Single fighter adalah istilah untuk orang yang suka bekerja sendiri, tidak mau melibatkan orang lain. Di balik kecenderungan ini ada tersembunyi sifat serakah akan peran dan jabatan. Ada begitu banyak faktor yang membuat seseorang bertindak single fighter, mulai dari ketidakpercayaan pada orang, kecenderungan ingin dipuji hingga keserakahan peran dan jabatan tadi. (Uraian lain tentang hal ini dapat klik di sini).
Seseorang mensyeringkan pengalamannya berkaitan dengan single
fighter ini. Dulu ia suka mengkritik sikap pimpinannya yang single
fighter. Sekalipun dirinya, sebenarnya adalah pembantu atau rekan tugas,
namun semua tugas selalu ditangani pimpinan sendiri tanpa pernah berkoordinasi
dengan dirinya. Hanya tugas yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh pimpinan
itu, baru dilimpahkan kepada dirinya atau orang lain. Misalnya, ia tidak bisa
melaksanakan tugas pada tempat yang berbeda dengan waktu yang sama atau
berdekatan.
Akan tetapi, sikap kritisnya akan kecenderungan single fighter pimpinannya
ini ditanggapi negatif oleh orang lain. Ada orang mengatakan kalau dirinya
ambisius; ada pula yang bilang jika ambisinya tak tercapai sehingga timbul
sikap iri. Yang lain menilai dia cemburu karena tidak bisa seperti sang boss.
Dan masih ada banyak pendapat lain berkaitan dengan sikap kritisnya atas
kecenderungan single fighter bossnya. Semuanya bernada
negatif.
Benarkan ia cemburu? Iri hatikah dia? Atau apa yang mendasarinya mengkritik
kecenderungan single fighter pimpinannya?
UMAT. Cuma satu kata saja. Pengalaman membuktikan bahwa kecenderungan single
fighter sang pimpinan membawa korban, yaitu umat. Banyak pelayanan
pastoral untuk umat jadi terbengkelai. Karena begitu banyaknya yang mau
dikerjakan, sementara ia tidak mau berbagi peran dan tugas, membuat ada banyak
tugas yang terlupakan. Dan ujung-ujungnya umat yang menanggungnya.
Sebagai contoh, soal pembagian jadwal misa. Masalah ini pun, yang sebenarnya bisa dilimpahkan kepada rekan kerjanya, tetap berada di bawah kendalinya. Namun karena kesibukan lainnya, terkadang, bahkan sering, jadwal ini terbengkelai. Akhirnya, ada beberapa kelompok yang luput dari pelayanan misa. Pertanyaan: kenapa urusan ini tidak mau dilimpahkan kepada rekan yang lain? Apakah takut tidak mendapatkan jatah misa di “tempat yang basah”?