpuni, skor developing others ini mayoritas rendah dibandingkan dengan skor-skor lainnya. Apakah ini disebabkan masing-masing individu cenderung semata memikirkan karier pribadinya daripada masa depan anak buah atau masa depan perusahaan?

Kita bisa merasa sedikit lega karena penelitian menunjukkan bahwa kesadaran bahwa manusia itu penting tetap ada. Tantangannya adalah karena pengembangan manusia ini memakan waktu yang panjang dan membutuhkan keseriusan serta pendalaman mengenai sifat manusia. Kesulitan menguasai aset bisnis paling berharga ini kadang menyebabkan aktivitas pengembangan manusia menjadi seperti lingkaran setan. Semakin tidak bisa mendalaminya, semakin kita merasakan kesenjangannya. Semakin merasakan kesenjangan, semakin kita merasa kesal terhadap kondisi sumber daya manusia yang tidak akomodatif. Pada akhirnya, kita lebih sering mengeluh dan memiliki anggapan  bahwa memang manusianya yang payah dan tidak mau dikembangkan.

Mentalitas Perajin
Kita pasti setuju bahwa bila akan “membuat” sesuatu dengan kualitas baik, kita perlu menanganinya secara telaten, mendetail, mengikuti SOP dalam setiap langkahnya. Kita tahu, pengembangan manusia tidak sepenuhnya bisa dibandingkan dengan proses produksi massal, misalnya produksi mobil. Dalam memproduksi mobil, kita bisa mengotomatisasi banyak hal tanpa perlu banyak human touch. Memproduksi orang mungkin lebih bisa kita analogikan dengan seniman perajin produk yang harus menggunakan hati dalam menghasilkan sebuah karya, memperhatikan detail serta menunjukkan kesabaran dan ketelatenan dalam setiap karyanya.

Para perajin produk sadar bahwa setiap material mempunyai karakter yang berbeda. Serat kayu dari satu batang pohon saja bisa berbeda karakter, warna dan ukuran. Saat kekurangan bahan dengan ukuran tertentu, akankah mereka berhenti berproduksi? Tentu tidak. Karya akan dibentuk menyesuaikan dari bahan yang ada. Karya itu tidak jadi kehilangan nilai tambah, malahan bisa menjadi barang yang unik dan artistik. Para perajin juga tidak bisa “semau gue”, tetapi tetap harus punya standar “compliance”. Selain harus memperhatikan cara menjemur dan kemiringan material saat dijemur, mereka perlu memastikan tingkat kekeringan bahan dan berapa lama harus menunggu sebelum bahan diproses lebih lanjut. Ini jelas membutuhkan kesabaran dan persistensi. Satu hal lagi, ketrampilan tangan pun harus terlatih. Tidak ada artis perajin yang tiba-tiba piawai membuat karya yang halus dan bermutu. Dia harus belajar dari yang mudah-mudah, kasar-kasar, sampai yang canggih dan halus.

Kita bisa mengadaptasi mentalitas perajin karya dalam mengelola dan memproduksi manusia. Kita tahu setiap individu unik., “bahan”nya tidak sama sehingga kitalah yang harus mengerti dan mendalaminya. Bila di sini saja sudah mentok karena merasa bahwa bawahan adalah makhluk yang sulit dimengerti, kita tidak punya jalan untuk maju. Kita akan terjebak pada realitas seperti kekurangan orang, tidak ada ahli, dan yang paling parah tidak adanya suksesi. Seperti halnya para perajin, sebagai atasan, kita pun perlu telaten, jeli, dan terus mengasah minat bahkan “passion” kita untuk menelaah dan mencetak bawahan yang hebat dan berkualitas dengan seksama.

Seni “Mencetak” Manusia
Gejala “Turnover” karyawan yang dulu dipandang sebagai hilangnya loyalitas sekarang dianggap sebagai fakta yang tidak mengejutkan, tetapi harus diperhitungkan. Maraknya orang keluar masuk tentu menjadikan arus perekrutan “special hires” semakin marak. Kondisi ini bagi “orang dalam” kerap dilihat sebagai ancaman dan menimbulkan perasaan dinomorduakan. Kita perlu juga mewaspadai bahwa bila karyawan mulai merasa meaningless, tetapi tetap bercokol di perusahaan. Dalam mengelola manusia pun kita perlu memastikan bahwa mobilitas manusia senantiasa dijaga dan digalakkan. Hal ini karena mobilitas ibarat denyut jantung perusahaan, bila melemah, badan tidak sehat. Begitu juga kalau jantung berdegup terlalu kencang.

