Selasa, 10 Februari 2015

(Inspirasi Hidup) Upah Kerja Menurut Paulus

PAULUS DAN PARA IMAM TENTANG UPAH
Paulus adalah rasul Kristus. Gelar sebagai rasul Kristus ini dikatakan sendiri oleh Paulus. Hal ini terlihat dari beberapa pengantar suratnya, seperti 1 dan 2 Korintus, Efesus, Kolese dan 1 dan 2 Timotius. Sebagaimana rasul lainnya, tugas Paulus adalah mewartakan Injil Kristus. Bahkan bisa dikatakan bahwa inilah tugas utamanya. Paulus pernah berkata, “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9: 16).

Selain mewartakan Injil, tugas pokok Paulus yang lain adalah membangun jemaat. Dalam menjalankan tugasnya, Paulus jarang sekali memperhatikan kepentingan pribadinya. Semua usahanya ditujukan pada pelaksanaan tugasnya saja. Kerapkali Paulus menghadapi banyak cobaan, dari dihina, disepelekan, dilempar batu sampai dikira sudah mati, hingga kapal karam. Dalam menjalankan tugas mewartakan Injil Kristus, Paulus juga mendapat tantangan dari masyarakat yang sudah “mapan” baik dalam hal budaya (perkawinan, adat istiadat, seks bebas dan liar, dll), sosial (gender, status sosial, dll), mentalitas warga (hedonistis, konsumtivistis, materialistis, dll).

Sekalipun tantangan dan cobaan menghadang, Paulus tetap terus berjuang. Ia tetap setia pada panggilannya. Paulus tidak lari dan meninggalkan tugasnya. Ia terus mewartakan Injil baik lewat kata-kata maupun aksi nyata. Kesetiaan Paulus dalam menjalani tugas dilakukan hingga akhir waktu. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Tim 4: 7).

Begitu besarnya pengorbanan Paulus dalam menjalani tugas dan begitu banyaknya yang dikerjakan Paulus, tentulah membuat orang berpikir bahwa upah yang diterimanya juga banyak. Bukankah Tuhan Yesus sendiri sudah berkata, “Seorang pekerja patut mendapat upah.” (Mat 10: 10)? Paulus tidak menampik soal itu. Namun melihat upahnya, orang tentu akan heran. Paulus pernah berkata, “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah.” (1 Kor 9: 18). Paulus mendapat upah, tapi upahnya adalah tidak mendapat upah. Dengan kata lain, Paulus tidak menerima gaji atau upah dari tugas yang dijalankannya. Hal ini tentu berdasarkan nasehat Tuhan Yesus sendiri, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10: 8).

Karena telah menerima “kuasa” dari Tuhan Yesus secara gratis, maka Paulus memberi diri dalam pelayanannya secara gratis. Inilah semangat Paulus. Semangat ini kiranya kontras dengan sebagian besar imam dewasa ini yang begitu haus akan uang dan kekuasaan, seperti yang disinyalir oleh Paus Fransiskus. Sekalipun menerima “kuasa” secara gratis, namun ada imam yang begitu rakus akan gaji.

Sebagian besar imam menyelesaikan kuliahnya tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Semua kebutuhannya sudah dipenuhi, baik oleh keuskupan maupun oleh kongregasi. Bahkan untuk kuliah lanjut, sehingga bisa menduduki jabatan di komisi anu atau yayasan anu pun, tidak mengeluarkan biaya pribadi. Jadi, bayangkanlah: kuliah hingga ditahbiskan, gratis; kuliah lanjutan juga gratis, menerima jabatan juga gratis; akan tetapi gajinya dimakan sendiri. Padahal sudah ada ketentuan bahwa gaji diserahkan ke keuskupan/kongregasi, sebagai wujud semangat “memperoleh dengan cuma-cuma, karena itu memberi juga dengan cuma-cuma.”

Dapat dikatakan bahwa lain padang, lain belalang. Setiap jaman ada kekhasannya. Semangat “memberi dengan cuma-cuma karena menerima dengan cuma-cuma” sepertinya hanya berlaku pada jaman para rasul. Semangat itu, bagi sebagian imam, sudah tinggal kenangan. Atau, semangat itu hanya dikenakan kepada umat, bukan pada imam. Umatlah yang harus memberi dengan cuma-cuma.

