Senin, 28 Mei 2018

BELAJAR DARI KELUARGA KUDUS – 2


Minggu lalu kita sudah melihat 3 teladan dari keluarga kudus untuk keluarga-keluarga katolik. Ketiga teladan itu adalah kesediaan untuk mendengarkan, perhatian serta menjaga dan melindungi. Sekarang kita akan melihat teladan lainnya.
Dalam Lukas 2: 22 – 40 terdapat begitu banyak teladan dari keluarga kudus. Menghantar anak kepada Allah. Yosef dan Maria bersama-sama membawa Yesus yang masih bayi ke Bait Allah. Mereka tidak pergi sendiri-sendiri, tapi bersama. Di sini terungkap juga teladan lain, yaitu taat pada perintah Tuhan; mempersembahkan Yesus sesuai perintah Allah. Pada ayat 40 tersirat teladan Yosef dan Maria terhadap Yesus, yakni mendidik, merawat dan menjaga. Teladan inilah yang membuat Yesus “bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.”
Ada bersama. Sikap ada bersama sepertinya begitu mewarnai kehidupan keluarga kudus. Yosef selalu berada bersama Maria sejak hamil. Ketika menghadapi ancaman, Yosef juga ada bersama keluarganya. Saat Yesus tidak ada bersama waktu pulang dari Bait Allah, Yosef ada bersama Maria mencari anak mereka. Mereka tidak saling lempar kesalahan. Bahkan, ketika Yesus memanggul salib ke Golgota dan kala tergantung di salib, Maria ada bersama Dia (Yosef sudah meninggal terlebih dahulu).
Berserah diri. Keluarga kudus adalah keluarga yang penuh bersyukur. Apapun yang terjadi, mereka berserah diri kepada kehendak Allah. Sikap ini terungkap dalam spiritualitas Maria, “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu”. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sikap ini juga tampak dalam diri Yesus (Mrk 14: 36).
Demikianlah beberapa teladan keluarga kudus yang dapat diterapkan dalam keluarga-keluarga katolik. Masih ada banyak teladan keluarga kudus, yang ada dalam Kitab Suci. Dengan membaca Injil, umat dapat menemukan teladan lainnya.
by: adrian

Jumat, 25 Mei 2018

MUNGKINKAH TERORISME DIBASMI SAMPAI KE AKAR-AKARNYA?

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Sedangkan Wikipedia mengartikan terorisme sebagai serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, terorisme tidak tunduk pada tata aturan perang.
Untuk saat ini, terorisme selalu dikaitkan dengan perjuangan dengan kekerasan untuk mencapai cita-cita yang didasarkan pada ajaran agama. Sepertinya hanya agama islam selalu dikaitkan dengan tindakan terorisme, bukan cuma karena semua pelaku teror beragama islam tetapi juga karena ajaran agamanya. Para pelaku teror ini mendasarkan tindakannya pada ajaran agama.
Tentulah semua negara tidak menghendaki adanya teroris di negaranya. Bangsa Indonesia, ketika dilanda badai teroris, berusaha untuk melawan terorisme. Ada tekad untuk memberantas terorisme ini hingga ke akar-akarnya. Dengan kata lain, terorisme akan ditumpas hingga tuntas. Perlu diketahui bahwa terorisme yang kini melanda Indonesia adalah terorisme yang mengatas-namakan agama, yaitu agama islam. Jadi, bila dikatakan terorisme, maka selalu merujuk pada islam radikal.
Menjadi pertanyaan, mungkinkah terorisme ditumpas sampai ke akar-akarnya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi sumber ideologi terorisme tersebut. Dalam islam aksi terorisme dapat dipahami atau sedikit disamakan dengan konsep jihad. Memang konsep jihad ini akan berbeda-beda pemahamannya antara islam moderat dan islam radikal. Kita tak perlu masuk dalam perdebatan ini. Yang penting kita tahu bahwa ada kecocokan antara jihad dan terorisme, dalam kacamata islam radikal.
Nah, dari mana sumber ajaran jihad yang bisa dijadikan ideologi terorisme itu? Jawabannya singkat: Al-Qur’an. Dalam Kitab suci umat islam ini terdapat ajaran bagi umat islam untuk melaksanakan jihad. Berikut ini beberapa surah jihad atau dikenal juga sebagai ayat-ayat pedang, yang selalu dijadikan dasar aksi terorisme (kutipan al-qur’an diambil dari dudung net).

