Yesus Membawa Pertentangan: Sebuah Kesaksian Hidup
Sejak
umur 5 tahun saya sudah belajar menghafal Al-Quran. Paman saya yang mengajar
dan membimbing saya hampir setiap hari. Ia menjadi penasihat saya. Ketika saya
berumur enam tahun, ia memasukkan saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah
bergengsi ini difokuskan pada pendidikan agama Islam.
Hampir
setiap pagi, saya pergi bersama ayah dan paman ke mesjid untuk shalat subuh,
yang dimulai sekitar pukul 03.30 pagi dan berakhir sekitar pukul 04.30. Setelah
sembahyang, saya biasanya menunggu di mesjid dengan salinan Al Quran saya.
Sebelum saya mulai menghafal ayat-ayat baru, saya menguji diri saya sendiri
akan ayat-ayat yang telah saya hafalkan dua hari sebelumnya. Setelah saya yakin
bahwa hafalan saya benar, saya mulai dengan materi yang baru.
Saya
sangat berhati-hati mempertahankan apa yang telah saya pelajari, jadi saya
menghabiskan waktu dua atau tiga hari dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jika
Anda bertanya kepada saya tentang sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa
bulan sebelumnya, ayat itu telah ada di dalam pikiran saya.
Paman
bukan hanya membantu saya untuk menghafal, tetapi ia juga memastikan bahwa saya
memahami bahasa Arab kuno – bahasa di dalam Al-Quran. Orang yang berbahasa Arab
rata-rata tidak akan dapat membaca atau mengerti jenis bahasa Arab seperti ini
dengan baik, dengan demikian mempelajari bahasa ini menjadi suatu hal yang
penting dalam pendidikan agama.
Selama
tujuh tahun, paman mengajari saya, ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika
saya berusia dua belas tahun, saya telah berhasil menghafal Al-Quran
seluruhnya.
Berhasil
mempelajari Al-Quran menempatkan saya pada posisi yang sangat terhormat bagi
seorang anak kecil. Orang-orang memperlakukan saya seperti orang kudus karena
saya membawa buku kudus di dalam pikiran saya. Sejak saat itu, saya secara
berurutan membaca dan meninjau kembali Al-Quran untuk memastikan bahwa saya
tidak melupakan apa yang telah saya pelajari.
Ketika
saya masuk Sekolah Menengah Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami adalah
mengingat cerita-cerita yang paling penting dalam hadits. Hadits adalah catatan
yang berisi ajaran dan tindakan dari Muhammad. Terdapat lebih dari setengah
juta hadits.
Tetapi
sekolah kami memiliki hadits-hadits tertentu yang harus dihafal tiap semester.
Setelah tamat dari SMA, saya perkirakan saya telah menghafal antara lima sampai
enam ribu hadits.
Setelah
lulus dari SMA saya mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan memilih
untuk bersekolah di Jurusan Bahasa Arab, seperti yang paman saya lakukan.
Pada
hari pertama di kelas, saya memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan.
Sheikh yang mengajar pada pelajaran pertama di hari itu memberitahukan kami,
“Apa yang saya sampaikan kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran.
Saya tidak akan mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa
yang tidak saya katakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan
jangan bertanya tentang apapun.”
Saya
terganggu dengan filosofi seperti ini. Kami bersitegang. Masalah ini sampai ke
dekan fakultas. Peristiwa ini mengajarkan saya untuk berdiam dan tunduk seperti
yang diminta oleh universitas. Metode belajar kami adalah membaca buku yang
ditulis oleh ahli-ahli agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno.
Kemudian kami akan membuat daftar poin-poin penting dari setiap buku dan
menghafalkan daftar tersebut.
Walaupun
saya tahu, seringkali saya mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru
saya. Sebagai contoh, saya bertanya pada salah satu profesor, “Mengapa pada
awalnya Muhammad mengajarkan kita untuk berteman dengan orang-orang Kristen
tetapi kemudian meminta kita untuk membunuh mereka?”
Profesor
itu menjawab, “Apa yang telah nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan,
lakukanlah itu. Apa yang dilarangnya, maka itu terlarang untukmu. Apa yang ia
ijinkan, maka itu diijinkan untukmu. Kamu bukanlah umat Islam yang sebenarnya
jika kamu tidak tunduk kepada kata-kata Muhammad.”
