Seorang karyawan sebuah “perusahaan” datang mengungkapkan isi hatinya. Dia
bilang bahwa teman-teman di kantor menuduhnya mencuri uang kantor. Malah ada
rekan kerja yang berusaha melacak keuangannya. Padahal dia sudah bekerja keras
dan hidup jujur, demikian curahan isi hatinya.
Satu hal lain lagi yang membuat dia kesal adalah tudingan orang bahwa
seringnya dia keluar kota mendampingi boss, dikatakan bahwa dia gunakan uang
kantor untuk keperluan pribadi. Padahal semua biaya perjalanan itu ditanggung
oleh boss. Sungguh menyakitkan hati dituduh begitu. Pastilah mereka-mereka itu
iri hati dan tidak suka melihat orang senang.
Sepintas saya merasa prihatin dan bersimpati dengan nasib karyawan ini.
Saya merasa jengkel dan marah dengan orang-orang yang menuduhnya telah mencuri
uang kantor, alias korupsi. Kenapa orang sukanya menuduh.
Tanpa disadari saya melihat bahwa kebenaran ada pada pihak karyawan itu. Apa
yang diutarakannya adalah kebenaran. Dengan kata lain, kebenarannya adalah:
karyawan itu tidak korupsi dan orang lain memfitnah dirinya.
Benarkah demikian? Setelah saya renungkan, ternyata saya keliru. Apa yang
diungkapkan oleh karyawan itu bukanlah kebenaran, melainkan pembenaran. Dia
ingin mendapatkan kebenaran dengan cara pembenaran. Pembenaran bukanlah
kebenaran yang sebenarnya. Pembenaran bisa menjadi sarana untuk menyembunyikan
kebenaran.
Hal ini saya ketahui setelah saya mencoba mendengarkan suara dari pihak lain yang difitnah karyawan itu. Mereka mengatakan bahwa ada banyak yang mencurigakan di kantor itu berkaitan dengan keuangan. Soal keuangan tak ada orang lain yang bisa mengetahui kecuali karyawan itu dan sang boss. Bahkan wakil boss pun tak tahu. Ketika ada karyawan lain yang meminta transparansi, langsung dicekal. Keuangan sungguh dikelola dengan amat misterius.