Di Suatu Senja di Simpang Perlang - Koba

Rabu, 23 Mei 2018

Tanya - Jawab Modul IV Pertemuan Jambore OMK Koba

OMK Koba, dibantu para Tim Pendamping OMK, mengadakan jambore OMK di Lingku pada 16 – 18 Maret 2018. Karena konsep jambore lebih pada have fun, maka pendalaman materi dilakukan pada pra-jambore. Di sini para peserta akan dibagi ke dalam kelompok kecil ( 5 – 7 orang) untuk mendalami modul yang telah disiapkan. Ada empat modul dengan empat pertemuan. Modul keempat bertema, “Aku Kristen, Aku Katolik; Kenapa Konflik”. Pada setiap pertemuan modul ada kesempatan diberikan kepada peserta untuk bertanya, malah pertanyaan itu berhadiah. Tekanan utama pada kesempatan ini ada pada pertanyaannya, bukan pada jawaban, karena sasarannya adalah timbulnya daya kritis peserta. Berikut ini tanya jawab modul pertemuan keempat (untuk pertemuan ketiga silahkan baca di sini).

T
Apa arti Gereja sesungguhnya?
J
Ada banyak arti dari “Gereja” itu. Gereja bisa diartikan dengan gedung atau rumah Tuhan, tempat beribadah. Gereja juga dapat diartikan sebagai lembaga rohani yang menyalurkan kebutuhan spiritual umatnya. Gereja adalah juga kumpulan umat pilihan yang dikhususkan Allah untuk diselamatkan.
Kitab Suci melihat Gereja sebagai umat atau jemaat Allah; Tubuh Kristus dan Bait Roh Kudus. Lebih jauh soal ini, silahkan baca di “Pengertian Gereja dalam Kitab Suci”. Baca juga "Arti dan makna Gereja".
T
Kenapa masih ada konflik antar umat dlm satu Gereja?
J
Akarnya adalah tidak ada kasih. Dengan kata lain, umat tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Yesus. Karena, jika perintah kasih diwujud-nyatakan, maka bisa dipastikan tidak ada konflik. Sebab, jika ada perselisihan, kasih mengajak kita untuk saling mengampuni, bersikap lemah lembut, dll.
Menurut Rasul Paulus, konflik yang terjadi pada umat mau menunjukkan bahwa umat masih sebagai manusia duniawi (1Kor 3: 3). Paulus mau supaya umat tampil sebagai manusia rohani. Karena itu, Paulus pernah berkata, “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, .... jangan dalam perselisihan dan iri hati.” (Rom 13: 13)
T
Bagaimana cara kita bisa menyakinkan diri sendiri agar iman kita bisa tumbuh?
J
Salah satu sikap iman adalah sikap berserah. Melihat semua peristiwa yang terjadi dalam hidup, entah sesuai atau tidak, dalam kacamata iman dengan menyerahkannya kepada kehendak Allah. Sikap ini sangat bagus dicontohkan oleh Bunda Maria dan Tuhan Yesus. Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu
T
Dengan apa iman itu dapat dibentuk?

