Senin, 30 Desember 2013

Menguak Praktek Korupsi di Gereja

BAGAIMANA UANG PAROKI DIKORUPSI?

Korupsi sudah merajalela merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia menjadi budaya, yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Ketika masalah korupsi Al-Quran muncul, seakan tak ada lagi bagian hidup manusia yang luput dari korupsi. Agama yang mengurus moral dan akhlak manusia pun sudah dirasuki budaya korupsi. Kesucian agama telah hancur karena korupsi.

Bagaimana dengan Gereja? Apakah Gereja sebagai lembaga suci bebas dari korupsi? Apakah budaya korupsi sudah merasuki para pejabat Gereja, seperti uskup dan imam? Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa itu mustahil, karena uskup dan imam sudah mengikrarkan janji kemiskinan yang menjauhkan mereka dari kemewahan harta kekayaan. Janji kemiskinan membuat mereka dapat melawan godaan korupsi.

Bukan maksud saya untuk menuduh, tapi saya berangkat dari asumsi dasar bahwa uskup dan imam itu adalah manusia; dan setiap manusia rentan terhadap godaan uang. Dari asumsi ini dapatlah disimpulkan bahwa korupsi bisa juga dilakukan oleh para pejabat Gereja itu. Artinya, budaya korupsi dapat juga merasuki Gereja.

Bagaimana praktek korupsi dilakukan di Gereja? Inilah yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, Gereja yang dimaksud adalah paroki, dan saya, sebagai pastor paroki, adalah pelakunya. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana saya mengorupsi uang paroki?

Yang pertama sekali saya lakukan adalah membuat sistem keuangan tertutup dan tunggal. Artinya, keuangan paroki hanya diatur dan diketahui oleh saya. Bendahara paroki hanya membuatkan pembukuaannya. Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan pastor pembantu pun tidak tahu. Mereka baru diberitahu pada laporan akhir tahun dalam rapat DPP pleno. Tentulah mereka tidak akan mengetahui secara detail data-data keuangan selama satu tahun, karena yang saya berikan hanyalah laporan rekapitulasinya.

Untuk menguatkan sistem ini saya akan mengatakan kepada umat kutipan Injil, “Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Dengan pernyataan ini umat pun tidak akan berusaha untuk mencari-cari tahu soal keuangan. Selain itu mereka sudah PERCAYA bahwa semua pastor itu BAIK, karena itu tak mungkin pastor akan mencuri uang Gereja.

Dengan sistem ini, saya akan dengan leluasa mengambil uang paroki. Uang kolekte hari Minggu (misa Sabtu sore dan Minggu pagi) sesekali saya catut. Sekalipun diumumkan minggu berikutnya, saya yakin tak ada umat yang tahu kalau uang kolekte sudah dicatut. Misalnya, uang kolekte misa Sabtu sore tercatat Rp 1.525.000. Saya ambil Rp 300.000, sehingga minggu depan diumumkan bahwa kolekte misa Sabtu sore sebesar Rp 1.225.000. Pasti tidak ada umat yang tahu, bahkan petugas penghitung dan pencatat kolekte, karena mereka tidak memiliki pegangan.

Demikian pula dengan kolekte misa harian. Uang kolekte misa harian di kelompok-kelompok saya ambil sekian persen. Umat dan pastor pembantu yang pimpin misa tidak akan tahu, karena setelah misa uang kolekte itu langsung diserahkan kepada saya. Hal yang sama juga dengan iura stole atau stipendium. Yang ini paling enak, karena uangnya ada dalam amplop yang tidak diketahui nominalnya, kecuali oleh saya. Jadi, semakin besar nominalnya, semakin besar juga potongannya.

Selain sumber di atas, saya juga masih memiliki sumber lain. Setiap misa hari Minggu, selalu ada pemasukan dari parkiran. Uang tersebut disetorkan kepada saya. Nah, inipun saya sunat sekian persen. Para juru parkir itu tak akan tahu kalau uang parkir saya catut karena mereka tidak membuat pembukuan. Di samping itu mereka percaya bahwa pastor itu BAIK. Mereka percaya bahwa uang parkir yang mereka serahkan akan digunakan untuk kepentingan pelayanan pastoral. Artinya, mereka percaya uang parkir tidak akan disalahgunakan pastor.

Terkadang juga saya mendapat sumbangan dari para donatur. Malah ada donatur yang agak rutin memberikan sumbangan. Mereka ini umumnya memiliki kepercayaan bahwa setiap pastor itu BAIK, sehingga mereka hanya memberi saja tanpa ada surat tanda terima. Bukankah Injil sudah menasehati “Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.”? Maka terhadap sumbangan ini, saya selalu menyambutnya dengan gembira dan kepada mereka saya akan bersikap ramah. Tentulah, kepada bendahara paroki saya hanya menyampaikan nominal yang sudah saya catut. Misalnya, jika saya terima 15 juta, maka saya sampaikan 10 juta. Hanya saya yang tahu.

