Selasa, 28 Maret 2017

MELIHAT PERSOALAN NIKAH BEDA AGAMA

Bumi kita satu, tapi dihuni oleh manusia yang beraneka ragam, baik ras, suku, status sosial-ekonomi maupun agama. Ini membuktikan bahwa manusia hidup di alam pluralisme. Sebagai makhluk sosial pertemuan antar manusia dengan perbedaan ini tak dapat dihindari. Tak jarang pula dalam pertemuan dua anak manusia yang berbeda ini terkadang berakhir dengan pernikahan. Pernikahan dua anak manusia dengan beda suku atau ras tidak terlalu menimbulkan masalah yang berarti. Masalah memang ada namun masih mudah diatasi.
Yang sering menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Banyak agama menolak umatnya melakukan nikah beda agama. Larangan untuk menikah beda agama ditunjang juga dengan tidak ada ritus yang memfasilitasinya. Mereka hanya mengatur pernikahan seagama saja. Karena itu, jika dua anak manusia yang berbeda agama mau menikah, maka salah satu harus menyangkal iman dan agamanya terlebih dahulu baru bisa melangsungkan pernikahan.
Agama Islam dengan tegas menyatakan bahwa nikah beda agama adalah haram. Dalam islam, pernikahan itu harus seagama atau seiman. Maka, ketika umat islam menikah dengan yang non islam, menggunakan tata cara islam (menikah secara islam), maka yang non islam harus masuk islam dulu. Dan kebetulan, dalam ritusnya ada kewajiban mengucapkan kalimat syahadatin. Dengan mengucapkan kalimat itu, seseorang telah menjadi islam.
Demikian pula dengan agama lainnya. Pernikahan antara orang Buddha dan Protestan, dengan menggunakan salah satu cara (entah Buddha maupun Protestan) menuntut salah satu harus mengingkari imannya. Agama-agama lain tidak mempunyai ritus pernikahan campur beda agama, sehingga pernikahan dengan cara agama tertentu (kecuali katolik) memaksa pihak yang lain kehilangan iman asalnya.
Karena itu, pada tahun 2015 lalu sekelompok elemen masyarakat mengajukan judicial review atas undang-undang perkawinan terkait dengan nikah beda agama (UU Perkawinan no 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1). Undang-undang mengatakan, “Perkawian adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Salah satu alasan gugatan ini adalah bahwa pasal pernikahan beda agama bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, yang berarti UU Perkawinan tetap berlaku sebagaimana awalnya.
Jika agama lainnya tidak mempunyai ritus pernikahan campur, Gereja Katolik memiliki ritus pernikahan campur beda agama/Gereja. Namun, Gereja Katolik melihat nikah beda agama sebagai suatu halangan. Akan tetapi halangan ini dapat dihapus dengan izin atau dispensasi. Jadi, secara tak langsung Gereja Katolik membolehkan menikah beda agama. Dengan nikah beda agama di Gereja Katolik, yang non katolik tetap dengan agama atau imannya. Di sini terlihat jelas bahwa Gereja Katolik mau menghargai dan menghormati hak asasi umat agama lain. Gereja Katolik tidak boleh memaksa orang lain memeluk iman katolik hanya karena pernikahan.
Problematika Nikah Beda Agama