Saya
bahkan bertanya pada Sheikh Omar Abdel, salah satu profesor di kelas penafsiran
Al-Quran. Saya bertanya, “Mengapa setiap saat Anda mengajarkan kami semua
tentang jihad? Bagaimana dengan ayat-ayat lain di dalam Al-Quran yang berbicara
tentang damai, kasih dan pengampunan?”
Wajahnya
langsung memerah. “Saudaraku,” katanya, “ada surat (pasal) yang disebut
’Rampasan Perang’. Tetapi tidak ada surat yang dinamakan ’Damai’. Jihad dan
membunuh adalah inti dari agama Islam. Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong
inti dari Islam.” Jawaban yang saya dapat darinya dan profesor-profesor lainnya
tidak memuaskan saya.
Saya
lulus dengan peringkat kedua terbaik dari enam ribu siswa. Setelah selesai saya
kembali di Al-Azhar. Saya memutuskan bahwa tidak ada profesor atau sheikh yang
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Saya harus menjawab pertanyaan saya
sendiri. Tetapi, bukannya menemukan jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan
Islam. Tetapi saya menyimpannya sendiri.
Tesis
master saya menimbulkan banyak keributan karena saya menyentuh salah satu isu
yang kontroversial. Namun pemerintah mendukung saya. Universitas meminta saya
untuk mulai mengajar bidang yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada
usia dua puluh delapan tahun, saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah
ada. Saya juga memimpin doa dan ceramah di sebuah mesjid di pinggiran kota
Kairo. Namun, di dalam hati saya, saya masih terus mencari kebenaran.
Tidak
masuk akal untuk meninggalkan semua pendidikan ini. Saya tidak punya pilihan
lain selain melanjutkan perjalanan ini. Saya pun mulai melanjutkan gelar
doktor. Saya menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh
gelar doktor.
Saat
mengajar, saya membangun semangat baru dalam kelas. Saya buka kesempatan untuk
bertanya. Saya ingin mahasiswa saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka
tanpa merasa takut karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Beberapa
mahasiswa mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang
berbahaya. Kami tidak tahu apakah ia masih seorang muslim atau telah
berpaling.”
Al-Azhar
sangat takut akan adanya kekuatan asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua
departemen, memanggil saya untuk menemuinya. Dalam pertemuan itu, ketua
departemen memahami perkembangan pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya dan
menyadari bahwa saya perlu ditangani.
Kemudian
saya dipanggil dalam pertemuan lainnya dengan komite penegakan peraturan
universitas. Pertemuan ini awalnya berjalan dengan baik. Mereka tidak ingin
saya keluar dari universitas tetapi juga saya tidak boleh mengritik Islam.
Sampai
di sini, saya punya pilihan. Saya dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju
untuk mengajar dengan cara lama, dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya
memberitahu mereka apa yang saya pikirkan. Pertemuan dengan komite itu sangat
panas.
Keesokan
harinya, pagi-pagi benar ayah saya mendengar suara ketukan di depan pintu.
Ketika ia membuka pintu, lima belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat
melewatinya sambil membawa senjata Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan mencari
saya.
Mereka
mendorong saya ke bagian belakang mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya
tahu, inilah hasil dari apa yang telah terjadi di universitas sehari
sebelumnya. Saya ditaruh di tempat yang mirip dengan penjara dimana saya
ditempatkan di dalam sel dengan tahanan lainnya.
Keesokan
paginya, orangtua saya dengan gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah
terjadi kepada saya. Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya
tentang keberadaan saya. Tetapi tak seorangpun tahu Kalau saya ada di tangan
polisi rahasia Mesir.
Dituduh Menjadi Seorang Kristen
Selama
tiga hari, para penjaga tidak memberi saya makan ataupun minum. Pada hari
keempat, interogasi dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia
ini adalah untuk membuat saya mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam
dan menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Cara mereka adalah dengan
meninggalkan saya sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada
malam hari untuk diinterogasi.
