Bumi kita satu, tapi dihuni oleh manusia yang beraneka ragam, baik ras,
suku, status sosial-ekonomi maupun agama. Ini membuktikan bahwa manusia hidup
di alam pluralisme. Sebagai makhluk sosial pertemuan antar manusia dengan
perbedaan ini tak dapat dihindari. Tak jarang pula dalam pertemuan dua anak
manusia yang berbeda ini terkadang berakhir dengan pernikahan. Pernikahan dua
anak manusia dengan beda suku atau ras tidak terlalu menimbulkan masalah yang
berarti. Masalah memang ada namun masih mudah diatasi.
Yang sering menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Banyak agama
menolak umatnya melakukan nikah beda agama. Larangan untuk menikah beda agama
ditunjang juga dengan tidak ada ritus yang memfasilitasinya. Mereka hanya
mengatur pernikahan seagama saja. Karena itu, jika dua anak manusia yang
berbeda agama mau menikah, maka salah satu harus menyangkal iman dan agamanya
terlebih dahulu baru bisa melangsungkan pernikahan.
Agama Islam dengan tegas menyatakan bahwa nikah beda agama adalah haram.
Dalam islam, pernikahan itu harus seagama atau seiman. Maka, ketika umat islam
menikah dengan yang non islam, menggunakan tata cara islam (menikah secara
islam), maka yang non islam harus masuk islam dulu. Dan kebetulan, dalam
ritusnya ada kewajiban mengucapkan kalimat syahadatin. Dengan mengucapkan kalimat itu,
seseorang telah menjadi islam.
Demikian pula dengan agama lainnya. Pernikahan antara orang Buddha dan
Protestan, dengan menggunakan salah satu cara (entah Buddha maupun Protestan)
menuntut salah satu harus mengingkari imannya. Agama-agama lain tidak mempunyai
ritus pernikahan campur beda agama, sehingga pernikahan dengan cara agama
tertentu (kecuali katolik) memaksa pihak yang lain kehilangan iman asalnya.
Karena itu, pada tahun 2015 lalu sekelompok elemen masyarakat mengajukan judicial review atas undang-undang
perkawinan terkait dengan nikah beda agama (UU Perkawinan no 1 tahun 1974 pasal
2 ayat 1). Undang-undang mengatakan, “Perkawian adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Salah satu alasan
gugatan ini adalah bahwa pasal pernikahan beda agama bertentangan dengan hak
asasi manusia. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, yang
berarti UU Perkawinan tetap berlaku sebagaimana awalnya.
Jika agama lainnya tidak mempunyai ritus pernikahan campur, Gereja Katolik
memiliki ritus pernikahan campur beda agama/Gereja. Namun, Gereja Katolik
melihat nikah beda agama sebagai suatu halangan. Akan tetapi halangan ini dapat
dihapus dengan izin atau dispensasi. Jadi, secara tak langsung Gereja Katolik
membolehkan menikah beda agama. Dengan nikah beda agama di Gereja Katolik, yang
non katolik tetap dengan agama atau imannya. Di sini terlihat jelas bahwa
Gereja Katolik mau menghargai dan menghormati hak asasi umat agama lain. Gereja
Katolik tidak boleh memaksa orang lain memeluk iman katolik hanya karena pernikahan.
Problematika Nikah Beda Agama