Selasa, 15 Juli 2014

(Refleksi) Pembenaran Bukanlah Sebuah Kebenaran


JANGAN HANYA PEMBENARAN, BUKTIKAN KEBENARAN
Seorang karyawan sebuah “perusahaan” datang mengungkapkan isi hatinya. Dia bilang bahwa teman-teman di kantor menuduhnya mencuri uang kantor. Malah ada rekan kerja yang berusaha melacak keuangannya. Padahal dia sudah bekerja keras dan hidup jujur, demikian curahan isi hatinya.

Satu hal lain lagi yang membuat dia kesal adalah tudingan orang bahwa seringnya dia keluar kota mendampingi boss, dikatakan bahwa dia gunakan uang kantor untuk keperluan pribadi. Padahal semua biaya perjalanan itu ditanggung oleh boss. Sungguh menyakitkan hati dituduh begitu. Pastilah mereka-mereka itu iri hati dan tidak suka melihat orang senang.

Sepintas saya merasa prihatin dan bersimpati dengan nasib karyawan ini. Saya merasa jengkel dan marah dengan orang-orang yang menuduhnya telah mencuri uang kantor, alias korupsi. Kenapa orang sukanya menuduh. Tanpa disadari saya melihat bahwa kebenaran ada pada pihak karyawan itu. Apa yang diutarakannya adalah kebenaran. Dengan kata lain, kebenarannya adalah: karyawan itu tidak korupsi dan orang lain memfitnah dirinya.

Benarkah demikian? Setelah saya renungkan, ternyata saya keliru. Apa yang diungkapkan oleh karyawan itu bukanlah kebenaran, melainkan pembenaran. Dia ingin mendapatkan kebenaran dengan cara pembenaran. Pembenaran bukanlah kebenaran yang sebenarnya. Pembenaran bisa menjadi sarana untuk menyembunyikan kebenaran.

Hal ini saya ketahui setelah saya mencoba mendengarkan suara dari pihak lain yang difitnah karyawan itu. Mereka mengatakan bahwa ada banyak yang mencurigakan di kantor itu berkaitan dengan keuangan. Soal keuangan tak ada orang lain yang bisa mengetahui kecuali karyawan itu dan sang boss. Bahkan wakil boss pun tak tahu. Ketika ada karyawan lain yang meminta transparansi, langsung dicekal. Keuangan sungguh dikelola dengan amat misterius.

Kecurigaan lain berkaitan dengan dana transportasi. Karyawan itu mengatakan bahwa setiap kali dia menemani boss ke luar kota, dia selalu dibayari oleh boss. Uang itu dari uang pribadi boss. Padahal gaji sang boss tidaklah seberapa. Untuk tiket satu orang pulang pergi saja tidak cukup gajinya sebulan. Lantas, uang itu dari mana? Inilah yang harus diungkapkan. Semua orang kan sudah tahu, berapa gaji sang boss dan berapa biaya pengeluarannya sebulan. Sangat tidak mungkin kalau dia mampu membiayai perjalanan karyawan yang mendampinginya ke luar kota hanya dengan uang dari pribadinya. Biaya dirinya sendiri saja belum cukup dengan menggunakan gaji sebulannya. Namun, ketika orang ingin melihat pembukuan keuangan, selalu dikatakan bahwa itu “Rahasia Perusahaan”.

Namun lagi-lagi harus dibuktikan. Untuk pembuktian ini, jelas tidak bisa dilakukan oleh orang luar tanpa mengetahui seluk beluk keuangan kantor. Karena itulah, sang boss harus membuktikan biaya transportasi itu dari mana. Bukan hanya dengan kata-kata saja, melainkan dengan data. Dan data itu ada di dalam pembukuan kantor. Alasan demi “Rahasia Perusahaan” tidak bisa dijadikan pembenaran untuk tidak membolehkan orang lain mengetahui pembukuan keuangan.

Saya jadi terperangah. Saya menilai di satu pihak orang mengungkapkan pembenaran bahwa dirinya difitnah telah mencuri uang kantor. Bagi saya ini adalah pembenaran, bukan kebenaran. Karyawan itu hanya mengatakan dirinya difitnah korupsi, namun ketika diminta untuk membuktikan soal keuangan, dia sama sekali menolak. Aneh! Kenapa selalu menyembunyikan laporan keuangan kalau memang tidak korupsi? Ini pasti ada sesuatu. Inilah dasar orang curiga. Jika bersih, kenapa harus takut!

Di pihak lain orang menyatakan kebenaran bahwa ada yang misterius di kantor mereka soal keuangan. Ini memang sebuah kebenaran, meski kepastiannya belum bisa dipastikan. Harus ada pembuktian. Persoalannya, pihak pimpinan kantor selalu menghindar bila diminta pertanggungjawaban keuangan. Dia begitu alergi dengan transparansi.