Kita memang perlu selalu mengevaluasi berbagai aspek people management. Pertama, kompensasi atau imbalan hasil kerja haruslah menarik, semenarik tantangan kerjanya. Seorang ahli mengatakan, “Your top talent wants to work with other talented people, and their networks may be better than yours.” Artinya kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa “pasaran gaji” perlu kompetitif. Karyawan akan membandingkan dan akan berkata “baik” bila paket remunerasi kita baik atau juga sebaliknya. Pada saat kita mengincar orang bagus dari luar perusahaan, orang luar pun di saat yang sama mengincar orang potensial yang ada di tempat kita. Sekali kita teledor mengembangkan kompetensi individu dan menjaga orang dalam tim, akan “kecolongan”lah kita. Mengingat generasi sekarang adalah generasi yang gemar hal instan, kita tidak lagi bisa menyuguhkan jenjang karier yang bersusun dari tahun ke tahun. Individu semakin tidak sabar menunggu untuk “dinaikkan pangkatnya”. Untuk itu, perusahaan perlu menciptakan chemistry yang tepat untuk tim kerja, sambil menyakinkan “right mix of people”, menyesuaikan kompetensi dan ekspertisnya agar kinerja optimal, mencocokkan aspirasi individu dengan kebutuhan pasar, sehingga kita bisa menghasilkan kemesraan dalam tim dan sekaligus karyawan yang betah bertahan bekerja di perusahaan dengan tantangan yang tak kunjung habis.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 28 Juli 2012, hlm 49

Sekilas tentang Selibat

SELIBAT DALAM GEREJA KATOLIK

Selibat Rohaniwan Katolik adalah aturan di beberapa gereja partikular yang membentuk Gereja Katolik yang hanya memperbolehkan pria yang tidak menikah saja yang dapat ditahbiskan menjadi imam. Aturan yang sama juga dijunjung oleh beberapa gereja lainnya dalam hal pentahbisan menjadi gembala (uskup, pendeta, rasul) gereja tersebut.

Pemimpin gereja-gereja partikular Katolik yang mentaati aturan ini adalah Ritus Latin, namun, di antara Gereja-gereja Katolik Timur, setidaknya Gereja Katolik Ethiopia menerapkannya juga.

Dalam konteks ini, "selibat" mempertahankan arti sesungguhnya dari "tidak menikah", dan tidak merujuk pada penahanan nafsu atau puasa dari hubungan seksual yang bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak yang telah menikah.

Di seluruh Gereja Katolik, baik di Timur maupun di Barat, sebagaimana juga di Gereja Ortodoks Timur dan di Gereja Ortodoks Oriental, seorang imam tidak boleh menikah. Untuk bisa menjadi seorang imam yang menikah, dalam beberapa gereja dan kasus, maka seseorang harus menikah dahulu sebelum ditahbiskan. Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental, tanpa pengecualilan, menutup kemungkinan pentahbisan bagi pria yang telah menikah untuk menjadi imam.


Hukum selibat klerik dianggap bukan sebuah doktrin, namun sebuah aturan. Beberapa pengecualian kadang-kadang dibuat, terutama dalam kasus rohaniwan Protestan yang pindah ke dalam Gereja Katolik, dan aturan ini, secara teori, bisa diubah bagi semua macam pentahbisan imam. Namun, selibat klerik ini dinilai sebagai sebuah kesaksian yang berharga bagi iman Kristiani dan sebagai sebuah jalan untuk mengikuti teladan Kristus dan kehidupan selibat-Nya.

