Kamis, 28 Februari 2013

Jangan Percaya Politik

Setelah ditetapkan sebagai tersangka (Jumat, 22 Februari), ada begitu banyak tokoh datang melawat Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, di rumah kediamannya. Ada tokoh dari partai lain, ada dari tokoh HMI, seperti Akbar Tanjung, dan ada juga Mahfud MD, yang datang dalam kapasitas beliau sebagai pengurus KAHMI. Tujuan kedatangan mereka hanya satu: memberi dukungan moral kepada Anas. Soal dukungan ini, datang juga dari KAHMI yang akan menyiapkan pengacara untuk membela Anas.

Di balik semua aksi itu, masyarakat awam tidak hanya melihatnya sebagai dukungan moral tetapi pencitraan bahwa masalah penetapan Anas sebagai tersangka adalah rekayasa politik. Dari sini masyarakat digiring pada suatu kesimpulan bahwa Anas itu benar, baik dan hanya menjadi korban politik. Benarkah Anas baik?

Dari pernyataan Anas dalam konfrensi pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Sabtu, 23 Februari, ditambah dengan keterangan mantan Wakil Direktur Eksekutif DPP Partai Demokrat, Muhammad Rahmad, Minggu 24 Februari (KOMPAS, 25 Februari), saya cuma dapat mengatakan bahwa Anas itu ternyata JAHAT. Kata ‘jahat’ di sini bukan dalam arti kriminal, melainkan lebih pada makna moral.

Mengapa saya katakan Anas itu jahat? Bukankah dia bertekad untuk berdiri di barisan terdepan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi (KOMPAS, 25 Februari)?

Jika kita menyimak pernyataan Anas saat konferensi pers di kantor DPP Partai Demokrat dan ditunjang pernyataan Muhammad Rahmad, saya mengambil kesimpulan bahwa tekad Anas untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi merupakan aksi balas dendam atas penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi. Tekad Anas tersebut hanyalah merupakan kamuflase atas ketersangkaan dirinya. Tidak ada niat murni dalam dirinya untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi.

Apabila memang benar tekad tersebut adalah murni, sudah dari dulu Anas akan membongkar atau membuka halaman-halaman kasus korupsi. Kenapa setelah ditetapkan sebagai tersangka Anas baru membuka halaman pertama, yang umumnya masih basa-basi? Cerita utama biasanya ada pada halaman-halaman berikutnya. Dan kalau Anas sudah membuka dari dulu, maka sekarang kita sudah membaca cerita utamanya. Karena itu, tekad Anas hanyalah bohong belaka. Anas hanya mau pencitraan.

Simak juga pernyataan Muhammad Rahmad. Menurut Rahmad, Anas punya data terkait penyelewengan sejumlah kasus, termasuk dana talangan Rp. 6,7 Triliun untuk Bank Century. Semenjak menjadi ketua umum, Anas sudah berupaya memberantas praktik jual-beli surat keputusan partai dan sebagainya. “Karena itu, menurut hemat saya, saat ini adalah saat yang tepat bagi Anas untuk melakukan pemberantasan korupsi dalam skala lebih besar,” ujar Rahmad.

Dari sini terlihat jelas bahwa perjuangan untuk membongkar kasus korupsi skala besar dimotivasi untuk balas dendam dan untuk kepentingan pribadi; bukannya demi penegakan hukum serta demi kebaikan umum. Jika memang demi hukum dan demi rakyat, maka sudah seharusnya sejak dulu Anas membongkar kasus korupsi skala besar yang dia tahu, tanpa harus menunggu status tersangka dirinya.

Dari alasan-alasan inilah saya menilai Anas itu JAHAT. Sekali lagi kata ‘jahat’ di sini dalam pengertian moral, bukan kriminal. Tanpa harus menunggu pembuktian akhir atau vonis hukum, Anas adalah jahat. Kehadirannya dalam dunia politik tidak murni untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Karena itu, masalah ini menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar jangan mudah terkecoh dengan penampilan kalem seseorang. Sekalipun latar belakangnya HMI, tidak lantas berarti dia menjadi baik. Dari buahnyalah kita bisa menilai pohon itu baik atau tidak, bukan dari petaninya atau dari tanahnya. Karena ada juga tanah subur dan petaninya ahli, tapi pohon itu tidak menghasilkan buah yang baik.

Masalah ini juga menjadi bahan pelajaran bagi masyarakat untuk menyikapi suatu partai politik. Bisa saja suatu partai menyatakan dirinya partai yang bersih dan anti korupsi, tapi tidak berani memberantas korupsi di tubuhnya sendiri. Terhadap kasus Anas ini, biarkanlah KPK bekerja dan memutuskannya.
Kita hanya penonton.  Dan penonton yang baik adalah penonton yang duduk manis sambil menikmati acara, bukan dengan ikut dalam acara. Misalnya melempar pemain dengan botol mineral atau masuk ke arena permainan sehingga mengacaukan acara.

by: adrian

Orang Kudus 28 Februari: St. Antonia

SANTA ANTONIA, ABBAS
Antonia adalah seorang ibu rumah tangga yang saleh. Sepeninggal suaminya, ia memutuskan mengabdikan sisa hidupnya kepada Tuhan dengan menjalani kehidupan sebagai seorang biarawati.

Kemudian dengan bantuan Santo Yohanes Kapistrano, ia mendirikan sebuah biara klaris yang lebih tegas aturannya di Firenze, Italia. Ia sendiri menjadi pemimpin biara itu hingga hari kematiannya pada tahun 1472

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Kamis Prapaskah II-C

Renungan Hari Kamis Prapaskah II, Thn C/I
Bac I : Yer 17: 5 – 10; Injil       : Luk 16: 19 – 31

Sabda Tuhan hari ini mau mengajarkan kepada kita soal membangun sikap bergantung pada Tuhan, atau yang lebih dikenal dengan istilah berserah diri. Dalam bacaan pertama masalah ini dengan tegas diungkapkan Nabi Yeremia, baik dengan kalimat positip maupun kalimat negatif. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (ay. 5) dan "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (ay. 7).