Cara kedua adalah dengan mark-up. Saya selalu membuat mark-up biaya, baik biaya belanja barang maupun biaya perjalanan dinas. Kan soal keuangan hanya saya saja yang tahu. Misalnya biaya perjalanan dinas keluar kota. Jika perjalanan dinas ke wilayah A normalnya menghabiskan biaya 150 ribu, maka saya akan mengeluarkan biaya sebesar 350 ribu. Pencatatan di buku kas adalah saat uang dikeluarkan, yaitu 350 ribu. Maka, saya sudah mengambil uang paroki setiap pelayanan ke wilayah A sebesar 200 ribu. Demikian pula nanti kalau yang pergi itu adalah pastor pembantu. Saya akan mengeluarkan biaya perjalanan 350 ribu. Kalau pastor pembantu itu “bodoh” pastilah ia akan mengembalikan sisa uang 200 ribu; dan itu merupakan rezeki buat saya karena di buku kas sudah dicatat uang keluar sebesar 350 ribu. Kalau pastor pembantunya “pintar” sehingga ia menghabiskan semua uang itu, maka dia akan jarang saya tugaskan ke luar kota.

Cara ketiga adalah komisi atau proyek. Di sini saya akan membuat banyak proyek yang darinya saya akan mendapatkan komisi. Misalnya, pembangunan gereja/kapela/pastoran atau renovasi gedung gereja/kapela/pastoran. Saya akan menghubungi kontraktor yang saya kenal. Sekalipun nanti akan diadakan tender, tetap saja kontraktor saya yang menang. Bukankah sebagai pastor kepala paroki saya mempunyai pengaruh yang besar? Dari kemenangan ini pastilah ia akan memberikan kepada saya sejumlah upeti sebagai ungkapan terima kasih. Tentulah ucapan terima kasih ini tak diberikan secara terbuka, melainkan secara sembunyi-sembunyi; hanya dia dan saya yang tahu. Soal kualitas bangunan nantinya baik atau tidak, itu bukan urusan saya. Siapa tahu saya sudah tidak di paroki itu lagi. Jadi, itu urusan pastor pengganti saya.

Jika tidak ada gedung yang dibangun baru atau direnovasi, maka saya akan mengadakan proyek pembinaan umat. Saya akan mengajukan proposal ke dana APP keuskupan, ke DEPAG dan kepada para donatur. Tentulah, semua dana yang masuk itu akan saya curi dengan metode mark-up yang tak akan diketahui siapapun karena sistem keuangan paroki adalah tunggal dan tertutup.

Cara keempat adalah dengan aturan. Waktu masih frater, uang saku dipergunakan untuk keperluan kebutuhan pribadi sehingga tidak ada kesempatan untuk memenuhi keinginan pribadi. Nah, setelah jadi imam, apalagi pastor kepala paroki, saya akan mengubah paradigma itu. Saya mau supaya uang saku atau gaji imam saya digunakan untuk memenuhi keinginan saya, sementara kebutuhan saya dipenuhi dari kas paroki. Maka, saya akan membuat aturan di paroki bahwa kebutuhan-kebutuhan pribadi saya selalu memakai anggaran uang paroki. Tentulah, kebutuhan pribadi itu sudah saya atasnamakan kepentingan umum atau pelayanan. misalnya, pulsa, semua perlengkapan mandi, minyak wangi, perjalanan pribadi, biaya salon, cemilan, pakaian, dll. Semuanya dari kas paroki, sehingga gaji saya tetap utuh dan bisa saya pergunakan untuk memenuhi keinginan saya.

Demikianlah empat cara saya mencuri uang paroki. Intinya adalah ketidaktransparanan laporan keuangan. Laporan keuangan yang tidak transparan membuat saya leluasa mengambil uang paroki demi kepentingan pribadi saya. Karena itu, saya sangat gelisah jika ada umat atau siapapun yang menuntut transparansi keuangan paroki. Untungnya, umat sudah saya cekoki dengan ajaran Injil di atas. Dan kebetulan nasehat Injil itu berasal dari Yesus sendiri. Tak mungkinlah mereka akan melawan nasehat Yesus.

Selain itu saya juga diuntungkan dengan tidak adanya KPK di lingkungan Gereja, sehingga tindakan korupsi dan pencucian uang yang saya lakukan tidak akan pernah diungkit. Apalagi selama ini semua kasus korupsi dalam lingkungan Gereja selalu ditutup-tutupi karena Gereja malu aibnya diketahui orang lain.
Moro, 14 Juli 2013
by: adrian