Sejarah

Penelitian oleh para cendekiawan Katolik, salah satunya tersedia di situs Vatikan,[1] berargumen bahwa, dalam praktik-praktik umat Kristiani awal, pria yang telah menikah yang menjadi imam - seringkali mereka adalah orang-orang berusia baya, "orang tua" - dianggap akan hidup dengan menahan nafsu sepenuhnya, menahan diri seterusnya dari hubungan seksual dengan istri mereka.[2] Ketika nantinya jelas terungkap bahwa tidak semuanya bisa menahan nafsu, Gereja Barat membatasi pentahbisan imam hanya untuk pria yang tidak menikah dan mewajibkan adanya komitmen menjadi selibat seumur hidup, sementara di Gereja-gereja Timur aturan ini lebih lunak, yakni Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Timur sekarang mewajibkan rohaniwan mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual selama masa tertentu sebelum merayakan Ekaristi.

Gereja di Persia, yang di abad ke-5 memisahkan diri dari gereja yang bernama Ortodoks maupun Katolik, memutuskan pada akhir abad itu untuk menghapuskan aturan penahanan nafsu dan memperbolehkan para imam mereka untuk menikah, namun tetap mengakui bahwa hal tersebut menghilangkan sebuah tradisi lama. Gereja Ortodoks Tewahedo Ethiopia, yang pemisahan dirinya, bersama dengan Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria, terjadi belakangan, memperbolehkan para diakon (yang ditahbiskan ketika mereka masih anak-anak) untuk menikah, namun bukan imam: setiap orang yang akan menjadi imam dan ingin menikah harus melaksanakan pernikahannya sebelum menjadi imam. Gereja Apostolik Armenia, yang termasuk di dalam kelompok Gereja Ortodoks Oriental, walau secara teknis melarang pernikahan setelah ditahbiskan menjadi sub-diakon, seperti juga Gereja Ortodoks Timur, secara umum membiarkan aturan ini tidak digunakan dan memperbolehkan para diakon untuk menikah hingga pada saat pentahbisan mereka menjadi imam, sehingga tetap meneruskan tradisi tidak boleh menikah bagi para imam.[3] Teori ini menjelaskan mengapa semua gereja-gereja tua baik di Timur maupun di Barat, dengan satu pengecualian di atas, melarang pernikahan setelah pentahbisan imam, dan mengapa semuanya mengharuskan pejabat kerasulan (yang dilihat sebagai sebuah bentuk imam yang lebih sempurna daripada presbyterate atau ketua agama) untuk selibat.

Bukti tertulis paling awal mengenai pelarangan untuk menikah bagi para klerik dan kewajiban mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istri-istri mereka adalah dekrit Konsili Elvira pada abad ke-4 dan kemudian Konsili Kartago. Menurut beberapa penulis, dekrit ini mengambil dari norma yang ada sebelumnya yang sedang dipandang rendah saat itu.[4]
(Kanon 33): Diputuskan bahwa semua pernikahan dilarang bagi para uskup, imam dan diakon, atau bagi semua rohaniwan yang memegang jabatan gerejawi, dan bahwa mereka tidak berhubungan badan dengan istri-istri mereka dan tidak menghasilkan anak; siapa saja yang melanggar hal ini akan dicabut jabatan kehormatan kleriknya.
(Kanon 3): Adalah pantas bahwa para uskup dan imam Tuhan yang suci termasuk juga kaum Levi, yakni mereka yang memberikan pelayanan pada sakramen ilahi, mentaati penahanan nafsu yang sempurna, supaya mereka bisa meraih semua kesederhanaan yang mereka minta dari Tuhan; apa yang diajarkan oleh Para Rasul dan apa yang telah lama ditaati, biarlah kita juga berusaha keras untuk menjaganya. Sungguh menggembirakan kita semua bahwa uskup, imam dan diakon - para penjaga kesucian - menahan diri dari hubungan badan dengan istri-istri mereka, supaya mereka yang melayani di Altar bisa menjada sebuah kesucian yang sempurna.

Di antara pernyataan-pernyataan Gereja pertama mengenai topik penahanan nafsu seksual dan selibat adalah Directa Decretal dan Cum in unum yang merupakan dekrit dari Paus Sirisius (sekitar tahun 385), yang menegaskan bahwa penahanan nafsu seksual kaum klerik adalah sebuah praktik apostolik yang harus diikuti oleh para pelayan gereja.

