Renungan
Hari Minggu Biasa XXVII, Thn B/I
Bacaan pertama dan Injil hari
ini secara langsung berbicara tentang perkawinan atau hidup berkeluarga. Dalam bacaan
pertama, yang diambil dari Kitab Kejadian, diceritakan beberapa hal terkait
dengan perkawinan itu, misalnya bahwa istri adalah penolong yang sepadan bagi
suami (ay. 18), bahwa istri merupakan bagian dari suami (ay. 21), dan bahwa
suami istri tak terceraikan (ay. 24). Di atas semuanya ini terlihat jelas bahwa
perkawinan itu dibentuk atas dasar kehendak Allah. Oleh karena itu, beberapa
hal yang berkaitan dengan perkawinan itu berdasarkan kehendak Allah.
Dalam Injil Tuhan Yesus mengulang
kembali apa yang sudah diungkapkan dalam bacaan pertama tadi. Hal ini terkait
dengan pernyataan orang Farisi bahwa boleh bercerai asal punya surat cerai, dan
ini didasarkan pada tindakan nabi Musa (ay. 4). Akan tetapi, Tuhan Yesus
menegaskan hakikat perkawinan yang dari semula merupakan kehendak Allah. Tuhan
Allah-lah yang membentuk perkawinan. “Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (ay. 9).
Penulis Surat kepada Orang
Ibrani, yang menjadi bacaan kedua hari ini, sama sekali tidak menyinggung soal
perkawinan. Penulis hanya menampilkan refleksi hubungan umat dengan Kristus
Yesus. Dikatakan bahwa Tuhan Yesus telah mengalami maut bagi semua manusia (ay.
9). Sekalipun Dia memiliki kemuliaan, namun Dia tak mempermasalahkan untuk “turun”
bersama manusia. Bahkan bagi penulis, Tuhan Yesus telah menyatu dengan manusia
sehingga Ia tidak malu menyebut mereka saudara (ay. 11). Kebersatuan ini
membuat manusia bukan siapa-siapa lagi, melainkan bagian dari kehidupan Tuhan
Yesus. Kiranya semangat ini harus ada dalam kehidupan suami istri. Ketika mereka
bersatu, istri menjadi bagian dari hidup suami, demikian pula sebaliknya.
Dewasa kini perceraian
seakan menjadi budaya. Bahkan dalam Gereja Katolik, yang sedari
awalnya tidak mengenal istilah cerai, banyak pasangan suami istri yang
bercerai. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada lagi kebersatuan antara
suami istri. Suami tidak lagi melihat istri sebagai bagian dari hidupnya atau
penolong yang sepadan, demikian halnya dengan sang istri. Mereka saling
menganggap satu sama lain sebagai orang asing. Sabda Tuhan hari ini mencoba
membuka kesadaran suami istri. Tuhan mengingatkan kita, khususnya pasangan suami
istri, bahwa pernikahan itu dibentuk oleh Tuhan. Ketika mengikrarkan janji
nikah, suami bersatu dengan istri. Kebersatuan ini bukan hanya dalam arti
fisik, melainkan juga psikis, jiwa dan spiritual.***
by:
adrian