Senin, 25 Februari 2013

Hedonisme & Kaum Muda

VIRUS HEDON MERASUK KAUM MUDA
Dalam Majalah HIDUP, edisi no. 43, tanggal 21 Oktober 2012, khusus rubrik “Konsultasi Keluarga”, terdapat topik Kaum Muda dan Hedonisme. Topik ini berangkat dari pertanyaan seorang gadis berasal dari Yogyakarta, bernama Anita. Dia bertanya, “Romo Benny yang baik, saya sering mendengar kecaman bahwa orang muda cenderung hedonis. Apa yang dimaksud dengan tuduhan itu? Bukankah hal-hal fun yang sering kami cari itu baik adanya? Terima kasih.”

Gaya hidup hedonis memang lagi melanda kehidupan manusia, termasuk kaum muda. Ada banyak kaum muda jatuh dalam budaya hedonisme ini. Mereka lupa akan panggilannya sebagai warga Gereja. Mereka lebih mengejar kesenangan daripada Gereja. Karena itulah, ada banyak gereja mulai ditinggalkan oleh kaum muda sehingga gereja tersebut menjadi gereja tua, yaitu gereja yang hanya diisi oleh kaum tua. Gereja dilihat sebagai sesuatu yang membosankan dan tidak menyenangkan.

Bukan hanya kehadiran kaum muda yang kurang dalam gereja saat perayaan ekaristi, melainkan juga keterlibatan kaum muda dalam berbagai kegiatan di gereja. Misalnya ketika ada kegiatan Valentine Day bersama OMK, ada banyak kaum muda lebih memilih ber-valentine-day-an berdua dengan pacarnya.

Apakah salah bila kaum muda mencari kesenangannya sendiri? Berikut ini adalah jawaban romo pengasuh rubrik tersebut, yaitu Romo Dr. Benny Phang, OCarm. Kami akan menampilkan jawaban beliau secara utuh agar terhindar dari kesalahan tafsir.

Kesenangan versus Kebahagiaan
“Damai Tuhan besertamu, Anita. Hedonisme berasal dari kata hedone (Yunani) yang berarti kesenangan. Sebagai suatu aliran pemikiran, hedonisme berpendapat bahwa yang baik adalah yang menyenangkan. Orang yang mengikuti pola hidup ini akan hanya terus mencari kesenangan demi kesenangan. Maka, salah satu jargon dalam pemikiran ini adalah carpe diem, yang berarti nikmatilah hari ini dengan mencari kesenangan di dalamnya.

Ini pemikiran yang berbahaya. Coba renungkan, apakah dalam hidupmu yang kamu jumpai hanyalah kesenangan? Ada perbedaan besar antara fun atau kesenangan (pleasure) dan kebahagiaan (happiness). Kesenangan biasanya hanya pada level permukaan dan kebahagiaan jauh lebih mendalam. Misalnya, membeli tas bermerek dan memakainya akan menimbulkan kesenangan, tapi sampai berapa lama kesenangan itu akan bertahan? Apakah tas bermerek itu sungguh membawa kebahagiaan sampai ke lubuk hatimu yang terdalam? Tidak bukan?

St Thomas Aquinas mengatakan bahwa kebahagiaan sejati tak dapat ditemukan dalam kehormatan, kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kesehatan, kenikmatan, dan seluruh ciptaan, tapi hanya pada Allah. St Agustinus juga pernah berseru, “Engkau telah mencipta kami bagi-Mu, dan jiwaku takkan dapat beristirahat dengan tenteram sebelum aku beristirahat dalam Engkau!”

Anita, janganlah fokuskan dirimu pada hal-hal yang fun saja, tetapi lebih dari itu fokuskanlah hidupmu pada Allah. Karena “hanya dekat Allah saja aku tenang, daripada-Nyalah keselamatanku” (Mzm 62:2).”

Kesenangan Tidak Salah Asal...
Dari jawaban Romo Benny di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesenangan. Adalah hak setiap manusia untuk mencari dan menikmati kesenangan. Tentulah semua manusia menghendaki kesenangan. Tidak ada larangan untuk itu. Karena itu juga, kaum muda dapat menikmati kesenangannya. Kesenangan bukanlah merupakan kesalahan dan dosa.

Kesenangan menjadi sebuah kesalahan ketika ia hanya menitikberatkan pada kesenangan semata yang berpusat pada diri. Artinya, orang mencari kesenangan demi kesenangan dan terlebih lagi demi dirinya sendiri. Pada titik ini akan lahirlah semangat egoisme demi kesenangan tersebut. Orang tidak lagi peduli pada nasib dan penderitaan sesama. Orang hanya sibuk menikmati kesenangannya.

Tentu sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran Gereja yang terdapat, baik dalam Kitab Suci maupun dalam dokumen Gereja lainnya. Dalam Injil kita dapat melihat teladan hidup Yesus yang menunjukkan semangat solidaritasnya terhadap orang miskin, terpinggirkan, sakit dan orang berdosa. Karena itu, Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm 12: 15). Dan salah satu dokumen Konsili Vatikan II berkata, “KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” (Gaudium et Spes, no. 1).

