Jumat, 16 Februari 2018

BERITA BOHONG DIPERSOALKAN, TAPI …..

Permasalahan ujaran kebencian di media sosial dan juga berita bohong sangat begitu mewarnai perjalanan bangsa Indonesia di tahun 2017. Sudah beberapa orang menjalani proses hukum karena dua hal tersebut. Di sini kami tidak mau membahas soal ujaran kebencian, sekalipun topik ini masih menyisahkan persoalan lain (hal ini pernah kami bahas dalam “Ujaran Kebencian vs Ceramah Keagamaan” di Kompasiana, 07 Juli 2017).
Dalam tulisan ini kami hanya fokus melihat persoalan berita bohong (HOAX). Sama seperti ujaran kebencian, berita bohong di media sosial juga sering menimbulkan masalah di tengah masyarakat. Para pelakunya dapat ditindak atau diproses secara hukum. Pertanyaannya, haruskah pembuat dan penyebar berita bohong ditindak dengan hukum?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, kata “bohong” memiliki arti (1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta, (2) bukan yang sebenarnya; palsu. Dengan kata lain, bohong adalah sesuatu yang tidak benar. Ada ketidak-sesuaian antara apa yang ditampilkan dengan maksud sebenarnya.
Ada banyak alasan kenapa orang membuat atau menyampaikan berita bohong. Di sini kami tidak akan membahasnya. Kami hanya fokus mempersoalkan kebohongan saja, yang di satu sisi dipersoalkan, tapi di sisi lain dibiarkan.
Kata “bohong” itu sangat dekat dengan kata “bodoh”. Karena itu, dibohongi sama artinya dengan dibodohi. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang menerima berita bohong adalah orang bodoh. Orang pintar akan mengkritisi suatu informasi; jika ketahuan itu bohong dia akan menolak atau mengabaikannya. Berbeda dengan orang bodoh. Semua informasi yang masuk diterimanya saja tanpa ada penyaringan, karena dia menilai semua itu benar adanya.