Senin, 23 Juli 2012

(Sharing Hidup) Sungai Linggih

Kunjungan Ke Sungai Linggih


Sungai Linggih adalah nama tempat di Pulau Sugi. Di sana ada satu kelompok umat. Jumlah mereka sekitar 12 - 20 orang. Sempat lama tak mendapatkan pelayanan. Baru pada hari Rabu menjelang Kamis Putih tahun 2011, romo Adrian berkunjung ke sana. Sejak saat itu, mulailah dibuka kembali pelayanan ke sana. Jadwal pelayanan dua bulan sekali.

Untuk ke sana, kita harus carter pompong dengan harga Rp 350.000,- pulang pergi. Untuk meramaikan kunjungan, maka setiap kali berangkat, kami membawa rombongan dari Moro sekitar 10-20 orang. Jarak waktu tempuh sekitar 3 jam. Itu pun tergantung dengan situasi laut.

Inilah foto kunjungan pertama ke Sungai Linggih





Memasuki Kampung Selat Binga. Di sini kami turun lalu berjalan kaki. Soal jaraknya tak ada yang tahu. Tapi soal waktu tempuhnya kurang lebih sekitar 1 jam 15 menit.






Mulai memasuki kawasan hutan. Kami harus naik dan turun bukit, mengikuti jalan setapak.



Istirahat sejanak untuk mengumpulkan tenaga demi perjalanan lanjut yang masih panjang.




Tetap ceriah dan tersenyum sekalipun melelahkan. Dan jangan lupa juga untuk pasang gaya....


Memasuki perkebunan orang. Senyum dan tawa tak pernah ketinggalan...




Akhirnya sampai juga. Inilah kapela di Sungai Linggih. Kapela ini dibangun pada masa kepemimpinan Romo Vincen sebagai pastor paroki.

 



Kondisi bagian dalam kapela. Sungguh sangat memprihatinkan. Hal ini karena sudah lama tidak ada kunjungan sehingga kapela jarang digunakan.




Berfoto bersama setelah selesai merayakan ekaristi.






Menuju ke perumahan umat. Dulu di sini ada cukup banyak umatnya. Namun dalam perjalanan waktu, perlahan-lahan umatnya mulai berkurang. Di rumah inilah akhirnya kami melanjutkan kegembiraan bersama, setelah sebelumnya menikmati santapan rohani, di sini bersama-sama kami menikmati santapan ragawi.




Akhirnya kami pulang, karena waktu sudah senja. Kami pulang melalui kampung Kang, mengikuti nasehat umat di sana. Alasan mereka: jalan menuju ke sana datar (tidak ada bukit) dan lebih dekat (sekitar 35 menit).




(Inspirasi Hidup) Batu Besar dalam Hidup


BATU BESAR DALAM HIDUP
Beberapa waktu lalu aku sedang membaca sebuah artikel seorang ahli di bidang manajemen waktu. Suatu hari si ahli ini berbicara di depan sekumpulan mahasiswa bisnis dan untuk mengungkapkan suatu poin, ia menggunakan sebuah ilustrasi yang tak akan pernah dilupakan mahasiswa itu. Setelah aku membagikannya pada kamu, kamu juga tak akan melupakannya.

Saat orang ini berdiri di depan sekumpulan para mahasiswa pintar dan berprestasi ia berkata, “Oke, saatnya kuis.” Ia kemudian membawa sebuah galon air, sebuah guci besar dan menatanya di sebuah meja di depannya. Ia melanjutkannya dengan membawa satu lusin batu berukuran kepalan tangan dan dengan hati-hati memasukkannya satu per satu ke dalam guci tersebut.

Saat guci tersebut terisi sampai ke atas dan tidak ada lagi batu yang muat di dalam, ia bertanya, “Apakah guci ini sudah penuh?” Setiap orang di kelas berkata, “Ya.” Kemudian ia berkata, “Benarkah?” Ia menunduk dan mengambil satu ember kerikil. Kemudian ia menumpahkan beberapa kerikil ke guci dan mengguncang-guncangkannya, menyebabkan kerikil tersebut berhasil menempati ruang-ruang di antara batu-batu. Ia tersenyum dan bertanya sekali lagi, “Apakah guci ini sudah penuh?”

