Rabu, 27 November 2019

PAHAMI DULU PERSOALAN LABEL WISATA HALAL SEBELUM MENILAI ORANG SALAH PAHAM SOAL WISATA HALAL


BEBERAPA minggu lalu ramai di jagat media sosial diskusi tentang istilah “wisata halal”. Hal ini berangkat dari selentingan dua destinasi wisata Bali dan Danau Toba, yang dilabeli wisata halal. Pro kontra pun ramai. Beberapa orang (dari kubu pro) menilai bahwa mereka yang menolak pelabelan itu telah salah paham soal istilah “wisata halal”. Lalu muncullah penilaian-penilaian aneh lainnya, seperti islam phobia dan intoleran.
Akan tetapi, mereka yang menilai orang salah memahami makna wisata halal seharusnya terlebih dahulu memahami persoalan yang ada di balik label “wisata halal”. Persoalan yang ada itu bukan menyangkut umat non muslim, tetapi lebih ditujukan kepada umat islam sendiri.
Pada umumnya, ketika mendengar istilah “halal” orang langsung mengaitkannya dengan agama islam. Hal ini dapat dimaklumi, karena setiap produk makanan harus mempunyai sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena itulah, setiap kali melihat produk makanan dengan label halal, orang lantas memahaminya dengan agama islam. Maka, label “wisata halal” juga dikaitkan dengan umat islam.
Selain dengan agama islam, istilah “halal” juga selalu dikonfrontasikan dengan istilah “haram”, yang juga berhubungan dengan agama islam. Dapat dikatakan sesuatu yang halal berarti tidak haram bagi umat islam; atau sesuatu yang diharamkan dalam agama islam berarti tidak halal bagi umat islam. Sesuatu yang telah dinyatakan halal berarti tidak haram bagi umat islam, sehingga umat dapat menggunakannya. Sebaliknya, jika dinyatakan haram maka itu tidak halal bagi umat islam.

ADAM DAN HAWA DALAM AGAMA ISLAM, KRISTEN DAN YAHUDI


Agama sering diartikan sebagai kumpulan aturan atau ajaran. Umumnya orang mengenal tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) sebagai agama samawi.  Kata ‘samawi’ berasal dari bahasa Arab, dari kata As-Samawat yang berarti ‘langit’. Karena itu, agama samawi dapat dipahami sebagai agama langit, karena para penganutnya percaya bahwa agamanya dibangun berdasarkan wahyu Allah. Langit dianggap sebagai tempat tinggal Allah.
Ketiga agama samawi ini disatukan oleh satu tokoh yang sama, yaitu Abraham (islam: Ibrahim). Karena itu, agama samawi dikenal juga dengan istilah agama Abrahamik atau agama Ibrahimiyyah. Abraham diyakini sebagai orang pertama yang membawa tradisi monoteis. Karena itu juga, ketiga agama ini dikenal sebagai agama monoteistik. Namun, tidak semua agama monoteistik adalag agama Abrahamik.
Sekalipun bersatu pada sosok Abraham, namun banyak pemeluk agama Yahudi, Kristen dan Islam menolak pengelompokan seperti ini (agama samawi). Mereka melihat bahwa sekalipun “satu”, tapi pada dasarnya dan intinya ketiga agama ini mengandung gagasan-gagasan berbeda seperti Abraham sendiri, kitab suci bahkan konsep ketuhanan serta nama Tuhan. Misalnya, soal kitab suci, kitab suci Yahudi diterima oleh Kristen, sementara kitab suci Islam lain tersendiri; malah Islam menilai kitab suci Yahudi dan Kristen sekarang palsu. Konsep ketuhanan Yahudi dan Islam memiliki kemiripan, sementara Kristen lain sendiri.
Perbedaan lain adalah soal Adam dan Hawa. Karena kitab suci Yahudi menjadi bagian dari kitab suci Kristen (disebut Perjanjian Lama), maka kisah tentang Adam dan Hawa untuk kedua agama ini adalah sama. Sementara itu, kitab suci agama Islam lain sendiri, yang membuat kisah Adam dan Hawa juga berbeda dari kedua agama samawi lainnya. Kenapa bisa berbeda? Kisah manakah yang benar?

AGNES MO: ANTARA NASIONALISME DAN IRRASIONALISME


Belum lama ini publik Indonesia heboh dengan pernyataan Agnes Mo dalam wawancaranya di Amerika Serikat. Dalam wawancara itu, diva yang sudah go internasional itu, mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki darah keturunan Indonesia. Dia hanya numpang lahir dan besar di Indonesia. Darah yang mengalir dalam dirinya berasal dari Jerman, Jepang dan Tiongkok.
Sontak tayangan wawancara tersebut menjadi viral di jagat medsos Indonesia. Ada banyak netizen Indonesia marah dan mencaci-maki Agnes. Ada politisi dan juga anggota dewan yang terhormat menyindir pernyataan Agnes itu, dan menilainya sebagai bentuk durhaka. Ada juga dosen sekaligus pakar hukum hubungan luar negeri meminta pihak imigrasi untuk mengecek kewarganegaraan Agnes. Umumnya mereka mengaitkan pernyataan Agnes dengan semangat nasionalisme.
Akan tetapi, tak sedikit juga yang masih menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi pernyataan Agnes itu. Mereka menilai tidak ada kaitan antara “darah keturunan” dengan nasionalisme. Sekalipun tidak punya darah keturunan Indonesia bukan lantas berarti tidak mempunyai jiwa nasionalis, atau juga bukan warga negara. Ada banyak orang di Indonesia yang sama sekali tidak mempunyai darah keturunan Indonesia, namun termasuk warga negara Indonesia dan banyak berkontribusi bagi bangsa Indonesia.
Persoalan Agnes Mo ini merupakan pertentangan antara nasionalisme dan irrasionalisme yang berbalut kebencian dan fanatisme sempit. Soal nasionalisme dan irrasionalisme ini, blog budak-bangka pernah membahasnya 6 tahun lalu, persisnya 27 November 2013, lewat judul tulisan “Antara Nasionalisme dan Irrasionalisme”. Tulisan tersebut memang membahas soal demo penyadapan yang dilakukan pihak Australia. Akan tetapi, dalam tulisan tersebut terungkap adanya ketidakmasukakalan argumen-argumen para pendemo. Persis seperti dalam kasus Agnes ini.
Sekalipun tulisan 6 tahun lalu itu menjawab persoalan tahun itu, bukan lantar berarti tulisan itu tidak lagi relevan. Pesan yang terkandung di dalam tulisan tersebut tetap aktual, apalagi dalam menyikapi masalah Agnes Mo. Lebih lanjut mengenai isi tulisan tersebut, langsung saja klik dan baca di sini. Selamat membaca!!!