Pada
malam pertama, pertanyaan dimulai di dalam sebuah ruangan dengan meja besar.
Orang yang menanyakan saya duduk di belakang meja dengan sebatang rokok di
tangannya, dan saya duduk di sisi lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan
menjadi seorang Kristen.
Saya
memiliki bekas luka bakar pada tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan
rokok dan alat pemanas dari besi untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia
ingin saya mengaku bahwa saya telah murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak
mengkhianati Islam. Saya hanya mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah
seorang akademisi. Saya seorang pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik
apapun di dalam agama Islam. Ini adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan
akademik saya. Saya bahkan tidak pernah bermimpi untuk murtad dari Islam –
Islam adalah darah saya, budaya, bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika
Anda menuduh saya telah murtad dari Islam karena apa yang saya katakan
kepadamu, maka keluarkanlah saya dari Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan
dari Islam.”
Para
penjaga menarik saya dan mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu itu.
Teman satu sel saya yang berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang
pengkaji agama Islam, memberikan saya makanan dan minumannya.
Keesokan
malamnya, saya dibawa ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di
dalamnya. Para penjaga selalu mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina
saya, mencoba untuk mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di
tempat tidur dan mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.
Ketika
saya bangun, mereka membawa sebuah tangki kecil berisi air dingin. Mereka
memaksa saya untuk bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan
kembali. Ketika bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur di mana mereka
mencambuki saya, masih dengan pakaian yang basah.
Saya
menghabiskan satu hari lagi di dalam sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar,
ke bagian belakang bangunan itu. Saya melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa
jendela ataupun pintu. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah melalui
jendela di bagian atasnya. Para penjaga itu memaksa saya untuk masuk. Saya
merasakan air di seluruh tubuh saya, tetapi kemudian saya merasakan kaki saya
berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh saya sampai sebatas bahu. Kemudian
saya melihat sesuatu berenang di atas air – tikus.
Mereka
menutup pintu atas, dan saya tidak dapat melihat apapun. Saya berdiri di air
dan menunggu di dalam kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam.
Keesokan paginya para penjaga datang kembali untuk melihat apakah saya masih
hidup. Saya tidak akan pernah melupakan sinar matahari yang terlihat ketika
pintu atas ruangan itu dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus
menaiki kepala dan bahu saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya.
Para penjaga kemudian membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam
harinya, para penjaga membawa saya ke depan sebuah ruangan kecil dan mengatakan
bahwa ada seseorang yang sangat mencintai saya dan ingin bertemu. Saya berharap
itu adalah salah satu anggota keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau
membawa saya keluar dari penjara itu. Mereka membuka pintu ruangan, dan di
dalamnya saya melihat seekor anjing besar. Tidak ada orang lain di dalam
ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk ke dalam dan menutup pintu.
Saya
berjalan ke tengah ruangan yang kosong itu dan duduk bersila di atas lantai.
Anjing itu lalu menghampiri saya dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu
sementara anjing itu memandangi saya.
Anjing
itu kemudian berdiri dan mulai berjalan mengelilingi saya, seperti seekor
binatang yang hendak memakan sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya,
menjilati telinga saya dan duduk. Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia
duduk di sebelah kanan saya, saya pun tertidur. Ketika saya bangun, anjing itu
duduk di sudut ruangan. Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah
kanan saya. Ketika para penjaga membuka pintu mereka melihat saya sedang berdoa
dengan anjing duduk di sebelah saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena
saya.
Selama
ini keluarga saya terus mencoba mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka
tidak berhasil. Paman saya memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari
setelah saya diculik, ia datang ke penjara itu seorang diri dengan surat
jaminan pembebasan dan membawa saya pulang ke rumah.
Saya
kembali ke rumah orang tua saya untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan
selanjutnya. Kemudian seorang polisi memberikan laporan kepada ayah saya:
“Kami telah menerima fax dari Universitas
Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan agama Islam, tetapi setelah
interogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti yang
mendukung pernyataan itu.”