Senin, 21 Mei 2018

BELAJAR DARI KELUARGA KUDUS – 1

Keluarga kudus itu adalah Yosef, Maria dan Yesus. Mereka ini dijadikan contoh keluarga ideal. Orang katolik yang menikah diajak untuk membangun rumah tangga dengan semangat yang dimiliki oleh keluarga kudus. Apa saja yang harus diikuti?
Kesediaan untuk mendengarkan. Matius 1: 18 – 24 menampilkan teladan Yosef yang mau mendengarkan suara Tuhan. Yosef tidak mengikuti egonya. Sikap ini juga tampak dalam diri Yesus (Lukas 2: 41 – 52). Sikap mau menang sendiri sering menjadi akar konflik rumah tangga. Sebagai pemimpin rumah tangga, seorang suami biasanya lebih suka didengarkan, dan tak mau mendengarkan. Karena itu, tak salah jika para suami mau bersikap seperti Yosef, untuk mau juga mendengarkan suara dari luar dirinya. Dengan kesediaan untuk mendengarkan, konflik tidak akan terjadi.
Perhatian. Lukas 2: 41 – 51 menampilkan sikap perhatian Yosef dan Maria kepada Yesus, anak mereka. Mereka begitu peduli, dan kepedulian itu mereka wujud nyatakan. Mereka tahu Yesus tidak ada, dan langsung mencarinya. Mereka tidak membiarkan Yesus tumbuh berkembang begitu saja.
Menjaga dan melindungi. Matius 2: 13 – 15 dan 19 – 23 menampilkan teladan Yosef yang setia menjaga dan melindungi keluarganya dari kejahatan. Dia tidak mau membiarkan keluarga, khususnya putranya, mendapat celaka. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh buruk di luar rumah tangga yang berusaha menghancurkan keluarga. Pengaruh buruk itulah yang harus dihindari, dan ini menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua.
Demikianlah beberapa teladan keluarga kudus yang dapat diterapkan dalam keluarga-keluarga katolik.
by: adrian

Jumat, 18 Mei 2018

FENOMENA TERORIS SATU KELUARGA: INI MOTIVASI PARA TERORIS

Sejak kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, 9 Mei lalu, sejumlah aksi terorisme terjadi secara simultan. Hari Minggu, 12 Mei ada aksi teroris di Cianjur, di tiga lokasi gereja di Surabaya, dan di Sidoarjo. Keesokan harinya Surabanya kembali diguncang aksi teror. Kali ini terjadi si Malpotabes Surabaya. Hingga sehari menjelang Bulan Suci Ramadhan, masih terjadi beberapa aksi teror di daratan Sumatera.
Indonesia memang sudah tak asing dengan aksi teror. Namun aksi teror di Surabaya memunculkan satu fenomena baru dalam aksi terorisme Indonesia, yaitu munculnya satu keluarga inti sebagai pelaku terorisme. Selama ini para teroris itu adalah personal yang tidak terkait dalam ikatan keluarga utuh. Peristiwa bom Bali memang menampilkan dua tokoh kakak beradik sebagai pelaku teror, namun itu tidak utuh seperti yang terjadi di Surabaya. Kejadian terorisme di Surabaya dan Sidoarjo menampilkan keluarga utuh: ayah, ibu dan anak-anak.
Munculnya pelaku teror dari satu keluarga utuh ini membuat orang kembali mempertanyakan apa alasan atau motivasi orang mau terlibat dalam terorisme. Selama ini banyak orang menilai bahwa mereka yang terlibat dalam terorisme, bahkan hingga menjadi pelaku bom bunuh diri, hanya bertujuan ekonomi. Dengan ikut dalam aksi teror, mereka akan mendapat uang. Seandainya pun mereka mati dalam aksi bom bunuh diri, keluarga yang ditinggalkan akan mendapat santunan. Artinya, masih ada yang menikmati keuntungan ekonomi tersebut. Karena itu, orang mengatakan bahwa para pelaku terorisme itu umumnya berasal dari latar belakang keluarga ekonomi kurang mampu.
Akan tetapi, alasan ekonomi tersebut di atas tidak dapat diterapkan pada pelaku teror yang berasal dari satu keluarga utuh. Misalnya seperti yang terjadi di Surabaya, pada aksi teror di tiga lokasi gereja dan di Malporestabes. Jika demi alasan ekonomi, apa yang didapat para pelaku bila semuanya (satu keluarga) meninggal akibat aksi bom bunuh diri. Sama sekali mereka tidak mendapat sedikit pun keuntungan ekonomi, karena ayah, ibu dan semua anaknya meninggal dunia.
Karena itu, apa yang menggerakkan orang untuk terlibat dalam aksi terorisme?