“Mungkin belum,” salah satu mahasiswa menjawab. “Bagus!” ia menyahut. Dan kemudian ia menunduk lagi dan mengambil satu ember pasir. Ia mulai menumpahkan pasir dan pasir itu mengisi ruang kosong di antara batu dan kerikil. Sekali lagi ia bertanya, “Apakah guci ini sudah penuh?” “Belum!” Kelas itu serentak menjawab. Sekali lagi ia berkata, “Bagus!” Kemudian ia mengambil satu kendi berisi air dan mulai menuangkannya ke dalam guci sampai meluap. Ia melihat para mahasiswa dan bertanya, “Apa poin dari ilustrasi ini?”

Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Poinnya adalah, tidak peduli seberapa penuh jadwalmu, jika kamu berusaha dengan keras, kamu akan selalu bisa memasukkan beberapa kegiatan lain ke dalamnya!”

“Bukan,” pembicara itu menjawab, “Bukan itu poinnya. Yang sebenarnya diajarkan ilustrasi ini adalah: Jika kamu tidak memasukkan batu besar pertama kali, kamu tidak akan pernah bisa memasukkan semuanya.”

Apa batu besar dalam hidupmu? Sebuah proyek yang ingin kamu selesaikan? Waktu untuk bersama orang yang kamu cintai? Sebuah tugas berat? Sebuah pekerjaan yang sulit? Ingatlah untuk memasukkan batu-batu besar ini pertama kali, atau kamu tidak akan pernah bisa memasukkan semuanya.

Orang Kudus 23 Juli: St. Birgitta


SANTA BIRGITTA, JANDA
Birgitta lahir di Vadstena, Swedia pada tahun 1303. Puteri turunan raja Swedia ini semenjak kecilnya rajin mengikuti Kurban Misa dan mendengarkan kotbah pastornya. Kebiasaan ini menanamkan dalam dirinya benih-benih iman yang kokoh dan berguna bagi cara hidupnya di kemudian hari. Pada usianya 13 tahun, ia menikah dengan Pangeran Ulfo dari Gudmarsson, putera seorang bangsawan Swedia. Dari perkawinan ini, Birgitta dianugerahi delapan orang anak selama 28 tahun hidup bersama Pangeran Ulfo. Sebagai ibu rumah tangga, Birgitta sangat bijaksana dalam mengatur keluarganya dan dengan penuh kasih sayang mendidik anak-anaknya. Masalah pendidikan anak-anak menjadi perhatiannya yang utama. Hasil pendidikan itu terbukti dalam diri puterinya Katarina, yang kelak menjadi orang kudus (Santa Katarina dari Swedia).

Pada tahun 1335, ibu Birgitta dipanggil ke istana Raja Magnus II Erikson (1319 – 1365) untuk menjadi ibu rumah menantikan kehadiran Blanche dari Namur, permaisuri Raja Magnus. Selama berada di istana, Birgitta memberi bimbingan kepada Magnus II bersama permaisurinya dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup perkawinan.

Sepeninggal suaminya Pangeran Ulfo pada tahun 1344, Birgitta masuk biara Cistersian di Alvastra. Di biara ini ia menjalani suatu corak hidup rohani yang keras, sambil tetap mendampingi Raja Magnus II bersama permaisurinya. Ketika ia melihat bahwa Magnus II menjalani suatu cara hidup yang tidak terpuji, Birgitta menegurnya dengan keras dan berusaha mempertobatkannya kembali. Raja Magnus sungguh menghormati Birgitta sehingga dengan rendah hati membaharui cara hidupnya dan bertobat. Di kemudian hari, Magnus II menjadi pelindung dan pembantu setia para suster yang menjadi anggota tarekat religius yang didirikan oleh Birgitta pada tahun 1346 di Vadstena. Raja menghadiahkan kepada mereka sebidang tanah yang luas untuk pembangunan pusat biara Birgittin. Ordo baru ini dimaksudkan untuk menghormati Sang Penebus Yesus Kristus. Kekhususan ordo ini ialah bahwa ordo ini menghimpun banyak suster, beberapa orang imam dan bruder, yang hidup terpisah-pisah di rumah masing-masing tetapi bersama-sama memuji Tuhan dalam satu gereja. Urusan biara dipimpin oleh seorang abbas perempuan, sedangkan kehidupan rohani diserahkan kepada seorang imam biarawan.

