Sabtu, 07 Februari 2015

Diakon Yudas

Dalam bilik kamar 26 Rumah Retret Puri Samadhi, diakon Yudas duduk resah dan gelisah (kayak lagu Obie Mesakh, aja!). Bukan lantaran cuaca siang itu yang membuatnya demikian, melainkan keputusan yang mau diambilnya. Yah, hari ini merupakan hari terakhir retretnya bersama empat rekannya: diakon Alex, diakon Beni, diakon Budi dan diakon Heru. Retret menjelang tahbisan. Mereka dihadapkan pada pilihan: maju atau mundur.

Kertas di depannya masih terlihat bersih. Satu kertas untuk membuat surat lamaran, jika ingin lanjut menjadi imam atau surat pernyataan mundur, jika tak siap menerima tahbisan imamat. Kertas yang lain untuk menulis refleksi panggilan sebagai lampirannya. Belum ada satu rangkaian kata atau kalimat yang mengotori kertas-kertas itu.

Diakon Yudas merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Dua kakinya berselonjor ke depan. Matanya menerawang langit-langit kamar, mencari-cari jawaban di sana. Hembusan angin yang masuk lewat jendela kamar sedikit mengusir udara panas. Agak terasa sejuk. Tapi hati dan pikirannya terus berkecamuk dengan pilihan itu.

Diambilnya buku catatan yang berisi bahan retret yang diberikan romo vikjen. Bahan itu sebagian besar diambil dari dekrit Presbyterorum Ordinis, salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang memang berbicara soal imam. Dia membaca mulai dari pertemuan pertama hingga pertemuan enam di hari ketiga kemarin. Hasil refleksi atas tiap pertemuan tak luput dari perhatiannya.

Namun semua itu tak mampu mengusir kegalauannya yang membuntukan hati dan pikiran akan jawaban atau keputusan. Akar kegalauannya ada pada tiga nasehat Injil yang harus dihidupi setiap imam: miskin, taat dan selibat.

Sebenarnya yang dibingungkan diakon Yudas bukan soal bagaimana cara menghayati tiga nasehat Injil itu, melainkan nasehat mana yang bisa dikompromi.

Lho, koq bisa begitu?

Entah kebetulan atau tidak, hal ini berkaitan dengan nama yang diberikan kepadanya. Yudas Elang Putra Bungsu adalah nama lengkapnya. Dia tidak tahu Yudas dalam namanya itu mengacu pada Yudas Tadeus atau Yudas Iskariot. Dia pun baru sadar ketika tahun pertama di seminari menengah, seorang guru menanyakan hal itu. Dia tidak bisa memberikan kepastian karena bapak dan ibunya sudah tiada.

“Paman pun tidak tahu,” jelas pamannya, yang merangkap sebagai orang tuanya sejak ia dan kakaknya berstatus yatim piatu, di suatu sore. “Yang baptis kamu itu..,  diakoonn..., waduh, sudah lupa namanya. Dengar-dengar sudah keluar dia. Entahlah di mana dia sekarang.”

“Aku tak peduli siapa yang baptis, tapi Yudas itu si Tadeuskah atau Iskariot? Kalau Tadeus, kenapa dari dulu tidak langsung dipasang saja.”

“Manalah paman tahu. Paman cuma bisa jelaskan soal Elang. Itupun karena paman yang usulkan. Paman dan juga keluarga yang lain berharap kamu kelak seperti burung Elang, yang cepat melihat dan menangkap mangsa. Ada peluang sikat. Ada kesempatan sergap. Dalam dunia bisnis orang seperti ini akan cepat kaya. Itulah yang kami harapkan darimu. Eh, malah kamu masuk seminari ingin jadi imam.”

Orang Kudus 7 Februari: St. Geovanni Triora

SANTO GIOVANNI TRIORA, MARTIR
Fransiskus Maria Lantrua lahir pada 15 Maret 1760 di Triora, Liguria, Italia. Ia adalah putera dari Antonio Maria Lantrua dan Maria Pasqua Ferraironi. Ia memperoleh pendidikan di Porto Mauritio, dan sangat mengagumi Santo Leonardus dari Porto Mauritio. Pada tahun 1777, Fransiskus memutuskan untuk bergabung dengan Ordo Fransiskan dan diterima oleh provinsial di Roma. Ia menerima jubah dan mengganti namanya menjadi Giovanni.

Setelah menyelesaikan pendidikan filsafat dan teologinya, ia ditahbiskan dan bertugas mengajar filsafat di Tivoli, kemudian mengajar teologi di Tarquinia, dan terakhir menjadi pimpinan di biara di Tarquinia, Valletri dan Montecelio.

Renungan Hari Sabtu Biasa IV - Thn I

Renungan Hari Sabtu Biasa IV, Thn B/I
Bac I    Ibr 13: 15 – 17, 20 – 21; Injil          Mrk 6: 30 – 34;

Beberapa hari yang lalu Injil mengisahkan Yesus mengutus keduabelas murid-Nya pergi berdua-dua. Hari ini Injil menampilkan kisah kembalinya para murid itu dari tugas perutusan mereka. Dikatakan bahwa Tuhan Yesus mengajak mereka untuk pergi ke tempat yang sunyi agar bisa beristirahat. Ke tempat sunyi di sini tidak hanya bertujuan untuk istirahat, tetapi juga berdoa. Akan tetapi, ketika mereka tiba di daerah seberang, mereka melihat orang banyak seperti domba yang tidak bergembala. Melihat hal itu tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan sehingga Ia mulai berkarya lagi.

Semangat Tuhan Yesus inilah yang direfleksikan penulis Surat kepada Orang Ibrani, yang menjadi bacaan pertama hari ini. Dalam suratnya, penulis mengajak jemaat untuk senantiasa menghaturkan syukur dan memuliakan Allah. Apapun yang telah kita lakukan persembahkanlah itu sebagai ungkapan syukur dan demi kemuliaan Allah. Di samping itu, penulis juga meminta umat untuk tidak lupa berbuat baik kepada sesama. Sekalipun umat punya keinginan-keinginan pribadi, janganlah keinginan itu menghalangi untuk berbuat baik kepada orang lain.

Tak jarang prestasi yang kita raih membuat kita lupa untuk bersyukur kepada Tuhan. Kita lebih suka melihat prestasi itu sebagai sebuah prestise pribadi. Dan tak jarang pula prestasi itu membuat kita lebih fokus pada diri sendiri dan melupakan orang lain. Sabda Tuhan hari ini membuka mata hati kita bahwa prestasi kita tak lepas dari Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa menghaturkan syukur atas prestasi itu; dan hendaknya pula prestasi ini berguna bagi kita untuk tetap membantu orang lain. Tuhan tidak menghendaki prestasi kita hanya demi prestise diri semata. Tuhan Yesus dan para murid-Nya sudah memberi teladan akan hal itu. Semoga kita dapat mengikutinya.

by: adrian