Dalam Injil sikap bergantung pada Allah itu ditampakkan dalam diri si pengemis, Lazarus. Sedangkan orang kata itu menampilkan sikap bergantung pada diri sendiri, pada kekayaan dan kekuatan sendiri. Apa yang diungkapkan Nabi Yeremia, ditampilkan pada bagian akhir Injil. Lazarus mendapat berkat, kebahagiaan kekal bersama Bapa Abraham, sementara orang kaya itu menderita.

Bukan maksud Tuhan agar kita hidup miskin seperti Lazarus. Yang mau ditekankan sabda Tuhan hari ini adalah sikap berserah diri kepada Tuhan. Dengan sikap ini maka kita menyerahkan seluruh hidup dan diri kita kepada penyelenggaraan ilahi; bukan dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sehingga lupa akan Tuhan.

Semoga dengan sabda Tuhan ini kita semakin disadarkan akan keterbatasan diri kita sehingga mau datang kepada Tuhan.

by: adrian

Rabu, 27 Februari 2013

Menjadi Single Mother

MENJADI SINGLE MOTHER
Sebutan “single mother” menunjuk pada kaum wanita yang mengasuh anak sendirian (tanpa kehadiran/keterlibatan pasangan/suami). Sebutan ini merupakan salah satu sub-kategori dari orang tua tunggal (single parent). Kematian suami, ditinggal suami dalam jangka waktu lama karena tugas/pekerjaan, perceraian, ditinggal suami tanpa kejelasan dalam jangka waktu yang tidak terbatas, ditinggal pergi oleh laki-laki yang menanam benih di rahimnya tanpa ikatan perkawinan, dan (dalam kasus yang lebih khusus) menjadi korban tindak perkosaan; merupakan beberapa kemungkinan yang melatarbelakanginya.

Namun, di mata masyarakat, empat hal yang disebut terakhir (perceraian, ditinggal suami tanpa kejelasan, ditinggal pergi oleh laki-laki tanpa ikatan perkawinan, dan korban tindak perkosaan) yang lebih sering diasosiasikan sebagai penyebab wanita menjadi single mother. Istilah single mother yang semula muncul dan popular di Barat (Amerika) itu, kini juga popular di masyarakat kita. Hanya saja, sebutan single mother di sini memiliki nuansa makna yang lebih spesifik.

Tampaknya perbedaan nuansa makna dari budaya asalnya ini karena sikap budaya masyarakat kita yang suka menyerap dan menciptakan istilah eufemistik untuk menyebut berbagai realitas, peristiwa maupun status sosial tertentu (biasanya yang berkonotasi minor atau dianggap “kurang beruntung”) untuk menunjukkan sejenis sikap sosial yang mencitrakan adanya kepedulian untuk “mengangkat” martabat nasib si subjek yang ditunjuk.

Bila subjek itu adalah pribadi yang sensitif dengan konsep diri yang cenderung negatif, bisa terjadi efek yang sebaliknya: bukannya merasa “diangkat” martabatnya tetapi justru merasa semakin distigma negatif. Merasa distigma negatif oleh masyarakat, barulah satu hal yang sering “membebani” para single mother. Faktual, di antara mereka cukup banyak yang menanggung beban “nyata”, seperti beban pengasuhan anak (harus berperan sebagai ibu sekaligus figur ayah), ekonomi-finansial, moral (terutama pada single mother merasa hidupnya telah “salah jalan”, melanggar ajaran agama, melanggar nilai-nilai moral, dsb), serta beban mental-psikologis (tekanan emosi, kesepian, ketidakberdayaan, dsb). Bila beban-beban tersebut masih ditambah lagi dengan beban sosial, berupa “stigma negatif dari masyarakat” maka bisa terjadi komplikasi berbagai beban yang mungkin berakumulasi menjadi beban batin berkepanjangan.

Namun demikian, tidak sedikit pula wanita single mother yang segera mampu membebaskan diri dari terpaan beban-beban tersebut dan melangkah tegak untuk menjalani dan meneruskan hidupnya. Mereka bukannya tanpa beban, namun karena keberaniannya bersikap realistis, dan tidak mau terjebak dalam sindrom “mengasihani diri” yang berkepanjangan; maka mereka cepat sadar untuk mengambil tanggung jawab atas jalan hidupnya, termasuk hidup sang anak yang sejak semula tumbuh di dalam dan dilahirkan dari rahimnya. Mereka secara personal maupun sosial dapat mencecap kebahagiaan serta kesejahteraan hidup sebagaimana orang-orang lain yang ”lebih beruntung” nasibnya.

Salah satu di antara mereka adalah Ibu L, yang dulu pada usia 24 tahun dalam kondisi mengandung ditinggalkan oleh laki-laki yang dicintainya. Hingga saat ini ia tetap berstatus sebagai single mother, mengasuh anak kandungnya yang berusia 8 tahun sekaligus menanggung hidup adik serta ibu kandungnya. Sehari-hari ia berprofesi sebagai peneliti sosial-budaya di kota S. Berikut pengakuannya:

” ...Saya sangat bersyukur tetap bisa menjalani hidup secara realistis seperti ini. Apa kata orang tentang saya dan keluarga saya, silakan saja. Itu hak mereka. Yang namanya gunjingan orang, itu kan hal biasa dalam pergaulan di masyarakat. Lama-lama kan hilang sendiri. Semua yang telah terjadi, termasuk kelahiran anak kandung saya yang tidak dipedulikan oleh ayah darah-dagingnya sendiri, adalah keniscayaan dalam perjalanan hidup saya.

Saya tidak mau berandai-andai untuk bisa membalik sejarah. Faktanya, anak saya sudah hadir dalam hidup saya. Dia adalah titipan Tuhan, meskipun keberadaannya di rahim saya tanpa pengesahan melalui Sakramen Perkawinan di depan altar suci. Bahwa kekhilafan itu adalah dosa, saya mengakuinya. Semua sudah berlalu.