Tulisan-tulisan Santo Ambrosius (wafat tahun 397) juga menunjukkan bahwa persyaratan mengenai para imam, baik yang telah menikah maupun yang selibat, untuk selalu menahan hawa nafsu adalah sebuah aturan yang tidak dapat dipungkiri. Bagi rohaniwan yang telah menikah yang, "di beberapa tempat yang diluar jalur", merujuk, dengan mengambil contoh imam dari Perjanjian lama, pada hak untuk memiliki keturunan, Ambrosius mengingatkan bahwa di masa Perjanjian Lama kaum awam pun berkewajiban untuk mentaati aturan penahanan nafsu di hari-hari menjelang perayaan kurban, dan berkomentar: "Apabila memang benar perhatian akan penahanan nafsu ini diberikan kepada apa yang diminta, betapa banyaknya sikap penahanan nafsu ini yang harus ditunjukkan di dalam realitas!"[5] Lebih kerasnya lagi ia menulis: "Santo Paulus berkata mengenai seseorang yang punya anak, dan bukan mengenai seseorang yang menghasilkan anak."[6]

Dasar-dasar Teologi

Secara teologis, Gereja mengajarkan bahwa imamat adalah sebuah perangkat gereja yang mengikuti hidup dan karya Yesus Kristus. Para imam sebagai pelayan sakramen bekerja in persona Christi, yaitu dalam diri manusia Kristus. Oleh sebab itu kehidupan para imam mengikuti kesucian Kristus sendiri. Pengorbanan untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah (Lukas 18: 28-30, Matius 19: 27-30, Markus 10: 20-21), dan untuk mengikuti teladan Yesus Kristus yang "menikah" dengan Gereja - yang dipandang oleh paham Katolik dan banyak tradisi Kristiani lainnya sebagai "Mempelai Kristus".

Dasar-dasar Kitab Suci

Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam Garam Dunia juga menjelaskan bahwa praktik selibat ini adalah berdasarkan pada khotbah Yesus kepada para kasim atau kaum selibat "demi Kerajaan Surga" yang menghubungkan keputusan Tuhan dalam Perjanjian Lama untuk menganugerahkan imamat kepada satu suku saja, yaitu suku Levi, dan yang tidak seperti suku-suku lain tidak menerima tanah sejengkal pun dari Tuhan - sebuah kebutuhan mendasar bagi penerusan keturunan seseorang senilai dengan seorang istri dan anak-anak zaman sekarang - namun mendapatkan "Tuhan sendiri sebagai harta warisannya" (Bilangan1: 48-53).

Juga dasar lain yang diambil adalah ajaran-ajaran Santo Paulus dari Tarsus yang menyatakan bahwa selibat merupakan tahapan kehidupan yang tinggi, dan keinginannya ini dinyatakan dalam 1 Korintus 7: 7-8, 32-35:

Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya. Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.

Perkembangan di Abad ke-11

Terkadang dikatakan bahwa selibat menjadi keharusan bagi para imam Ritus Latin baru mulai pada abad ke-11; sementara beberapa pihak lain mengatakan, misalnya: "Adalah adil bila dikatakan bahwa pada era Paus Leo I (440-461) hukum selibat dikenal secara umum di dunia Barat,"[7] dan bahwa aturan-aturan pada abad ke-11 mengenai hal ini, seperti juga pada kasus simoni atau kegiatan ilegal jual-beli posisi gerejawi, harus secara jelas tidak diartikan sebagai suatu makna bahwa baik non-selibat maupun simoni sebelumnya diperbolehkan.[8]

Gereja-gereja Katolik Timur

Secara umum, Gereja Katolik Timur memperbolehkan pentahbisan pria yang telah menikah sebagai imam. Di Amerika Utara, atas dasar ketakutan bahwa para imam yang menikah akan membuat skandal di tengah-tengah umat Katolik Ritus Latin, para uskup Katolik Timur biasanya hanya mentahbiskan pria-pria yang lajang; namun semenjak Konsili Vatikan II mengajak restorasi akan tradisi-tradisi Katolik Timur, beberapa gereja kembali ke praktik tradisional Timur yang lama dengan mentahbiskan pria yang telah menikah ke dalam jajaran perangkat gerejawi.