Dalam jawabannya di atas, Romo Benny menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan memiliki kualitas yang jauh lebih baik dan lebih tinggi ketimbang kesenangan. Kebahagiaan itu menyentuh inti terdalam kemanusiaan kita, yaitu HATI. Karena itu bisa dikatakan bahwa kebahagiaan lebih baik daripada kesenangan. Adalah lebih bagus jika manusia, khususnya kaum muda, mencari kebahagiaan. Akan tetapi, Romo Benny juga meminta kepada kaum muda untuk tidak berhenti pada kebahagiaan sebagai kebahagiaan semata. Romo Benny, dengan mengutip St. Thomas Aquinas, mengingatkan soal kebahagiaan sejati yang ada pada Allah.

by: adrian

(Inspirasi Hidup) Karakter & Kredibilitas Pemimpin

PEMIMPIN: KARAKTER & KREDIBILITAS
Albert Einstein, seorang ahli fisika, pernah berkata, "Kebanyakan orang mengatakan intelektualitaslah  yang membuat seorang ilmuwan  hebat. Mereka salah, yang membuatnya hebat adalah karakter." Hal senada juga dikatakan oleh panglima Perang Teluk Pertama, Jenderal H. Norman Schwarzkopf. Jenderal yang jago strategi ini pernah mengatakan, "Kepemimpinan adalah kombinasi yang sangat kuat dari strategi dan karakter. Namun jika harus memilih salah satunya, pilihlah karakter."

Karakter dan kredibilitas selalu berjalan bersama. Kepemimpinan tanpa kredibilitas cepat atau lambat akan hancur. Lihat saja kepemimpinan yang diguncang oleh skandal korupsi, seks atau hak asasi manusia, seperti yang terjadi pada mantan presiden Amerika, Richard Nixon, Bill Clinton atau para petinggi perusahaan yang memanipulasi data keuangannya.

Karakter membuat kita dipercaya dan rasa percaya membuat kita bisa memimpin. Seorang pemimpin tidak pernah membuat komitmen kecuali ia melaksanakannya dan ia benar-benar melakukan segalanya untuk menunjukkan integritas, sekalipun hal itu tidak nyaman baginya.

Seorang pemimpin berkarakter kuat akan dipercayai banyak orang. Mereka mempercayai kemampuan pemimpin tersebut untuk mengeluarkan kemampuan mereka yang tertahan. Jika seorang pemimpin tidak memiliki karakter yang kuat, ia tidak mendapatkan respek dari bawahannya. Respek diperlukan bagi sebuah kepemimpinan yang bertahan lama. Seorang pemimpin memperoleh respek dengan mengambil keputusan yang berani dan mengakui  kesalahannya. Ia juga lebih mendahulukan kepentingan bawahan dan organisasi dibandingkan kepentingan pribadinya.

Kepercayaan adalah dasar kepemimpinan. Rusak kepercayaan, berakhir pulalah sebuah kepemimpinan.

dikembangkan dari email Anne Ahira
Baca juga refleksi lainnya:

Orang Kudus 25 Februari: St. Walburga

Santa walburga, abbas
Walburga lahir pada tahun 710 di Devonshire, Inggris. Saudari Santo Winebald dan Willibald ini masih mempunyai hubungan keluarga dengan Santo Bonifasius yang dikenal sebagai ‘Rasul bangsa Jerman’.

Ketika berumur 11 tahun, Walburga dididik di biara Benediktin, Wimborne di Dorsetshire, Inggris. Kemudian dia diterima sebagai anggota dari biara itu. Ia tetap tinggal di biara Wimborne sampai tahun 748 sambil membantu Santo Bonifasius mendirikan biara-biara di beberapa daerah Jerman yang baru dikristenkan. Kemudian ia pergi ke Jerman dan menjadi Abbas untuk para biarawati yang mendiami biara Benediktin di Heidenheim yang didirikan saudaranya Santo Winebald. Sesudah Winebald meninggal dunia pada tahun 761, Walburga menjadi abbas untuk seluruh biara yang ada di Jerman. Ia melayani biara-biara ini hingga kematiannya pada tahun 779 di Heindenheim, Jerman.

Semenjak abad IX, nama Walburga terkenal luas di kalangan umat Jerman karena semacam ‘minyak pengobat penyakit’, yang mengalir dari batu padas di bawah tempat duduknya di gereja Salib Suci Eichstatt, Jerman. Minyak itu dapat menyembuhan berbagai penyakit.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Senin Prapaskah II-C

Renungan Hari Senin Prapaskah II, Thn C/I
Bac I : Dan 9: 4b – 10; Injil       : Luk 6: 36 – 38

Dalam Injil hari ini Yesus mengajarkan soal hubungan interpersonal. Yesus mengingatkan para murid-Nya bahwa jika mereka menilai tentang orang lain, maka penilaian itu akan kena juga pada dirinya. "Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (ay. 38).

Apa yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya ini menjadi pelajaran berharga bagi kita saat ini. Tidak jarang dalam relasi dengan sesama, kita kerap menyampaikan penilaian atau bahkan kritik kepada sesama kita. Sabda Yesus hari ini mau menyadarkan kita bahwa penilaian atau kritik yang kita sampaikan akan kena kembali kepada kita.

Bukan maksud Yesus agar kita memilih jalan aman, yaitu tidak usah menilai atau mengkritik orang yang jelas-jelas berbuat salah. Yesus sama sekali tidak menghendaki hal itu. Yesus hanya mau mengajak kita untuk waspada atas kritikan yang kita lontarkan. Jadi, dalam kritikan itu ada pesan untuk mawas diri agar kita tidak jatuh ke dalam kesalahan yang dikritik itu.

by: adrian