Sekarang, yang paling prinsip bagi saya adalah harus berani untuk tetap konsekuen dengan mengupayakan hidup berkeluarga sebaik mungkin bagi saya, bagi anak saya, bagi ibu serta adik kandung saya; meski tanpa suami, tanpa figur bapak bagi anak saya. Adik laki-laki saya toh bisa menggantikan peran itu. Saya juga bersyukur diberi kesempatan untuk berbuat kasih yang nyata bagi kelangsungan hidup adik dan ibu kandung saya ... ”

Pengakuan Ibu L tersebut mengingatkan kita pada pernyataan Dr Stephen Duncan, seorang ahli jiwa yang banyak terlibat dalam konseling untuk membantu para orangtua tunggal: ”...keluarga dengan orang tua tunggal bisa menjadi sebuah keluarga yang efektif, sebagaimana keluarga dengan orang tua utuh. Asalkan, mereka tak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya dan dengan sadar membangun kembali kekuatan yang dimilikinya... ‘’

Dengan asumsi bahwa single mother adalah juga single parent, maka siapapun dia yang karena sebab-sebab tertentu lalu menjadi ”single mother” sesungguhnya berhak atas kondisi kehidupan berkeluarga yang bahagia dan sejahtera asalkan mau mengupayakannya secara sadar. Untuk bisa mengupayakan dengan ”sadar”, perlu dipenuhi beberapa prasyarat, yakni:

1. Kesediaan menerima kenyataan hidup. Apa yang telah terjadi hendaknya diterima sebagai keniscayaan, dengan tetap bersikap adil dan “objektif” kepada diri sendiri. Di balik serentetan episode kehidupan yang “gelap”, tentu ada hikmahnya bagi perjalanan hidup ke depan.

2. Keputusan menjadi single mother adalah sungguh karena pilihan bebas. Meskipun semula, menjadi single mother adalah karena keterpaksaan, hendaknya dalam perjalanan waktu secepatnya ditransformasikan menjadi keputusan pribadi yang mantap. Tanpa kemantapan hati yang bersifat internal, maka perasaan sebagai single mother hanya akan melekat sebatas “label” dan yang bersangkutan akan terus didera sindrom “mengasihani diri” secara eksesif yang bisa merugikan kesehatan mental.

3. Keberanian mengambil tanggung-jawab atas keputusannya. Setiap keputusan hendaknya ditindaklanjuti dengan eksekusi tindakan konkret. Sebagai single parent, semua hal yang berkait dengan kelangsungan rumah tangga (aktivitas rutin, pengasuhan anak, perekonomian, dsb) harus direncanakan dan dikelola dengan cara-cara yang paling mungkin untuk dilakukan.

4. Tetap bersosialisasi dan terbuka terhadap kemungkinan munculnya aspirasi baru. Sebagai single mother, aktivitas bersosialisasi sangat penting, kendatipun kadang terkendala oleh prasangka masyarakat yang kurang adil. Dengan bersosialisasi terbuka, berbagai kemungkinan pertumbuhan berkembang sebagai manusia sewajarnya. Termasuk di sini, terbuka kemungkinan untuk melepas status single mother bila kekuatan Semesta menghendakinya.

H.M.E. Widiyatmadi Mpsi
Dari: http://www.hidupkatolik.com/2012/11/09/menjadi-single-mother

Orang Kudus 27 Februari: St. Gabriel Possenti

SANTO GABRIEL POSSENTI, PENGAKU IMAN
Semasa kecilnya Gabriel dipanggil dengan nama Fransiskus, mengikuti nama Fransiskus Asisi, pelindung kotanya. Ia adalah anak bungsu seorang gubernur. Ibunya meninggal dunia ketika ia berumur 4 tahun. Teladan hidup ibunya sangat berpengaruh terutama dalam hal devosi kepada Bunda Maria. Sepeninggal ibunya yang terkasih itu, Bunda Maria menjadi tokoh pengganti yang sungguh dicintainya.

Pada umur 7 tahun, Fransiskus kecil telah diperkenankan untuk menerima Komuni Suci. Di sekolahnya ia dikenal sebagai seorang anak yang pintar, lucu dan suka berpakaian rapi. Ia juga menjadi seorang teman yang baik dan setia bagi kawan-kawannya. Ia selalu siap menolong kawan-kawannya, murah hati dan tidak biasa mengeluh apabila dihukum karena kesalahan teman-temannya. Sebagai siswa di Kolese Serikat Yesus, ia tetap unggul dan terus memegang sebutan ‘sang juara’ dalam kelasnya. Karena pergaulannya yang ramah dan kelincahannya dalam olahraga, ia sangat disukai banyak orang.

Dalam mata pelajaran kesusastraan, ia sangat pandai, terutama dalam sastra Latin. Ia sangat mahir bersyair dalam bahasa Latin. Sebagai seorang penggemar sastra, ia terkenal sebagai seorang pemain drama yang berbakat. Ketika duduk di kelas terakhir, ia diangkat sebagai Ketua Akademis pada siswa dan menjadi Prefek Kongregasi Maria. Sifatnya yang mengingini kesenangan-kesenangan duniawi masih tetap menonjol dalam praktek hidupnya. Ia suka membaca buku-buku roman, menonton sandiwara, berburu dan berdansa. Kehidupan rohani kurang diindahkannya.

Namun rencana Tuhan atas dirinya tampak jelas. Tuhan tetap membimbingnya. Pada saat Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, 15 Agustus 1855, diadakan perarakan patung Bunda Maria mengelilingi kota Spoleta. Uskup Agung Spoleta sendiri membawa patung itu. Ketika itu Fransiskus mendengar suara penggilan Bunda Maria, “Fransiskus, engkau tidak diciptakan untuk dunia ini, tetapi untuk menjalani kehidupan bakti kepada Allah di dalam biara.” Fransiskus mendengar suara itu dengan takut. Ia merenungkan kata-kata Bunda Maria itu dengan hati terharu. Semenjak saat itu tumbuhlah keinginannya untuk masuk biara. Dia tidak melamar masuk ke Serikat Yesus, tempat ia bersekolah, tetapi melamar masuk Kongregasi Imam-imam Pasionis.

