Selasa, 22 Agustus 2017

MARI HENTIKAN KEBIASAAN KUMPUL KEBO

Hampir semua agama sepakat bahwa kumpul kebo itu dosa. Dalam Gereja Katolik, mereka yang kumpul kebo dikenakan sanksi Gereja, yaitu dihalangi hak-haknya atas sakramen, khususnya komuni (tapi yang bersangkutan masih boleh ikut ekaristi). Sekalipun sudah melarang, Gereja tidak punya kekuatan untuk memaksa umatnya tidak melakukan kumpul kebo. Karena itu, umat perlu juga melihat kumpul kebo ini dari sisi lain.
Dari aspek hukum. Kumpul kebo merupakan pelanggaran hukum sipil sehingga pelakunya bisa disanksi dengan hukuman penjara dan/atau denda. Selain itu pelaku kumpul kebo bisa dijerat dengan pasal perzinahan, karena tidak mungkin mereka yang kumpul kebo tidak melakukan hubungan seksual. Karena itu, warga bisa melapor jika di lingkungannya ada praktek kumpul kebo.
Dari sisi hukum, kumpul kebo merugikan kaum wanita dan anak yang lahir dari hubungan tersebut. Ibu dan anak tidak dianggap sebagai istri sah, sehingga tak berhak atas nafkah dan warisan dari “suami” jika ia meninggal, dan tak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan. Anak tidak punya hubungan hukum dengan ayah. Hal ini berdampak pada perkembangan psikologis dan sosialnya.
Dari sisi psikologis. Studi oleh Robin dan Feigers membuktikan bahwa mereka yang menikah memiliki kebahagiaan 5 kali lipat daripada mereka yang kumpul kebo. Hal senada dengan studi oleh Kurdek dan Schmitt yang menyatakan bahwa pelaku kumpul kebo memiliki derajat kepuasan lebih rendah dibandingkan dengan pasangan menikah. Dari hasil studi ini terlihat bahwa kumpul kebo bertentangan dengan niat orang untuk hidup bersama, yaitu bahagia bersama.
Dari dua aspek ini, bisa disimpulkan bahwa kumpul kebo itu merugikan, khususnya bagi wanita dan anak. Karena itu, hentikanlah kumpul kebo mulai sekarang. Kaum wanita harus berani mengambil sikap untuk menolak kumpul kebo.

by: adrian