Sebuah syarat untuk menjadi seorang uskup Katolik Timur adalah harus lajang atau sudah menjadi duda.[9]

Kontroversi

Aturan Ritus Latin terus diperdebatkan atas dasar berbagai alasan. Pertama, banyak orang percaya bahwa selibat bukanlah keharusan bagi para rasul. Santo Petrus sendiri memiliki seorang istri semasa kerasulan Yesus, yang ibunya Yesus sembuhkan dari sakit demam tinggi.[10] Namun beberapa pihak lainnya berargumen bahwa para rasul benar-benar meninggalkan istri-istri mereka.[11] Kedua, persyaratan ini menyisihkan banyak pria yang seharusnya memenuhi syarat untuk menjadi imam, persyaratn yang menurut pembela aturan selibat seharusnya ditentukan bukan hanya pada kemampuan pengertian manusia akan naskah kitab suci tapi juga pada kemampuan pengertian hal-hal ilahi.


Ketiga, beberpa pihak mengatakan bahwa menolak dorongan seksual alami dengan cara ini adalah tidak masuk akal dan berbahaya bagi hidup yang sehat. Skandal seksual di antara para imam, para pembela aturan selibat berargumen, adalah sebuah pelanggaran terhadap aturan Gereja, bukan hasil dari pelanggaran tersebut, terutama semenjak hanya sebagian kecil dari para imam yang terlibat. Keempat, dikatakan bahwa keharusan untuk selibat menjauhkan para imam dari pengalaman hidup, menghilangkan kekuasaan moral diri mereka sendiri di dalam lingkungan pastoral, walaupun para pembelanya berargumen bahwa kekuasaan moral Gereja justru dikembangkan oleh sebuah kehidupan yang sepenuhnya menyerahkan diri ke dalam imitasi Kristus - sebuah pelaksanaan praktis ajaran Konsili Vatikan II yang menyebutkan bahwa "manusia tidak bisa secara penuh menemukan dirinya sendiri kecuali melalui persembahan dirinya sendiri yang tulus".[12]

Penentangan thdp Selibat Klerik selama masa Reformasi

Selibat sebagai sebuah persyaratan bagi pentahbisan menjadi imam (dalam Gereja Barat) dan menjadi rasul (baik di Gereja Timur maupun di Barat) serta menyatakan bahwa pernikahan bagi para imam adalah tidak sah[13] (baik di Timur maupun di Barat) adalah hal-hal penting dari perselisihan selama masa Reformasi Protestan, dengan para kaum Reformer berargumen bahwa persyaratan-persyaratan ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci di dalam 1 Timotius 4: 1-5, Ibrani 13: 4, dan 1 Korintus 9: 5, yang secara tidak langsung merupakan sebuah degradasi terhadap pernikahan, dan merupakan satu alasan bagi "banyaknya rasa kebencian"[14] dan bagi semaraknya perilaku seksual yang buruk di dalam lingkungan klergi di masa Reformasi.[15] Pandangan doktrin para kaum Reformer mengenai hal ini tercermin di dalam pernikahan Huldrych Zwingli pada tahun 1522, Martin Luther di tahun 1525, dan John Calvin di tahun 1539; Di Inggris, Thomas Cranmer yang telah menikah ditahbiskan menjadi Uskup Agung Canterbury pada tahun 1533. Tindakan-tindakan ini, pernikahan setelah pentahbisan menjadi imam dan mentahbiskan pria yang telah menikah menjadi seorang uskup, melawan tradisi lama Gereja baik di Timur maupun di Barat.

Semenjak Konsili Vatikan II

Tahta Suci secara resmi menegaskan kembali aturan mengenai selibat klerik di dalam Gereja Katolik Ritus Latin. Paus Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis menyatakan bahwa "tidak berubahnya' intisari dari pentahbisan "membentuk imam menjadi seperti Yesus Kristus Sang Kepala dan Mempelai Gereja." Oleh sebab itu, ia mengatakan, "Gereja, sebagai Mempelai Yesus Kristus, berharap untuk dicintai oleh para imam sepenuhnya dan secara khusus seperti Yesus Kristus Sang Kepala dan Mempelai Gereja mencintainya."