Di dalam Kongregasi Pasionis inilah ia menggantikan namanya dengan Gabriel. Pada tahun 1856 ia menerima jubah Kongregasi Pasionis. Namun kehidupannya di dalam biara ini tidak lama. Ia meninggalkan dunia pada tahun 1862 setelah berhasil menempa dirinya menjadi seorang biarawan pasionis sejati. Selama berada di biara, Gabriel sungguh menunjukkan kesungguhannya dalam menata hidup rohaninya. Ia benar-benar mencintai Yesus Tersalib dan Bunda Maria yang berduka. Devosi kepada Bunda Maria yang telah dilakukannya semenjak kecil terus dilakukannya hingga menjadikan hidupnya suci. Kesuciannya ternyata dari banyak mujizat yang terjadi pada setiap orang yang berdoa dengan perantaraannya. Gabriel menjadi seorang tokoh panutan bagi para kaum muda.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Prapaskah II-C

Renungan Hari Rabu Prapaskah II, Thn C/I
Bac I : Yer 18: 18 – 20; Injil       : Mat 20: 17 – 28

Sabda Tuhan hari ini berbicara tentang penderitaan yang dialami oleh orang benar, utusan Allah. Bacaan pertama mengisahkan penderitaan Yeremia yang mewartakan pesan Allah. Sedangkan dalam Injil Yesus menceritakan penderitaan Anak Manuria, yang adalah diri-Nya sendiri. "Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan." (ay. 18-19).

Baik Yeremia maupun Yesus adalah utusan Allah yang menyuarakan kebaikan dan kebenaran bagi umat manusia. Kebaikan dan kebenaran itu adalah demi kebahagiaan manusia. Namun ada banyak orang yang tidak suka akan hal itu. Mereka membenci pesan yang diwartakan para utusan Allah ini dan menolaknya. Penolakan terhadap pesan itu berarti juga penolakan terhadap pembawa pesan itu.

Yesus sudah mengingatkan para murid-Nya bahwa mereka pun akan mengalami nasib demikian. Kisah Yesus tentang Anak Manusia bisa menjadi peringatan para murid akan penderitaan yang akan mereka alami kelak.

Sabda Tuhan hari ini mau mengingatkan kita bahwa kita pun akan mengalami nasib seperti Yeremia dan Yesus saat kita mewartakan kebaikan dan kebenaran. Banyak orang akan menolak dan menentang kita. Namun kita tak perlu takut dan mundur. Kita harus tetap mewartakannya, karena dengan demikian kita turut ambil bagian dalam penderitaan mereka.

by: adrian

Selasa, 26 Februari 2013

(Pencerahan) Tuhan Dekat Denganmu

PEMUDA YANG BANYAK BICARA
Seorang pemuda yang sedang jatuh cinta
berusaha selama berbulan-bulan
untuk mengambil hati pujaannya,
namun gagal.
Ia merasa sakit hati karena ditolak.
Namun akhirnya si jantung hati menyerah.
“Datanglah di tempat anu pada jam anu,” katanya.

Pada waktu dan di tempat anu tersebut,
akhirnya sipemuda sungguh jadi duduk
bersanding dengan jantung hatinya.
Lalu ia merogoh saku dan mengeluarkan
seberkas surat-surat cinta,
yang telah ia tulis selama berbulan-bulan,
sejak ia mengenal si jantung hati.
Surat-surat itu penuh kata-kata asmara,
mengungkapkan kerinduan hatinya
dan hasratnya yang membara
untuk mengalami kebahagiaan
karena dipersatukan dalam cinta.
Ia mulai membacakan semua suratnya itu
untuk jantung hatinya.
Berjam-jam telah lewat,
namun ia masih juga terus membaca.
Akhirnya si jantung hati berkata:

“Betapa bodoh kau!
Semua suratmu hanya tentang aku
dan rindumu padaku.
Sekarang aku di sini,
bahkan duduk di sampingmu.
Dan kamu masih juga membacakan
surat-suratmu yang membosankan itu!”

ð  ‘Inilah aku, duduk di sampingmu,’ sabda Tuhan kepada penyembah-Nya, ‘dan engkau masih juga berpikir-pikir tentang Aku di dalam benakmu, berbicara tentang Aku dengan mulutmu dan membaca tentang Aku dalam buku-bukumu. Kapankah engkau akan diam dan mulai menghayati kehadiran-Ku?’

by: Anthony de Mello, Burung Berkicau
Baca juga refleksi lainnya:

Orang Kudus 26 Februari: St. Alexandros

Santo alexandros, pengaku iman


Informasi mengenai orang kudus ini amat sangat terbatas. Masa kecilnya tidak diketahui dengan pasti. Yang jelas adalah bahwa Alexandros hidup pada abad IV. Alexandros dikenal sebagai Patrik kota Alexandria, Mesir. Pada abad ke-4 ia gigih membela Gereja dan ajaran iman yang benar dari rongrongan bidaah Arianisme yang menyangkal ketuhanan Yesus.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Selasa Prapaskah II-C

Renungan Hari Selasa Prapaskah II, Thn C/I
Bac I : Yes 1: 10, 16 – 20; Injil       : Mat 23: 1 – 12

Dalam bacaan pertama Nabi Yesaya menyampaikan pengajaran Allah. Kepada umat Israel Allah berpesan agar umat berhenti berbuat jahat dan berusaha untuk berbuat baik (ay. 16 - 17). Terhadap pengajaran-Nya ini Allah menyertakan juga semacam punishment and rewards. Jika umat berbuat baik, maka umat "akan memakan hasil baik dari negeri itu." (ay. 19), namun jika umat tidak berhenti berbuat jahat, maka mereka akan mendapat hukuman (ay. 20).