Foto Pertemuan dengan OMK Air Semut & Kamp. Baru

Senin, 14 Mei 2018

TERORISME: DARI #KAMI TIDAK TAKUT KE #KAMI SUDAH MUAK

Dalam waktu 1 minggu bangsa Indonesia diguncang teror oleh para pelaku terorisme, yang terkait dengan Negara Islam Irak Suriah atau biasa disebut ISIS. Teror pertama terjadi di rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, pada Rabu, 9 Mei, menewaskan 4 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris. Selang sehari terjadi lagi di lokasi yang sama, yang menewaskan 1 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris. Sebuah ironisme bahwa kejadian, yang melenan lebih banyak anggota polisi ini, justru terjadi di markas kepolisian yang memiliki kemampuan tempur.
Pada hari Minggu, 13 Mei, terjadi aksi terorisme di tiga kejadian. Pada sekitar pukul 02.00 dini hari, tim Densus 88 berhasil mencegat sekelompok teroris di Cianjur. Anggota teroris ini berhasil dilumpuhkan. Pada pagi hari, di saat umat kristiani hendak beribadah, aksi teroris terjadi di 3 lokasi berbeda di Surabaya, yaitu Gereja St. Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia dan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya. Aksi teror bom bunuh diri ini, yang dilakukan oleh 1 keluarga (ayah, ibu dan 4 anak), menewaskan lebih dari 10 orang, termasuk para teroris. Dan sekitar pukul 22.00 ada aksi teroris di daerah Sidoarjo, yang sekali lagi dilakukan oleh sebuah keluarga, namun aksi ini terbilang gagal karena bom keburu meledak.
Jika kita fokus pada aksi terorisme pada hari Minggu ini, terlihat pola gunung. Aksi terorisme di Cianjur dan Sidoarjo merupakan kaki Gunung Teror Minggu, karena kedua aksi ini merupakan aksi yang gagal. Sementara aksi terorisme di tiga gereja merupakan puncak Gunung Teror Minggu. Karena itu, di beberapa akun media sosial jaringan teroris juga di media sosial lainnya, aksi tersebut dipuji-puji.
Menghadapi aksi terorisme, mulai tanggal 9 Mei hingga 13 Mei, langsung muncul taggar #kami tidak takut, yang bertebaran di media sosial. Beberapa tokoh nasional, termasuk Bapak Presiden Jokowi, juga mengeluarkan seruan “Kami tidak takut”. Sasaran seruan ini ada dua, yaitu kepada kaum teroris dan juga kepada warga Indonesia. Kepada kaum teroris, seruan ini mau mengatakan kepada mereka bahwa aksi teror yang mereka buat tidak akan menimbulkan efek ketakutan. Ketakutan merupakan salah satu tujuan utama aksi teror, karena orang yang takut akan mudah dikendalikan.

MENGENAL MUSUH EKONOMI KELUARGA

Ketika hendak menikah, pasangan calon suami istri pasti punya cita-cita membangun rumah tangga yang bahagia. Cita-cita itu juga menjadi tujuan perkawinan katolik (kan 1055 §1). Memang kebahagiaan tidak selalu terletak pada kelimpahan materi. Uang bukan segalanya, tapi terkadang segalanya butuh uang. Dengan kata lain, uang bisa menjadi sarana ekonomi penunjang tercapainya cita-cita keluarga bahagia, meski bukan satu-satunya.
Akan tetapi, untuk mencapai cita-cita itu dibutuhkan perjuangan. Ada banyak tantangan dan musuh yang berusaha membawa suami istri menjauh dari kebahagiaan. Beberapa musuh ekonomi keluarga yang perlu dikenali dan dilawan adalah sbb:
1.      Malas. Hampir semua kebutuhan rumah tangga menggunakan uang, dan uang didapat dengan bekerja. Rasul Paulus berkata, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2 Tes 3: 10). Karena itu, harus disingkirkan sifat malas, dan tumbuhkan sifat giat, tekun, ulet dan rajin.
2.      Boros. Boros dipahami sebagai sifat menghamburkan uang tanpa tujuan penting. Sifat ini muncul ketika orang tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan, serta tak bisa membuat skala prioritas dalam hidup keluarga.
3.      Selingkuh. Ketika orang selingkuh, pastilah biaya pengeluaran bertambah. Selain itu, perselingkuhan berdampah pada rusaknya relasi keluarga. Semua ini menjadi faktor yang menjauhkan suami istri dari cita-cita membangun keluarga bahagia.
4.      Judi. Orang berjudi biasanya selalu punya pikiran menang, padahal selalu kalah. Karena itu, uang yang seharusnya bisa dipakai untuk kebutuhan rumah tangga hilang di meja judi.
5.      Iri Hati. Sifat ini biasa mewarnai kehidupan masyarakat. Ketika tetangga sudah punya ini, kita juga ingin punya. Karena itu, membeli sesuatu bukan didasarkan pada kebutuhan, tapi karena tak mau kalah dengan tetangga.
by: adrian

