Kamis, 23 Juni 2022

KETIKA GEMBALA DITOLAK DOMBA

 

Ketika ditahbiskan, seorang imam memiliki jabatan sebagai gembala. Umat adalah kawanan gembalaannya. Tentulah sangat diharapkan agar seorang imam bisa menampilkan dirinya sebagai seorang gembala yang baik, sebagaimana yang pernah diungkapkan Tuhan Yesus (lih. Yoh 10: 1 – 11) atau yang ditegaskan oleh Petrus (lih. 1Ptr 5: 1 – 11).

Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Demikian pula seorang gembala. Untuk menjadi gembala yang baik, sebagaimana yang diminta oleh Tuhan, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada begitu banyak persoalan dan perjuangan, baik itu menyangkut hal eksternal maupun internal diri gembala itu sendiri.

Paus Fransiskus sendiri, pada bulan Oktober 2014 lalu sudah menyatakan akan adanya gembala yang buruk, yang hanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri, menyangkut uang dan kekuasaan. Sekalipun penuh dengan kelemahan dan kekurangan, bukan lantas berarti seorang gembala menyerah begitu saja tanpa ada niat untuk perbaikan diri. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tapi setiap kita dipanggil kepada kesempurnaan. Tuhan Yesus pernah bersabda, “… haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Mat 5: 48).

Adanya gambaran gembala yang buruk inilah yang sering membuat domba memberontak. Kita dapat membagi pemberontakan ini ke dalam dua kelompok. Pertama, pemberontakan halus. Umat melakukan perlawanan secara diam. Tampil di permukaan seperti tidak ada pergejolakan. Umat seakan mendengar apa yang dikatakan sang gembala, namun dengan diam mengabaikannya. Perlahan-lahan umat enggan mengikuti kegiatan menggereja, malas mengikuti ekaristi hari Minggu, dan menolak setiap kebijakan sang gembala.