Sama seperti bacaan pertama, dalam Injil hari ini, Yesus juga mengajarkan kepada orang Israel tentang berbuat baik dan menghindari hal yang jahat. Fokus pengajaran-Nya adalah ahli-ahli taurat dan kaum Farisi. Yesus mengajak orang Israel untuk menuruti dan melakukan "segala sesuatu yang mereka ajarkan" (ay. 3), karena itu baik. Artinya, apa yang diajarkan oleh para ahli taurat dan kaum Farisi adalah baik dan berguna bagi kehidupan umat. Akan tetapi Yesus mengajak umat untuk tidak mengikuti perbuatan para ahli taurat dan kaum Farisi, karena perbuatan mereka tidak baik untuk diikuti.

Sabda Tuhan hari ini menghendaki kita untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari untuk berbuat jahat. Tentulah kiranya tak perlu lagi dijelaskan apa saja perbuatan baik dan apa saja yang jahat. Kita semua sudah mengetahuinya. Tinggal bagaimana kita melaksanakannya. Sumber kebaikan dan kejahatan pun ada banyak dan kita sudah mengetahuinya. Namun kita harus tetap ingat bahwa Tuhan menghendaki agar kita melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan.

by: adrian

Senin, 25 Februari 2013

Hedonisme & Kaum Muda

VIRUS HEDON MERASUK KAUM MUDA
Dalam Majalah HIDUP, edisi no. 43, tanggal 21 Oktober 2012, khusus rubrik “Konsultasi Keluarga”, terdapat topik Kaum Muda dan Hedonisme. Topik ini berangkat dari pertanyaan seorang gadis berasal dari Yogyakarta, bernama Anita. Dia bertanya, “Romo Benny yang baik, saya sering mendengar kecaman bahwa orang muda cenderung hedonis. Apa yang dimaksud dengan tuduhan itu? Bukankah hal-hal fun yang sering kami cari itu baik adanya? Terima kasih.”

Gaya hidup hedonis memang lagi melanda kehidupan manusia, termasuk kaum muda. Ada banyak kaum muda jatuh dalam budaya hedonisme ini. Mereka lupa akan panggilannya sebagai warga Gereja. Mereka lebih mengejar kesenangan daripada Gereja. Karena itulah, ada banyak gereja mulai ditinggalkan oleh kaum muda sehingga gereja tersebut menjadi gereja tua, yaitu gereja yang hanya diisi oleh kaum tua. Gereja dilihat sebagai sesuatu yang membosankan dan tidak menyenangkan.

Bukan hanya kehadiran kaum muda yang kurang dalam gereja saat perayaan ekaristi, melainkan juga keterlibatan kaum muda dalam berbagai kegiatan di gereja. Misalnya ketika ada kegiatan Valentine Day bersama OMK, ada banyak kaum muda lebih memilih ber-valentine-day-an berdua dengan pacarnya.

Apakah salah bila kaum muda mencari kesenangannya sendiri? Berikut ini adalah jawaban romo pengasuh rubrik tersebut, yaitu Romo Dr. Benny Phang, OCarm. Kami akan menampilkan jawaban beliau secara utuh agar terhindar dari kesalahan tafsir.

Kesenangan versus Kebahagiaan
“Damai Tuhan besertamu, Anita. Hedonisme berasal dari kata hedone (Yunani) yang berarti kesenangan. Sebagai suatu aliran pemikiran, hedonisme berpendapat bahwa yang baik adalah yang menyenangkan. Orang yang mengikuti pola hidup ini akan hanya terus mencari kesenangan demi kesenangan. Maka, salah satu jargon dalam pemikiran ini adalah carpe diem, yang berarti nikmatilah hari ini dengan mencari kesenangan di dalamnya.

Ini pemikiran yang berbahaya. Coba renungkan, apakah dalam hidupmu yang kamu jumpai hanyalah kesenangan? Ada perbedaan besar antara fun atau kesenangan (pleasure) dan kebahagiaan (happiness). Kesenangan biasanya hanya pada level permukaan dan kebahagiaan jauh lebih mendalam. Misalnya, membeli tas bermerek dan memakainya akan menimbulkan kesenangan, tapi sampai berapa lama kesenangan itu akan bertahan? Apakah tas bermerek itu sungguh membawa kebahagiaan sampai ke lubuk hatimu yang terdalam? Tidak bukan?

St Thomas Aquinas mengatakan bahwa kebahagiaan sejati tak dapat ditemukan dalam kehormatan, kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kesehatan, kenikmatan, dan seluruh ciptaan, tapi hanya pada Allah. St Agustinus juga pernah berseru, “Engkau telah mencipta kami bagi-Mu, dan jiwaku takkan dapat beristirahat dengan tenteram sebelum aku beristirahat dalam Engkau!”

Anita, janganlah fokuskan dirimu pada hal-hal yang fun saja, tetapi lebih dari itu fokuskanlah hidupmu pada Allah. Karena “hanya dekat Allah saja aku tenang, daripada-Nyalah keselamatanku” (Mzm 62:2).”

Kesenangan Tidak Salah Asal...
Dari jawaban Romo Benny di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesenangan. Adalah hak setiap manusia untuk mencari dan menikmati kesenangan. Tentulah semua manusia menghendaki kesenangan. Tidak ada larangan untuk itu. Karena itu juga, kaum muda dapat menikmati kesenangannya. Kesenangan bukanlah merupakan kesalahan dan dosa.

Kesenangan menjadi sebuah kesalahan ketika ia hanya menitikberatkan pada kesenangan semata yang berpusat pada diri. Artinya, orang mencari kesenangan demi kesenangan dan terlebih lagi demi dirinya sendiri. Pada titik ini akan lahirlah semangat egoisme demi kesenangan tersebut. Orang tidak lagi peduli pada nasib dan penderitaan sesama. Orang hanya sibuk menikmati kesenangannya.