Jumat, 11 Mei 2018

Tanya - Jawab Modul III Pertemuan Jambore OMK Koba

OMK Koba mengadakan jambore OMK di Bangkanesia, Lingku pada 16 – 18 Maret. Sebelum acara jambore tersebut, para peserta mendalami modul pertemuan dalam kelompok kecil. Ada empat pertemuan modul. Tema pertemuan modul ketiga adalah “Aku Kristen, Aku Katolik”. Di sini diajak untuk melihat nilai-nilai kekristenan, yang juga merupakan kekatolikan. Setiap pertemuan ada ruang tanya-jawab. Berikut ini beberapa pertanyaan yang muncul pada pertemuan ketiga (untuk pertemuan kedua silahkan baca di sini). Inti dari acara ini bukan pada jawaban, tetapi pada pertanyaan, karena yang mau disasar adalah daya kritis peserta.

T
Apakah menjadi katolik cukup dengan cinta kasih
J
Jika protestan hanya mengandalkan iman (yang didasarkan pada Surat Roma), katolik melengkapinya dengan perbuatan. Ini didasarkan pada Surat Yakobus 5, “Iman tanpa perbuatan adalah mati.” Cinta kasih merupakan wujud perbuatan sebagai tanggapan iman. Bila kita hanya cukup dengan cinta kasih saja, kita tak jauh beda dengan kaum humanis-ateis.
T
Apakah kasih sama dengan cinta kelembutan hati?
J
Tentu saja tidak sama, karena kasih itu lebih luas dari kelembutan hati. Kelembutan hati merupakan satu bentuk dari kasih, sementara kasih tidak bisa hanya dibatasi pada kelembutan hati.
T
Bagaimana cara mengubah sikap seseorang yang selalu tanpa cinta karena tekanan psikologis sejak kecil?
J
Pertama-tama harus didekati dengan kasih. Dibutuhkan kesabaran, karena mengubah orang seperti ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan proses yang bisa sangat panjang. Selain itu, harus juga disertai dengan doa. Biarkanlah Roh Kudus melembutkan hatinya, sehingga benih kasih dapat bersemayam dan tumbuh.
T
Kenapa Bunda Teresa rela mengabdikan diri untuk melayani anak-anak kelaparan?

