Selasa, 22 April 2014

Lustrum Guadalupe, Sei Bati - Tanjung Balai Karimun

Menjelang acara puncak lustrum, Rm. Adbaw mengadakan seminar tentang hidup doa di aula paroki Tanjung Balai Karimun

Orang Kudus 22 April: St. Soter & Kayus


SANTO SOTER DAN KAYUS, PAUS & MARTIR
Paus Soter (166-175) wafat selaku saksi iman pada tahun 175. Ia hanya memimpin Gereja selama 9 tahun. Dalam masa kepemimpinannya, ia mengeluarkan banyak peraturan, yang antara lain mengajak orang-orang Kristen menyambut Sakramen MahaKudus pada hari Kamis Putih.

Dari Santo Kayus (283-296), kita mengenal berbagai peraturan yang telah menjadi kebiasaan Gereja Purba. Tentang para calon imam, ia menerapkan peraturan untuk menerima keempat tabhisan rendah sebelum mereka ditabhiskan menjadi imam. Keempat tabhisan rendah itu ialah: penjaga pintu, lektor (pembaca), exorsis (pengusir setan) atau akolit, kemudian tabhisan subdiakon dan diakon, lalu menjadi imam dan akhirnya Uskup. Santo Kayus wafat sebagai saksi iman pada tahun 296.

(Pencerahan) Prasangka Negatif

PRASANGKA  NEGATIF

Seorang teman menulis di status facebook-nya: “Prasangka negatif adalah tetangga  yang paling dekat dengan kebodohan.” Istilah tetangga yang paling dekat merupakan istilah lain dari sama dengan. Jadi, sebenarnya teman itu mau menulis bahwa prasangka negatif itu merupakan suatu kebodohan.

Benarkah demikian?

Yesus mengajarkan kita untuk mengeluarkan balok di mata kita lebih dahulu baru kita dapat mengeluarkan selumbar di mata teman kita (Mat. 7: 3 – 5). Selumbar itu lebih kecil dari balok, namun kita melihatnya menjadi besar karena ia ada di luar diri kita. Sementara balok yang lebih besar menjadi kecil karena ia ada di diri kita. Di sini Yesus mau mengatakan bahwa setiap kita punya balok di mata kita. Hendaklah kita semua menanggalkan atau mengeluarkan balok itu sehingga kita dapat melihat sesama kita apa adanya.

Karena itu, pertama-tama harus disadari adalah bahwa setiap prasangka itu selalu negatif. Kenegatifan ini sepertinya manusiawi. Semua manusia memiliki kecenderungan melihat yang negatif.

Akan tetapi tidak selamanya prasangka negatif itu buruk atau jahat. Tidak selamanya juga prasangka negatif itu bodoh.  Sebuah prasangka itu negatif karena ia bertolak dari yang positif. Ketika orang tidak menemukan yang positif, dari situlah akhirnya muncul prasangka negatif.

Contohnya, prasangka negatif seorang isteri terhadap suaminya. Ia mengira sang suami selingkuh. Kenapa muncul prasangka ini? Bisa jadi ada perubahan sang suami. Biasanya suami pulang jam 18.300, mesrah dengan isteri, bercanda sama anak-anak, nonton bareng di ruang tamu, ada gairah di ranjang, dll. Gambaran ini merupakan gambaran positif. Namun yang terjadi akhir-akhir ini, ia pulang jam 22.00, dengan muka masam, tak ada canda dengan anak-anak, tak ada acara nonton bareng, di ranjang langsung pulas, dll. Ini adalah gambaran negatif. Nah, karena hilangnya gambaran positif inilah, sang istri akhirnya berprasangka negatif: suami ada selingkuhan. Apakah ini bodoh?