Tentu sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran Gereja yang terdapat, baik dalam Kitab Suci maupun dalam dokumen Gereja lainnya. Dalam Injil kita dapat melihat teladan hidup Yesus yang menunjukkan semangat solidaritasnya terhadap orang miskin, terpinggirkan, sakit dan orang berdosa. Karena itu, Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm 12: 15). Dan salah satu dokumen Konsili Vatikan II berkata, “KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” (Gaudium et Spes, no. 1).

Dalam jawabannya di atas, Romo Benny menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan memiliki kualitas yang jauh lebih baik dan lebih tinggi ketimbang kesenangan. Kebahagiaan itu menyentuh inti terdalam kemanusiaan kita, yaitu HATI. Karena itu bisa dikatakan bahwa kebahagiaan lebih baik daripada kesenangan. Adalah lebih bagus jika manusia, khususnya kaum muda, mencari kebahagiaan. Akan tetapi, Romo Benny juga meminta kepada kaum muda untuk tidak berhenti pada kebahagiaan sebagai kebahagiaan semata. Romo Benny, dengan mengutip St. Thomas Aquinas, mengingatkan soal kebahagiaan sejati yang ada pada Allah.

by: adrian

(Inspirasi Hidup) Karakter & Kredibilitas Pemimpin

PEMIMPIN: KARAKTER & KREDIBILITAS
Albert Einstein, seorang ahli fisika, pernah berkata, "Kebanyakan orang mengatakan intelektualitaslah  yang membuat seorang ilmuwan  hebat. Mereka salah, yang membuatnya hebat adalah karakter." Hal senada juga dikatakan oleh panglima Perang Teluk Pertama, Jenderal H. Norman Schwarzkopf. Jenderal yang jago strategi ini pernah mengatakan, "Kepemimpinan adalah kombinasi yang sangat kuat dari strategi dan karakter. Namun jika harus memilih salah satunya, pilihlah karakter."

Karakter dan kredibilitas selalu berjalan bersama. Kepemimpinan tanpa kredibilitas cepat atau lambat akan hancur. Lihat saja kepemimpinan yang diguncang oleh skandal korupsi, seks atau hak asasi manusia, seperti yang terjadi pada mantan presiden Amerika, Richard Nixon, Bill Clinton atau para petinggi perusahaan yang memanipulasi data keuangannya.

Karakter membuat kita dipercaya dan rasa percaya membuat kita bisa memimpin. Seorang pemimpin tidak pernah membuat komitmen kecuali ia melaksanakannya dan ia benar-benar melakukan segalanya untuk menunjukkan integritas, sekalipun hal itu tidak nyaman baginya.

Seorang pemimpin berkarakter kuat akan dipercayai banyak orang. Mereka mempercayai kemampuan pemimpin tersebut untuk mengeluarkan kemampuan mereka yang tertahan. Jika seorang pemimpin tidak memiliki karakter yang kuat, ia tidak mendapatkan respek dari bawahannya. Respek diperlukan bagi sebuah kepemimpinan yang bertahan lama. Seorang pemimpin memperoleh respek dengan mengambil keputusan yang berani dan mengakui  kesalahannya. Ia juga lebih mendahulukan kepentingan bawahan dan organisasi dibandingkan kepentingan pribadinya.

Kepercayaan adalah dasar kepemimpinan. Rusak kepercayaan, berakhir pulalah sebuah kepemimpinan.

dikembangkan dari email Anne Ahira
Baca juga refleksi lainnya:

Orang Kudus 25 Februari: St. Walburga

Santa walburga, abbas
Walburga lahir pada tahun 710 di Devonshire, Inggris. Saudari Santo Winebald dan Willibald ini masih mempunyai hubungan keluarga dengan Santo Bonifasius yang dikenal sebagai ‘Rasul bangsa Jerman’.

Ketika berumur 11 tahun, Walburga dididik di biara Benediktin, Wimborne di Dorsetshire, Inggris. Kemudian dia diterima sebagai anggota dari biara itu. Ia tetap tinggal di biara Wimborne sampai tahun 748 sambil membantu Santo Bonifasius mendirikan biara-biara di beberapa daerah Jerman yang baru dikristenkan. Kemudian ia pergi ke Jerman dan menjadi Abbas untuk para biarawati yang mendiami biara Benediktin di Heidenheim yang didirikan saudaranya Santo Winebald. Sesudah Winebald meninggal dunia pada tahun 761, Walburga menjadi abbas untuk seluruh biara yang ada di Jerman. Ia melayani biara-biara ini hingga kematiannya pada tahun 779 di Heindenheim, Jerman.

Semenjak abad IX, nama Walburga terkenal luas di kalangan umat Jerman karena semacam ‘minyak pengobat penyakit’, yang mengalir dari batu padas di bawah tempat duduknya di gereja Salib Suci Eichstatt, Jerman. Minyak itu dapat menyembuhan berbagai penyakit.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Senin Prapaskah II-C

Renungan Hari Senin Prapaskah II, Thn C/I
Bac I : Dan 9: 4b – 10; Injil       : Luk 6: 36 – 38

Dalam Injil hari ini Yesus mengajarkan soal hubungan interpersonal. Yesus mengingatkan para murid-Nya bahwa jika mereka menilai tentang orang lain, maka penilaian itu akan kena juga pada dirinya. "Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (ay. 38).

Apa yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya ini menjadi pelajaran berharga bagi kita saat ini. Tidak jarang dalam relasi dengan sesama, kita kerap menyampaikan penilaian atau bahkan kritik kepada sesama kita. Sabda Yesus hari ini mau menyadarkan kita bahwa penilaian atau kritik yang kita sampaikan akan kena kembali kepada kita.