Senin, 07 Mei 2018

PERCERAIAN VS PEMBATALAN

Bapak A menikah dengan B di Gereja St. Fransiskus. Pastor X yang memberkati pernikahannya. Setelah 7 tahun hidup bersama, A dan B berpisah. Beberapa tahun kemudian bapak A menikah lagi dengan C di Gereja St. Fransiskus, diberkati oleh pastor Y. Apakah Gereja Katolik mengenal perceraian?
Hingga kini Gereja katolik tidak mengakui adanya perceraian. Pernikahan dalam Gereja Katolik adalah monogami dan tak terceraikan. Ini merupakan kehendak Allah. Karena itu, Gereja tak punya kuasa untuk mengubahnya. Yang terjadi pada contoh di atas bukan perceraian, tetapi pembatalan. Perceraian adalah pemisahan hubungan pernikahan yang sah, sedangkan pembatalan pemisahan hubungan pernikahan yang tidak sah. Jika suatu pernikahan itu sah, maka Gereja tidak punya wewenang untuk memutuskannya. Berbeda jika pernikahan itu tidak sah sejak awal, maka demi hukum pernikahan tersebut dinyatakan batal. Artinya, tidak pernah ada pernikahan meski ada upacara pemberkatan.
Sekedar perbandingan, mari kita lihat kasus Lance Amstrong, pembalap sepeda, yang 7 kali menjuarai tour de France (1999 – 2005). Lance memiliki piagam, medali dan foto-foto saat berdiri di podium nomor 1. Berita tentangnya juga banyak ditemukan di media massa. Namun, sekitar tahun 2011 Amstrong mengaku telah menggunakan doping. Dan setelah terbukti, maka pada tahun 2012 Persatuan Balap Sepeda Internasional mencabut 7 gelar juara tour de France. Artinya, pada tahun 1999 – 2005 Lance Amstrong tidak pernah menjuarai tour de France.
Demikian pula dalam pernikahan katolik. Karena sejak awal pernikahan itu tidak sah, maka pernikahan itu dibatalkan demi hukum. Dengan pembatalan ini orang kembali menyandang status liber, sehingga bisa menikah lagi. Wewenang pembatalan ini ada pada dewan tribunal keuskupan.
by: adrian

SUATU SENJA DI SIMPANG PERLANG - KOBA

Rabu, 02 Mei 2018

Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018: Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian

Saudara dan saudari yang terkasih,
Komunikasi adalah bagian dari rencana Allah bagi kita dan jalan utama untuk menjalin persahabatan. Sebagai manusia kita diciptakan seturut gambar dan rupa Sang Pencipta, dan karenanya kita bisa mengungkapkan dan membagi hal-hal yang benar, baik dan indah. Kita mampu melukiskan pengalaman-pengalaman kita sendiri serta tentang dunia sekitar kita, dengan demikian menciptakan kenangan sejarah dan pengertian tentang pelbagai peristiwa. Namun, apabila kita begitu saja menuruti hasrat pribadi serta kebanggaan pada diri, maka kita dapat merusak cara kita memanfaatkan kemampuan berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat sejak awal sejarah, dalam dua kisah alkitabiah tentang Kain dan Habel serta Menara Babel (bdk. Kej 4: 4 – 16; 11: 1 – 9). Kemampuan untuk memelintir kebenaran merupakan fenomena yang melekat pada kemanusiaan kita, baik pribadi maupun masyarakat. Sebaliknya, manakala kita setia pada rencana Allah, maka komunikasi akan menjadi sarana efektif bagi pencarian kebenaran dan kebaikan secara bertanggung jawab.
Saat ini, dalam dunia komunikasi serta sistem digital yang sedemikian cepat berubah, kita menyaksikan penyebaran dari apa yang dikenal sebagai “berita palsu” (fake news). Kenyataan ini mengundang kita berefleksi, dan itulah sebabnya saya memutuskan untuk kembali mengangkat pokok tentang kebenaran dari Pesan Hari Komunikasi Sedunia para pendahulu saya, sejak Paus Paulus VI. Pada tahun 1972 Paus Paulus VI mengangkat tema “Komunikasi Sosial demi Melayani Kebenaran”. Maksud saya adalah memberikan dukungan pada komitmen kita bersama untuk membendung penyebaran berita palsu serta mengangkat keluhuran martabat jurnalisme dan tanggung jawab pribadi para jurnalis untuk menyampaikan kebenaran.
1.    Apa yang “Palsu” tentang Berita Palsu?
Wacana “berita palsu” telah menjadi objek diskusi dan debat yang sengit. Umumnya berita palsu mengacu pada penyebaran informasi sesat secara daring (on line) atau melalui media tradisional. Berita palsu terkait dengan informasi palsu tanpa berdasarkan data atau memutar-balik data dengan tujuan menipu dan mencurangi baik pembaca maupun pemirsa atau pendengar. Penyebaran berita palsu dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, mempengaruhi keputusan-keputusan politik, dan melayani kepentingan-kepentingan ekonomi.

ORANG KUDUS BULAN MEI