Melihat hal inilah, Paus Fransiskus, dalam pembukaan Sinode Keluarga awal Oktober lalu, mengatakan adanya gembala yang buruk. Gembala yang buruk ini adalah mereka yang haus akan uang dan kekuasaan/jabatan. Paus sudah melihat bahwa ada banyak imam yang begitu bernafsu menduduki jabatan-jabatan tertentu, bahkan sampai rangkap jabatan, karena ingin mendapatkan uang yang banyak. Mereka tidak merasa puas dengan uang saku bulanan, sehingga gaji dari yayasan ini itu diambil untuk kepentingan pribadi. Jadi, Paus Fransiskus mau mengkritik sifat serakah para imam. Di sini Paus hendak mengajak para imam untuk mengikuti teladan Paulus, dimana upahnya adalah tidak mendapatkan upah, atau semangat “memberi dengan cuma-cuma, karena memperoleh dengan cuma-cuma.”

Akankah seruan Paus Fransiskus ini akan menjadi kenangan juga? Semuanya berpulang pada ketegasan pribadi imam dan juga uskup atau pimpinan kongregasi. Uskup atau pimpinan kongregasi harus bersikap tegas terhadap imamnya yang memiliki sifat serakah tadi. Tidak bisa hanya dengan membiarkan kesadaran imam itu tumbuh atau membiarkan waktu yang menyelesaikan. Sikap pembiaran dapat diartikan mendukung keserakahan itu. Dan jika memang demikian, dapatlah dikatakan kalau uskup atau pimpinan kongregasi berniat membuat seruan Paus Fransiskus itu menjadi kenangan, sama seperti teladan Paulus dan nasehat Tuhan Yesus.
Pangkalpinang, 13 November 2014
by: adrian
Baca juga:
2.      Diakon Yudas dan Ternyata ….
6.      Pertobatan sosial

Orang Kudus 10 Februari: St. Zenon

SANTO ZENON, PETAPA
Zenon dikenal sebagai murid Santo Basilius Agung. Dia adalah seorang prajurit redah pada masa pemerintahan Kaisar Maksimianus. Ia hidup sekitar tahun 350 – 419. Atas dorongan rahmat Allah, ia sendiri meminta agar diberhentikan dari tugasnya sebagai seorang prajurit Romawi. Selanjutnya ia menjadi seorang petapa di sebuh tempat sunyi dekat Antiokia, Syria, selama 40 tahun.

Sumber: Iman Katolik
Baca juga riwayat orang kudus 10 Februari:

Renungan Hari Selasa Biasa V - Thn I

Renungan Hari Selasa Biasa V, Thn B/I
Bac I    Kej 1: 20 – 2: 4a; Injil           Mrk 7: 1 – 13;

Bacaan pertama hari ini masih melanjutkan kisah penciptaan dari Kitab Kejadian. Di sini dikisahkan tentang penciptaan hari kelima sampai hari ketujuh. Kalau kemarin frase yang menonjol adalah “jadilah petang dan pagi”, hari ini adalah “Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” Setiap kali setelah mencipta, Allah menilai bahwa ciptaan-Nya itu baik. Dan karena selalu baik, maka di hari ketuju Allah memutuskan untuk istirahat sekaligus memberkati dan menguduskan hari itu. Tindakan Allah menguduskan hari ini menjadi perintah Allah bagi umat-Nya.

Injil hari ini menceritakan tentang pertentangan Tuhan Yesus dengan kelompok kaum Farisi dan ahli Taurat seputar kebiasaan mencuci tangan atau membersihkan diri sebelum makan. Ini merupakan tradisi yang dibangun oleh nenek moyang sejak jaman dahulu. Di sini Tuhan Yesus mengecam kaum Farisi dan ahli Taurat, karena sikap mereka yang berat sebelah. Bukan berarti Tuhan Yesus tidak menghargai tradisi leluhur. Di sini ada pertentangan antara perintah Allah dengan perintah nenek moyang, yang ada dalam tradisi. Yang terjadi adalah, kaum Farisi dan ahli Taurat lebih menekankan tradisi nenek moyang daripada perintah Allah. Tuhan Yesus menghendaki sebaliknya.

Setiap kita tentu hidup dalam tradisi. Kita tak bisa lepas dari budaya, dimana kita berasal dan dibesarkan. Tak selamanya tradisi itu buruk; dan tak selamanya juga baik. Kita yang sudah menerima Kristus diajak untuk setia kepada perintah Allah. Bukan berarti kita tidak lagi menghormati tradisi leluhur kita. Tuhan masih memperkenankan kita menghormati tradisi itu sejauh tidak mengalahkan perintah Allah. Sabda Tuhan hari ini menghendaki kita untuk bisa membuat skala prioritas berkaitan dengan tradisi. Jika sebuah tradisi tidak sejalan dengan kehendak Tuhan, maka kita wajib meninggalkannya.

by: adrian