Bukan maksud Yesus agar kita memilih jalan aman, yaitu tidak usah menilai atau mengkritik orang yang jelas-jelas berbuat salah. Yesus sama sekali tidak menghendaki hal itu. Yesus hanya mau mengajak kita untuk waspada atas kritikan yang kita lontarkan. Jadi, dalam kritikan itu ada pesan untuk mawas diri agar kita tidak jatuh ke dalam kesalahan yang dikritik itu.

by: adrian

Minggu, 24 Februari 2013

Dokumen Konsili Vatikan II: Lumen Gentium (8)

Sambungan sebelumnya ....
KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG GEREJA

24. (Tugas para Uskup pada umumnya)
Dari Tuhan, yang diserahi segala kuasa di langit dan di bumi, para Uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan untuk mengajar semua suku bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk supaya semua orang, karena iman, baptis dan pelaksanaan perintah-perintah memperoleh keselamatan (lih. Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16; Kis 26:17 dsl.). Untuk menunaikan perutusan itu, Kristus Tuhan menjanjikan Roh Kudus kepada para Rasul dan pada hari Pantekosta mengutus-Nya dari sorga supaya mereka karena kekuatan Roh menjadi saksi-saksi-Nya hingga ke ujung bumi, di hadapan kaum kafir, para bangsa dan raja-raja (lih. Kis 1:8; 2:1; dsl; 9:15). Adapun tugas yang oleh Tuhan diserahkan kepada para gembala umat-Nya itu sungguh-sungguh merupakan pengabdian, yang dalam Kitab suci dengan tepat disebut diakonia atau pelayanan (lih. Kis 1:17 dan 25; 21:19; Rom 11:13; 1Tim 1:12).

Para Uskup dapat menerima misi kanonik menurut adat-kebiasaan yang sah, yang tidak dicabut oleh kuasa tertinggi dan universal Gereja atau sesuai dengan hukum yang oleh kewibawaan itu juga ditetapkan atau diakui atau secara langsung oleh pengganti Petrus sendiri. Bila beliau tidak setuju atau tidak menerima mereka ke dalam persekutuan apostolis, para Uskup tidak dapat diterima dalam jabatan itu.[75]

25. (Tugas mengajar)
Di antara tugas-tugas para Uskup pewartaan Injillah yang terpenting.[76] Sebab para Uskup itu pewarta iman, yang mengantarkan murid-murid baru kepada Kristus. Mereka mengajar yang otentik, atau mengemban kewibawaan Kristus, artinya: mewartakan kepada umat yang diserahkan kepada mereka iman yang harus dipercayai dan diterapkan pada perilaku manusia. Di bawah cahaya Roh Kudus mereka menjelaskan iman dengan mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaan Perwahyuan (lih. Mat 13:52). Mereka membuat iman itu berubah dan dengan waspada menanggulangi kesesatan-kesesatan yang mengancam kawanan mereka (lih. 2Tim 4:1-4). Bila para Uskup mengajar dalam persekutuan dengan Imam Agung di Roma, mereka harus dihormati oleh semua sebagai saksi kebenaran ilahi dan katolik. Kaum beriman wajib menyambut dengan baik ajaran Uskup mereka tentang iman dan kesusilaan, yang disampaikan atas nama Kristus, dan mematuhinya dengan ketaatan hati yang suci. Kepatuhan kehendak dan akalbudi yang suci itu secara istimewa harus ditunjukkan terhadap wewenang mengajar otentik Imam Agung di Roma, juga bila beliau tidak beramanat ex cathedra; yakni sedemikian rupa sehingga wewenang beliau yang tertinggi untuk mengajar diakui penuh hormat dan ajaran yang beliau kemukakan diterima setulus hati sesuai dengan maksud dan kehendak beliau yang nyata, yang dapat diketahui terutama atau dari sifat dokumen-dokumen atau karena ajaran tertentu sering beliau kemukakan atau juga dari cara beliau berbicara.

Biarpun Uskup masing-masing tidak mempunyai kurnia istimewa tidak dapat sesat, namun kalau mereka – juga bila tersebar di seluruh dunia, tetapi tetap berada dalam persekutuan antar mereka dan dengan pengganti Petrus – dalam ajaran otentik tentang perkara iman dan kesusialaan sepakat bahwa suatu ajaran tertentu harus diterima secara definitif, merekapun memaklumkan ajaran Kristus tanpa dapat sesat.[77] Dan itu terjadi dengan lebih jelas lagi, bila mereka bersidang dalam Konsili Ekumenis serta bertindak sebagai guru dan hakim iman serta kesusilaan terhadap Gereja semesta; keputusan-keputusan mereka harus diterima dengan kepatuhan iman.[78]

Adapaun ciri tidak dapat sesat itu, yang atas kehendak Penebus ilahi dimiliki Gereja-Nya dalam menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan meliputi seluruh perbendaharaan Wahyu ilahi, yang harus dijagai dengan cermat dan diuraikan dengan setia. Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32), menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif.[79] Oleh karena itu sepantasnyalah dikatakan, bahwa ketetapan-ketetapan ajaran beliau tidak mungkin diubah dari dirinya sendiri dan bukan karena persetujuan Gereja. Sebab ketetapan-ketetapan itu dikemukakan dengan bantuan Roh Kudus, yang dijanjikan kepada Gereja dalam diri Santo Petrus. Oleh karena itu tidak membutuhkan persetujuan orang-orang lain, lagi pula tidak ada kemungkinan naik banding kepada keputusan yang lain. Sebab di situlah Imam Agung di Roma mengemukakan ajaran beliau bukan sebagai perorangan prive; melainkan selaku guru tertinggi Gereja semesta, yang secara istimewa mengemban kurnia tidak dapat sesat Gereja sendiri, beliau menjelaskan atau menjaga ajaran iman katolik.[80] Sifat tidak dapat sesat yang dijanjikan kepada Gereja ada pula pada badan para Uskup bila melaksanakan wewenang tertinggi untuk mengajar bersama dengan pengganti Petrus. Ketetapan-ketetapan ajaran itu tidak akan pernah tidak disetujui oleh Gereja berkat karya Roh Kudus itu juga, yang memelihara dan memajukan seluruh kawanan Kristus dalam kesatuan iman.[81]