Untuk mendapatkan restu Sri Paus atas tarekat yang didirikannya, sekaligus merayakan Tahun Suci 1350, maka pada tahun 1349, Birgitta pindah ke Roma ditemani oleh Katarina anaknya. Di Roma ia bertapa keras, memperhatikan orang-orang miskin dan sakit serta memberikan usaha agat Takhtah Suci dipindahkan kembali dari Avignon ke Roma. Untuk maksud itu, ia tak henti-hentinya menasehati Paus Klemens VI (1342 – 1452), Urbanus (1363 – 1370) dan Gregorius XI (1370 – 1378) agar kembali ke Roma. Pada tahun 1371, Sri Paus Urbanus V memberikan restu untuk tarekat Birgittin.

Birgitta memiliki kemampuan kenabian dan meramal banyak peristiwa kerohanian dan politik. Ia banyak kali mengalami hambatan dan pengejaran, namun tidak pernah berkecil hati. Ia tegus dalam iman dan penggilannya yang suci. Setelah suatu perjalanan ke Tanah Suci pada tahun 1371, Birgitta kembali ke Roma. Dua tahun kemudian pada tanggal 23 April 1373, Birgitta meninggal dunia di Roma. Paus Bonifasius IX (1389 – 1404) menggelari dia ‘santa’ pada tahun 1391.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Senin Biasa XVI - Thn II

Renungan Hari Senin Pekan Biasa XVI B/II
Bac I    Mi 6: 1 – 4, 6 – 8; Injil    Mat 12: 38 – 42

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara soal kedegilan hati umat Israel. Mata hati mereka ditutupi oleh egoisme. Aku menjadi titik totaknya. Kepuasankulah yang menjadi acuannya. Di luar diriku tidak diakui.

Dalam bacaan pertama diungkapkan kekecewaan Allah terhadap umat Israel, bangsa pilihan-Nya. Padahal Allah begitu setia dan baik kepada mereka. Peristiwa keluar dari Mesir merupakan sebuah "tanda" kepedulian Allah kepada mereka. Tapi apa balasan mereka kepada Allah? Mereka justru menyimpang. Mereka malah tidak percaya kepada Allah dan beralih kepada allah-allah lain. Inilah yang membuat Allah kecewa.

Dalam bacaan Injil pun sama. Yesus kecewa terhadap sikap ahli-ahli taurat dan kaum Farisi. Padahal mereka sudah sering mendengar tentang penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus. Malah mungkin mereka menjadi saksi mata atas peristiwa mukjizat Yesus. Padahal mereka melihat begitu banyak orang percaya pada-Nya. Tetapi kenapa mereka belum juga percaya dan masih meminta tanda?

Hal ini disebabkan karena egoisme. Aku menjadi titik tolaknya. Egoisme ini ada pada diri orang Israel pada zaman Perjanjian Lama. Mungkin dalam hati mereka berkata bahwa yang mengalami pembebasan dari Mesir itu bukan kami.

Egoisme itu juga terlihat pada ahli-ahli taurat dan kaum Farisi. Bagi mereka "tanda" yang diharapkan harus kena pada diri mereka sendiri. Harus merekalah yang merasakan dan menikmati "tanda" itu, baru mereka percaya.

Sabda Tuhan hari ini mau mengajak kita untuk tetap setia kepada Yesus. Sekalipun kita belum pernah merasakan secara langsung "tanda" dari-Nya, tetaplah kita percaya pada-Nya. Bagi kita cukuplah salib tempat Yesus bergantung sebagai tandany.

by: adrian