Berjumpa dengan Yesus
Saya
keluar dari penjara dengan rasa marah terhadap agama Islam tetapi tetap
meyakini bahwa ada kuasa yang luar biasa yang telah menjaga saya hingga tetap
hidup. Setiap hari, keingintahuan saya akan “Tuhan” itu menjadi semakin besar.
Saya tidak pernah berpikir tentang Tuhannya orang Yahudi atau orang Kristen,
karena saya masih dipengaruhi oleh Al-Quran dan ajaran-ajaran Muhammad, yang
mengatakan orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Sedangkan saya mencari Tuhan
yang satu. Selain itu Al-Quran mengatakan bahwa orang Yahudi telah
menyelewengkan Kitab Suci mereka.
Hal
ini mendorong saya untuk melihat agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha.
Saya telah mendengar tentang agama-agama ini ketika saya menempuh kuliah S-1,
dan saat itu saya telah menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang
agama-agama tersebut. Tetapi setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya
adalah: Tidak.
Saya
mulai mengalami sakit kepala akut. Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan
terhadap otak saya. Dokter kemudian memberikan obat penghilang sakit yang
diminum setiap malam.
Suatu
hari sakit kepala menyerang begitu hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk
membeli pil lagi. Apoteker yang saya datangi adalah orang Kristen. Saya sudah
biasa bertemu dengannya sehingga saya merasa nyaman untuk berbicara dengannya.
Saya mulai mengeluh, “Pil-pil ini tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”
Ia
menjawab, “Kamu sepertinya sudah pada tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi
terbiasa dengan tablet-tablet itu. Kamu meminumnya bukan untuk menghilangkan
rasa sakit tetapi karena kamu tidak bisa menghentikannya sekarang.” Lalu ia
berkata dengan lembut, “Apa yang terjadi dalam hidupmu?”
Saya
memberitahukannya bahwa saya sedang mencari Tuhan. Ia terkejut. Saya
menceritakan kisah saya kepadanya.
Ia
kemudian mengeluarkan sebuah buku dari bawah mejanya dan berkata
perlahan-lahan, “Saya akan memberimu buku ini. Sebelum kamu meminum pilmu malam
ini, cobalah untuk membaca sesuatu dari buku itu. Kemudian lihat apa yang kamu
rasakan.”
Saya
membawa pil-pil ini di tangan yang satu sementara tangan yang lainnya memegang
buku itu. Buku itu adalah Kitab Suci.
Lalu
saya pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam
hidup saya membawa sebuah Alkitab. Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat
itu.
Saat
itu malam di musim panas, sekitar pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat,
tetapi saya tidak meminum obat saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja dan
melihat pada Alkitab itu. Saya tidak tahu harus membaca dari mana. Jadi saya
menjatuhkannya dan terbuka begitu saja. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.
Saya
mulai membaca tentang khotbah Yesus di atas gunung. Kemudian saya melihat
sebuah gambaran – Yesus di atas gunung sedang mengajar kerumunan orang di
sekitarnya. Sementara saya membaca, saya lupa kalau saya sedang di rumah. Saya
tidak merasakan apa-apa di sekitar saya. Kitab Matius itu membawa saya dari
satu cerita kepada cerita yang lain.
Saya
terus membaca Alkitab tanpa menyadari waktu, sampai akhirnya saya mendengar
panggilan sembahyang pagi dari mesjid. Saya terkejut melihat
jam di tempat tidur di samping saya. Waktu telah menunjukkan pukul empat pagi.
Saya mendengar anggota keluarga berjalan-jalan di sekitar rumah, bersiap-siap
untuk pergi ke masjid. Tapi pagi ini saya tidak memiliki hasrat untuk berdoa: Saya
merasa damai luar biasa dan saya hanya ingin beristirahat.
Saya bahkan
tidak menyadari bahwa sakit kepala saya telah hilang sepenuhnya. Pada jam tujuh
pagi, saya bangun dan merasa segar sekali. Saya siap untuk mengambil keputusan
saya. Saya telah menemukan Tuhan Maha Kuasa penguasa surga yang saya cari
selama ini.