Tetapi bila Imam Agung di Roma atau badan para Uskup bersama dengan beliau menetapkan ajaran itu mereka kemukakan sesuai dengan Wahyu sendiri, yang harus dipegang teguh oleh semua orang yang menjadi pedoman hidup mereka. Wahyu itu secara tertulis atau melalui tradisi secara utuh diteruskan melalui pergantian para Uskup yang sah dan terutama berkat usaha Imam Agung di Roma sendiri. Berkat cahaya Roh kebenaran wahyu itu dalam Gereja dijaga dengan cermat dan diuraikan dengan setia.[82] Untuk mendalaminya dengan seksama dan menyatakannya dengan tepat Imam Agung di Roma dan para Uskup sesuai dengan jabatan mereka dan pentingnya perkaranya harus memberi perhatian sepenuhnya dan menggunakan upaya-upaya yang serasi.[83] Tetapi mereka tidak menerima adanya wahyu umum yang baru, yang termasuk perbendaharaan ilahi iman.[84]

26. (Tugas menguduskan)
Uskup mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”[85] terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya[86] dan yang tiada hentinya menjadi sumber kehidupan dan pertumbuhan Gereja. Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja.[87] Gereja-Gereja itu di tempatnya masing-masing merupakan umat baru yang dipanggil oleh Allah dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih 1Tes 1:5). Di situ umat beriman berhimpun karena pewartaan Injil Kristus dan dirayakan misteri Perjamuan Tuhan, “supaya karena Tubuh dan Darah Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erat-erat”.[88] Di setiap himpunan di sekitar altar dengan pelayanan suci Uskup[89] tampillah lambang cinta kasih dan “kesatuan tubuh mistik itu syarat mutlak untuk keselamatan”.[90] Di jemaat-jemaat itu meskipun sering hanya kecil dan miskin atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.[91] Sebab “keikut-sertaan dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut”.[92]

Adapun semua perayaan Ekaristi yang sah dipimpin oleh Uskup. Ia diserahi tugas mempersembahkan ibadat agama kristiani kepada Allah yang maha agung dan mengaturnya menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja, yang untuk keuskupan masih perlu diperinci menurut pandangan Uskup sendiri.

Demikianlah para Uskup, dengan berdoa dan bekerja bagi umat, membagikan kepenuhan kesucian Kristus dengan pelbagai cara dan secara melimpah. Dengan pelayanan sabda mereka menyampaikan kekuatan Allah kepada umat beriman demi keselamatannya (lih. Rom 1:16). Dengan sakramen-sakramen, yang pembagiannya mereka urus dengan kewibawaan mereka supaya teratur dan bermanfaat[93], mereka menguduskan umat beriman. Mereka mengatur penerimaan baptis, yang memperoleh keikut-sertaan dalam imamat rajawi Kristus. Merekalah pelayan sesungguhnya sakramen penguatan, mereka pula yang menerima tahbisan-tahbisan suci dan mengatur dan mengurus tata-tertib pertobatan. Dengan saksama mereka mendorong dan mendidik umat supaya dengan iman dan hormat menunaikan perannya dalam liturgi dan terutama dalam korban kudus misa. Akhirnya mereka wajib membantu umat yang mereka pimpin dengan teladan hidup mereka, yakni dengan mengendalikan perilaku mereka dan menjauhkan dari segala cela dan – sedapat mungkin dengan pertolongan Tuhan – mengubahnya menjadi baik. Dengan demikian mereka akan mencapai hidup kekal bersama dengan kawanan yang dipercayakan kepada mereka.[94]


[75] Lih. Kitab Hukum Kanonik untuk Gereja-Gereja Timur, kanon 216-314: tentang para Batrik; kanon 324-339:
Tentang para Uskup Agung yang lebih tinggi derajdnya; kanon 362-391: tentang para pejabat lainnya; khususnya kanon 238 par.3; 216; 240; 251; 255: tentang pengangkatan para Uskup oleh baterik.
[76] Lih. KONSILI TRENTE, Ketetapan tentang Pembaharuan, sidang V, bab 2 no. 9, dan sidang XXIV, kanon 4;
Conc. Oec. Decr., hlm. 645 dan 739
[77] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Dei Filius, 3: DENZ, 1792 (3001). Lih. Catatan yang dibutuhkan pada Skema I “tentang Gereja” (dikutib dari S. ROBERTUS BELLARMINUS): MANSI 51, 579C; Juga Skema Konstitusi II “tentang Gereja kristus yang telah di revisi, beserta komentar KLEUTGEN: MANSI 53, 313AB. PIUS IX, Surat Tuas Libenter: DENZ. 1683 (2879).
[78] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1322-1323).
[79] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus: DENZ 1839 (3074).
[80] Lih. Penjelasan GASSER dalam KONSILI VATIKAN I: MANSI 52, 1213 AC.
[81] Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1214A.
[82] Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1215CD, 1216-1217A.
[83] Lih. GASSER, di tempat itu juga: MANSI 1213.
[84] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis Pastor Aeternus, 4: DENZ. 1836 (3070).
[85] Doa tahbisan Uskup menurut tata-upacara (ritus) bizantin: Euchologion to mega, Roma 1873, hlm. 139.
[86] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna, 8,1: terb. FUNK, I, hlm. 282.
[87] Lih. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17, dan di berbagai tempat lainnya.
[88] Doa mozarabis: PL 96,759B.
[89] Lih. S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna 8,1: terb. FUNK, I, hlm. 282.
[90] S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 73, art. 3.
[91] Lih. S. AGUSTINUS, Melawan faustus, 12, 20: PL 42, 265; Kotbah 57,7: PL 38, 389, dan lain-lain.
[92] S. LEO AGUNG, Kotbah 63,7: PL 54, 357C.
[93] Lih. Tradisi para rasul menurut Hipolitus, 2,3: terb. BOTTE, hlm. 26-30.
[94] Lih. “teks penyelidikan” pada awal tahbisan Uskup, dan Doa pada akhir Misa tahbisan itu, sesudah Te Deum.