Contoh lain. Kita tentu kenal dengan Gayus HP Tambunan. Kenapa ia akhirnya dipenjara karena kasus korupsi? Semuanya berawal dari prasangka negatif. Orang tahu bahwa Gayus itu pegawai pajak golongan III-A.  Gaji PNS Golongan III-A sekitar 2 – 2,5 juta per bulan. Dengan gaji segitu siapapun dapat memberikan gambaran positifnya. Namun yang terjadi adalah Gayus memiliki uang 25 millyar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 millyar dan perhiasan senilai 14 millyar di bank atas nama isterinya. Belum lagi rumahnya yang nilainya millyaran rupiah. Ini merupakan gambaran negatif. Nah, ketika orang tidak menemukan yang positif pada diri Gayus sebagai PNS golongan III-A, orang akhirnya berprasangka negatif. Apakah ini bodoh?

Coba bayangkan jika seandainya semua orang berpikiran positip? Maka akan ada asas manfaat. Suami akan memanfaatkan kepositipan prasangka istri dengan tetap menjalankan praktek selingkuhnya. Atau Gayus akan terus meraup kekayaan yang sebenarnya untuk rakyat demi pundi-pundi dirinya dan keluarganya.

Oleh karena itu, jangan terlalu mudah dan cepat mengadili prasangka negatif sebagai suatu tindakan yang buruk atau jahat. Kecenderungan manusia adalah memvonis buruk orang yang berprasangka negatif dengan pernyataan-pernyataan seperti: cemburu, iri hati, dengki, tidak senang melihat orang bahagia, gosip, fitnah, dll. Harus disadari bahwa prasangka negatif orang itu lahir dari ketiadaan hal positip dalam diri kita.

Maka, solusi yang harus dilakukan ketika orang berprasangka negatif terhadap kita adalah membuktikan bahwa yang negatif itu salah dengan mengembalikan yang positif dalam diri kita. Dari pada energi kita habis hanya untuk mengecam orang yang berprasangka negatif, alangkah positipnya jika kita menunjukkan sisi positif kita yang telah hilang.

by: adrian

Renungan Hari Selasa Oktaf Paskah, Thn A


Renungan Hari Selasa Oktaf Paskah, Thn A/II
Bac I   : Kis 2: 36 – 41; Injil          : Yoh 20: 11 – 18;

Hari ini merupakan oktaf paskah kedua. Suasana kebangkitan masih terasa kental. Ini dapat dilihat dari bacaan liturgi, khususnya Injil. Bacaan Injil hari ini menampilkan sisi lain dari peristiwa kebangkitan Yesus. Diceritakan bahwa Maria Magdalena datang ke kubur hendak merempah-rempahi jenasah Yesus namun jenasah Yesus tidak ada. Dia hanya bertemu dengan dua malaikat yang dikiranya penjaga kubur. Bahkan ketika Yesus datang kepadanya pun, ia tetap mengira-Nya sebagai orang lain hingga Yesus menyapa namanya barulah terbuka mata imannya. Dia melihat Yesus yang bangkit. Itulah yang diwartakannya kepada para rasul.

Bacaan pertama masih melanjutkan pewartaan Petrus tentang kebangkitan Yesus. Bagi Petrus, peristiwa kebangkitan itu membuat Yesus “menjadi Tuhan dan Kristus.” (ay. 36). Hal ini dikaitkan dengan karya penebusan. Jadi, melalui peristiwa kebangkitan, Yesus yang adalah Tuhan dan Kristus, datang menebus umat manusia. Akan tetapi, penebusan ini bersikap dialogal. Dibutuhkan tanggapan atau jawaban dari manusia. Jawaban itu berupa pertobatan dan percaya.

Sabda Tuhan hari ini menyadarkan kita bahwa kebangkitan Yesus yang dirayakan dalam paskah, tidak hanya mengangkat harkat kemanusiaan Yesus menjadi Tuhan dan Kristus, melainkan juga kemanusiaan kita. Kebangkitan-Nya juga mengangkat kita dari keberdosaan kita. Itulah penebusan. Namun, sebagaimana yang dikatakan Petrus, kita dituntut untuk bertobat dan percaya kepada-Nya. Inilah yang dikehendaki Tuhan lewat sabda-Nya. Jadi, merayakan kebangkitan Yesus kita diajak untuk senantiasa bertobat agar karya penebusan lewat kebangkitan tetap bermakna.

by: adrian