Senin, 14 Agustus 2017

KUMPUL KEBO DI MATA GEREJA KATOLIK

Menikah merupakan sebuah tindakan hukum. Artinya, orang yang menikah harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku agar dengan demikian pernikahannya menjadi sah. Dalam Gereja Katolik orang katolik yang menikah diatur oleh tiga hukum sekaligus, yaitu hukum ilahi/kodrat, hukum gereja dan hukum sipil. Semua ini demi legalitas hasil dari tindak menikah itu. Di Indonesia, pernikahan itu sah jika sudah diresmikan oleh agama (bdk. UU Perkawinan No 1 Thn 1974, pasal 2 ayat 1). Di luar itu, pernikahan yang dilangsungkan adalah tidak sah.
Akan tetapi, masih ada orang yang bertindak di luar hukum, khususnya dalam hidup bersama. Mereka hidup bersama di luar pernikahan, atau tanpa menikah. Ini dikenal dengan istilah kumpul kebo. Jadi, kumpul kebo adalah orang yang hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan resmi pernikahan. Hampir semua agama melarang umatnya untuk kumpul kebo. Bagaimana sikap Gereja Katolik?

Bagi Gereja Katolik, tindakan kumpul kebo merendahkan martabat pernikahan, karena mereka merusak konsep keluarga, melemahkan nilai kesetiaan dan demikian melawan hukum moral. Umumnya orang mengerti bahwa keluarga itu terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan segala efeknya. Kumpul kebo mengacaunya karena anak yang lahir tidak mendapat pengakuan resmi. Kumpul kebo tidak punya ikatan yang kuat sehingga merusak nilai kesetiaan di antara mereka sendiri serta berpeluang punya simpanan lain. KGK 2390 menegaskan bahwa kumpul kebo melanggar hukum moral, karena persetubuhan hanya boleh dilakukan di dalam pernikahan; di luar itu persetubuhan merupakan dosa berat dan mengucilkan dari penerimaan komuni kudus. Kumpul kebo merupakan sebuah dosa, yaitu dosa perzinahan.
by: adrian