Tanpa keraguan
sedikitpun saya berdoa. Kemudian saya kembali ke Alkitab. Saya telah selesai
membaca keempat Injil, Kisah Para Rasul dan Roma. Saya tidak tahu apa lagi yang
akan saya baca, sehingga saya membiarkan Alkitab apoteker itu terbuka. Kali ini
saya sampai di Mazmur 91. Saya membacanya. Itu seperti pesan pribadi untuk saya
dan situasi yang saya alami!
Sekitar jam sebelas siang saya kembali ke apotek
dengan obat di satu tangan dan Alkitab di tangan yang lain. Apoteker itu
bertanya apakah saya sudah membaca Alkitab? Saya menjawab bahwa saya memutuskan
menjadi Kristen.
Dia melompat dan mulai memuji Tuhan dengan nyaring,
kemudian memeluk saya. Ia langsung menelpon suaminya. Setengah jam kemudian
suaminya tiba. Kemudian mereka membawa saya ke gereja, karena mau memperkenalkan
saya dengan pendeta.
Setelah berbicara beberapa saat dengan pendeta di
kantornya, maka ia sampai pada sebuah kesimpulan yang mengagetkan kami semua.
Pendeta itu menolak saya. Ia takut islam radikal akan menyerang gereja ketika
mendengar bahwa seorang muslim telah murtad dan menghadiri kebaktian mereka.
Ketika kami meninggalkan kantornya, saya berkata kepadanya: ”Dengar, saya tidak
khawatir tentang apa yang telah anda lakukan sekarang. Juruselamat saya akan
membantu saya dan akan menjaga saya. Walaupun kamu menolak saya, Ia tetap
setia menemani saya ke mana saja. Tetapi anda memerlukan bantuan.”
Selama setahun kemudian, saya tinggal sebagai ”Orang
Kristen Rahasia” di Mesir. Saya tidak memberitahu keluarga. Saya mengalami
banyak kesulitan dalam mencari gereja yang menerima saya. Tiga orang pendeta
mengatakan kepada saya bahwa saya tidak diterima di gereja mereka. Pada
akhirnya saya naik taksi untuk pergi ke biara yang berada jauh di gurun di luar
Kairo. Seorang biarawan bicara dengan saya di luar tembok biara yang
menyampaikan hal yang sama. Tetapi saya diberi nama seorang pendeta yang
mungkin dapat membantu.
Pada hari berikutnya saya tiba di gereja tersebut.
Pendetanya awalnya sangat keras, ia mencoba untuk memastikan bahwa saya jujur.
Ia menerima saya, dan saya datang ke gereja itu dengan berhati-hati selama
setahun. Saya berhati-hati untuk tidak menarik perhatian orang. Saya
naik bus ke gereja, alih-alih membawa mobil untuk menghindari diikuti oleh
muslim radikal. Saya tidak menceritakan kisah saya kepada anggota gereja yang
lain. Gereja besar di Mesir biasanya menempatkan polisi orang Mesir untuk
menjaga keamanan di pintu masuk. Sampai polisi terbiasa melihat saya, saya
bersembunyi di antara sekelompok orang untuk masuk dan keluar dari gereja, saya
harus yakin bahwa saya tidak akan dihentikan dan ditanyai siapa saya.
Akhirnya keluarga saya tahu. Suatu hari, tanpa
rencana, saya mengatakan yang sebenarnya pada ayah saya. Segera ayah saya
mengambil pistol revolver dari bahunya dan menembakkan lima peluru pada saya.
Dalam beberapa hari, saya meninggalkan rumah dan Mesir untuk selamanya. Itu
adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.
Saya ke Afrika Selatan dan akhirnya Amerika Serikat.
Saya membawa Alkitab apoteker bersama saya dan memilikinya hingga hari ini.
Perempuan itu membayar harga untuk menolong saya. Setelah saya meninggalkan
Mesir, muslim radikal membakar apoteknya, mencoba untuk membunuh dia. Beberapa
kristen Koptik di Mesir memberitahu saya bahwa ia dan suaminya meninggalkan Mesir
dan berimigrasi ke Kanada.
by: adrian
diolah dari Bab 1 – 3 dan Bab 20 buku “YESUS Dan MUHAMMAD: Kesamaan yang Mencengangkan dan Perbedaan yang Besar” karya Mark A. Gabriel PhD.
Baca juga sharing
lainnya: