Senin, 27 Agustus 2018

RENUNGAN PERINGATAN ST. MONIKA

Renungan Peringatan St. Monika
Bac I  2Tes1: 1 – 5, 11 – 12; Injil       Luk 7: 11 –17;
Injil hari ini berkisah tentang Tuhan Yesus menghidupkan seorang pemuda di Nain. Yang menggerakkan Yesus melakukan tindakan mukjizat ini adalah belas kasihan (ay. 13). Belas kasih itu ditujukan kepada ibu pemuda yang meninggal itu, yang adalah seorang janda. Bukan tidak mungkin Yesus membayangkan nasib ibu-Nya yang, adalah seorang janda, akan kehilangan diri-Nya. Sadar akan situasi yang dihadapi janda tersebut, akhirnya Yesus membangkitkan pemuda yang sudah mati. Yang sangat menarik adalah reaksi orang banyak atas peristiwa itu. Mereka memuliakan Allah (ay. 16).
Sikap yang ditampilkan orang banyak dalam Injil, kembali diperlihatkan Paulus dalam bacaan pertama hari ini. Dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Tesalonika, Paulus mengungkapkan rasa bangganya kepada kehidupan rohani jemaat di sana yang sesuai dengan kehendak Allah. Yang menarik di sini adalah rasa bangga itu tidak semata-mata tertuju pada Paulus pribadi karena usaha dan perjuangannya, melainkan ditujukan kepada Allah karena usaha para jemaat. Atas kehidupan umat yang membanggakan itu, Paulus menghaturkan syukur kepada Allah. Paulus bangga karena umat hidup seperti yang diajarkannya; dan apa yang diajarkan Paulus telah dihidupinya. Jadi, jemaat mendapat pengajaran Paulus bukan hanya dari verbal saja melainkan juga dari peri hidupnya.
Hari ini Gereja Universal mengajak kita untuk memperingati Santa Monika, ibu dari Santo Agustinus. Satu teladan luhur Santa Monika adalah bagaimana dia berjuang untuk mengembalikan anak dan suaminya kembali ke jalan yang benar. Siang malam selama bertahun-tahun digunakan untuk berdoa mohon bantuan Allah Bapa untuk membuka hati dan budi kedua orang yang dikasihinya itu. Doa santa Monika ditunjang dengan sikap peri kehidupannya. Semua itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemuliaan Allah. Karena itu, sabda Tuhan hari ini, ditambah dengan teladan luhur Santa Monika, mengajak kita untuk berlaku baik bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kemuliaan Allah.
by: adrian

KETIKA ANAK SUKA MELAWAN


Anak patuh adalah harapan orangtua, sebab itu membuat nyaman. Banyak orangtua mengeluh anaknya suka melawan. Tapi ingat, anak adalah suatu individu yang punya kehendak dan inisiatif sendiri. Bila anak hanya patuh saja, ia akan jadi anak yang tak punya inisiatif dan kemauan. Peran orangtua dalam mendidik anak sama seperti mengajari anak naik sepeda. Di saat awal, orangtua harus memegang sepeda agar ia tak jatuh, tapi di saat lain orangtua harus mendorong inisiatif dan keberanian anak.
Mendidik anak pada dasarnya adalah mengajak anak untuk patuh pada nilai yang mengatur tata cara hidup seperti nilai agama, aturan hukum, tata krama sosial dan nalar. Bahkan orangtua wajib juga mematuhi nilai-nilai itu. kepatuhan anak pada orangtua merupakan bagian dari kepatuhan pada nilai-nilai tadi. Orangtua yang memaksakan kepatuhan tidak berbasis nilai adalah orangtua otoriter.
Orangtua dan anak harus tunduk pada nilai. Kalau anak benar berdasarkan nilai, maka orangtua harus mengakuinya; dan jika orangtua salah berdasarkan nilai, maka orangtua harus berani minta maaf. Masalahnya, orangtua sering berdiri di depan anak dengan ego tinggi. Jawaban anak sering diterima sebagai serangan terhadap egonya sehingga orangtua jadi emosional. Ini membuat orangtua dan anak terjebak dalam pertengkaran. Untuk menghindarinya, orangtua mutlak harus mengendalikan emosinya.
Tentu saja ada banyak kasus dimana anak melawan karena enggan diarahkan. Anak punya kehendak dan tidak semua kehendak itu harus dituruti. Maka sekali lagi, penting bagi orangtua untuk menetapkan sejumlah aturan berbasis nilai. Sejak kecil anak harus dibiasakan berkehendak dalam koridor aturan tersebut. Yang di luar itu harus dikoreksi. Maka ketika anak melawan dalam konteks di luar koridor tadi, anak harus diluruskan.
by: adrian