Gereka Latin sekarang memperbolehkan para pria yang telah menikah dan telah berusia baya untuk ditahbiskan menjadi diakon, dengan syarat bahwa mereka berkehendak untuk tetap menjadi diakon dan tidak berkehendak untuk melangkah maju mendapatkan pentahbisan imamat[16] (pentahbisan ke dalam tahapan diakon merupajkan bagian dari proses perjalanan calon imam menuju pentahbisan imam)[17]. Pentahbisan, bahkan yang bagi diakon, adalah sebuah hal yang tidak mengijinkan pernikahan nantinya, walaupun dispensasi khusus bisa diterima untuk pernikahan kembali di dalam situasi yang sangat luar biasa.[18]

Pengecualian

Pengecualian kadang-kadang dibuat (termasuk di dalam aliran Katolik Ritus Latin), dianugerahkan berdasarakn kekuasaan Sri Paus, ketika rohaniwan Protestan yang telah menikah menjadi Katolik. Karena aturan selibat adalah sebuah hukum gerejawi dan bukanlah sebuah doktrin, aturan ini bisa, secara prinsip, diubah setiap saat oleh Sri Paus. Doktrin-doktrin, di sisi lain, tidak bisa diubah. Walaupun demikian, baik Sri Paus saat ini, Paus Benediktus XVI dan para pendahulunya, telah membahas dengan jelas mengenai pengertian mereka bahwa praktik tradisional ini tidak mungkin akan berubah.[19]



[2] ^ Roman Cholij, Priestly celibacy in patristics and in the history of the Church., lihat juga,  ^ BONIVENTO, Cesare. Priestly Celibacy. Ecclesiastical Institution or Apostolic Tradition?; Thomas McGovern,Priestly Celibacy Today; Cochini, Christian, The Apostolic Origins of Priestly Celibacy, Ignatius Press (October 1990). ISBN 0-89870-951-2 ISBN 0-89870-280-1., dan ^ Celibacy in the Early Church: The Beginnings of Obligatory Continence for Clerics in East and West, Stefan Heid, p. 15.
[3] ^ On Oriental Orthodoxy's exclusion of marriage after ordination to priesthood, see Deacons Focus of Oriental Orthodox-Roman Catholic Consultation
[4] ^ McGovern, chapter 1; [Alfons Stickler: The Case for Clerical Celibacy (Ignatius Press) ISBN 0-89870-533-9]
[6] ^ "habentem filios dixit, non facientem" (Ep. extra coll. [Maur.63] 14,62, quoted in Giovanni Coppa, Il sacerdote "vero levita" secondo S. Ambrogio, L'Osservatore Romano 13 January 2007).
[7] ^ "Celibacy of the Clergy". Catholic Encyclopedia. Diakses pada 16 September 2006.
[12] ^ Pope Paul VI (December 1965). "Gaudium et Spes". Vatican. Diakses pada 16 September 2006.
[13] ^ Tidak ada "sumpah selibat", yang ada hanya sebuah deklarasi bahwa pernikahan oleh para imam adalah tidak sah.
[14] ^ Letter of Pope Adrian VI to Francesco Chieregati 25 November 1522, where the Pope says that even "in this Holy See there have been many abominations these many years — abuses in spiritual things, excessive decrees, and everything perverted" but did not attribute these abominations to clerical celibacy (Luther's Correspondence and Other Contemporary Letters, vol. 2 p. 146 by Preserved Smith). Lihat juga, ^ Catholic historian Ludwig von Pastor's The history of the popes, from the close of the Middle Ages (1891) (vol. V): Corruption of the Italian Clergy of all Ranks,169ff.; Fra Girolama Savonarola 181ff. likewise did not attribute to clerical celibacy the need for reform that was one of the reasons for holding the Council of Trent.
[16] ^ can. 1042.1 CIC 1983
[17]^ can. 1032, CIC 1983
[18] ^ Cong. for Divine Worship and Displine of the Sacraments, Circular Letter to Diocesan Ordinaries..., 6 June 1997, Prot. N. 263/97, 8; in Origins 27 (28 August 1997) p 171
[19] ^ Catholic Encyclopedia, "Celibacy of the Clergy