Akhirnya saya menemui karyawan itu lagi. Saya sampaikan bahwa apa yang dikatakannya itu hari hanyalah pembenaran. Saya meminta dia untuk membuatnya menjadi benar. Artinya, dia harus membuktikan kebenaran, bukan pembenaran. Tudingan bahwa orang lain memfitnah dia itu tidak beralasan. Justru dirinya yang balik memfitnah orang. Karena saya katakan bahwa mereka mengungkapkan kebenaran, meski tetap harus dibuktikan; sementara dia tidak mengungkapkan kebenaran. Saya minta dia untuk membuka laporan keuangan.

Karyawan itu marah kepadaku. sekali lagi ia berkata bahwa itu “Rahasia Perusahaan”, sebagaimana yang dikatakan sang boss. Segera dia membalikkan badan dan langsung berlalu. Dia pergi mencari orang lain lagi. Kepada orang itu dia kembali mencurahkan isi hatinya. Dia mengatakan bahwa banyak orang, termasuk saya, memfitnahnya korupsi uang kantor. Orang itu bersimpati kepadanya. Ia kesal dengan saya dan orang lain yang menudingnya korupsi.

Sampai kapan sobat, kau terus bertahan dengan pembenaranmu itu? Bukalah topengmu! Ubahlah pembenaranmu itu menjadi kebenaran. Jangan hanya menuding orang lain memfitnahmu, sementara kamu tidak mau membuktikan kalau fitnahan orang itu salah. Orang berbicara berdasarkan fakta, sementara kamu tidak sama sekali. Karena itulah, wajar saja bila orang lebih percaya kepada fakta daripada tidak.

Memang, fakta itu masih harus diuji kebenarannya. Namun, lebih baik berbicara dengan ada fakta daripada tidak sama sekali.
Bandung, 10 Nov 2013
by: adrian


Baca juga:
1.      Mati Rasa

Renungan Hari Selasa Biasa XV - Thn II

Renungan Hari Selasa Biasa XV, Thn A/II
Bac I    Yes 7: 1 – 9; Injil                   Mat 11: 20 – 24;

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara tentang dampak dari ketidakpercayaan. Injil hari ini menceritakan tentang Tuhan Yesus yang mengecam beberapa kota, yaitu Khorazim, Betsaida dan Kapernaum. Tuhan Yesus mengecam ketiga kota ini karena warganya tidak mau bertobat sekalipun di sana sudah diadakan mujizat oleh Tuhan Yesus. Di sini terlihat dua hal, yaitu adanya ketidak-percayaan umat pada apa yang telah dilakukan Tuhan Yesus; dan mereka hanya mau enaknya saja. Umat di kota-kota tersebut hanya ingin menikmati mujizat Tuhan Yesus, namun terhadap tuntutan-Nya, mereka enggan melaksanakannya. Sikap inilah yang membuat Yesus kecewa, marah dan akhirnya mengecam. Jadi, dampak ketidak-percayaan umat adalah kecaman.

Ketidak-percayaan juga menjadi sorotan Nabi Yesaya dalam bacaan pertama. Diceritakan bahwa pada waktu itu Bangsa Israel sedang dikepung oleh Raja Aram. Hal ini membuat Raja Ahas dan rakyatnya gemetar ketakutan. Mereka takut Raja Aram akan menyerang dan menguasai mereka. Melalui Nabi Yesaya, Tuhan meyakinkan mereka bahwa hal itu tidak akan terjadi. Namun Tuhan menuntut mereka untuk percaya kepada-Nya. “Jika kamu tidak percaya, sungguh kamu tidak teguh jaya,” demikian sabda Tuhan. Ini berarti bahwa apabila orang Israel tidak percaya kepada Tuhan, maka mereka akan binasa; tapi bila percaya maka hal itu tak terlaksana.

Melalui sabda-Nya hari ini, Tuhan memberikan kita dua pilihan, yaitu percaya atau tidak percaya kepada-Nya. Sikap percaya kepada Tuhan akan membawa keselamatan, bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat. Sementara sikap tidak percaya berdampak pada kebinasaan. Perlu disadari bahwa kebinasaan itu buah dari sikap kita yang tidak percaya kepada Tuhan; dan sikap itu merupakan pilihan kita sendiri. Artinya, yang mendatangkan kebinasaan itu adalah diri kita sendiri, bukan Tuhan. Tuhan hanya mengecam sikap ketidak-percayaan kita. Tuhan hanya memberi peringatan saja kepada kita. Tuhan menghendaki supaya kita percaya kepada-Nya, dan dengan demikian akan mendapatkan keselamatan.

by: adrian