Rabu, 05 September 2012

Mengatasi Kelemahan


MENGATASI KELEMAHAN
Ada sebagian manusia yang kerap  berlaku “tidak ramah” terhadap dirinya. Ketika melihat diri sendiri di depan cermin, ketika merenungkan kembali hidupnya, mereka merasa kecewa dengan apa yang mereka miliki. Mereka tidak puas dengan realita hidup mereka. Segudang kelemahan seakan terpapar di hadapan mereka.

Psikoanalis Maxwell Maltz dalam bukunya Psycho-Cybernetics menandaskan, “jangan pernah menyerah pada kelemahan-kelemahan Anda.” Kekuatan manusia sesungguhnya terletak pada penerimaannya terhadap kelemahan-kelemahannya dan berusaha bangkit menuju keberhasilan. “Sukses merupakan sebuah proses mengatasi kelemahan-kelemahan yang kita miliki, menembus padang gurun menuju padang hijau,” ujar Maltz.

Dengan berani menerima kelemahan-kelemahannya, seseorang telah menerima dirinya secara total. Bagaimanapun, manusia selalu punya kelemahan. Kelemahan seseorang berbeda dengan kelemahan orang lain. Tuhan tidak menciptakan manusia secara massal. Tuhan telah membuat setiap manusia menjadi individu yang unik.

Keunikan setiap manusia sebenarnya merupakan daya hidup yang positif. Tetapi, sebagian manusia telah merusak hidupnya dengan perasaan rendah diri karena keadaannya. Mereka telah membuat rintangan yang menghambat mereka menjadi pribadi yang bahagia. Sebagai insan yang unik, manusia tidak luput dari kelemahan. Bisa jadi kelemahan itu tampak pada penampilan fisik, bisa jadi pada kepribadian. Di manapun  letaknya, setiap manusia pasti punya kelemahan.

Namun, yang passti, setiap manusia memiliki kualitas positif tersendiri. “Jika kualitas itu masih merupakan harta terpendam, ambillah sekop dan tembilang. Galilah semua keluar. Perlihatkan semua kepada diri sendiri sehingga Anda bisa menghargainya dan menggunakannya sebagai kekuatan,” pesan Maltz.

Erich Fromm dalam bukunya “The Art of Loving” mengingatkan bahwa manusia dianugerahi pertimbangan akal. “Dia bertahan hidup karena menyadari dirinya sendiri, dia memiliki kesadaran akan dirinya sendiri, sesamananya, masa lalunya dan kemungkinan masa depannya.”

sumber: HIDUP, 13 April 2008, hlm 19

Orang Kudus 5 September: St. Laurensius Giustiniani


SANTO LAURENSIUS GIUSTINIANI, USKUP & PENGAKU IMAN
Sejak masa remajanya Laurensius bercita-cita melayani Tuhan. Kesucian hidup sudah menjadi cita-cita yang terus membakar hatinya. Sekali peristiwa ia mendengar suatu suara ajaib berkata, "Ketentraman batin yang engkau dambakan hanya ada di dalam Aku, Tuhanmu." Suara itu semakin memacu dia untuk lebih dekat pada Tuhan. Sejak itu segala hal duniawi tidak berarti lagi baginya. Tuhanlah satu-satunya yang mengisi relung-relung hatinya. Desakan orang tuanya untuk mengawinkan dia tidak lagi digubrisnya. Satu-satunya pilihan bagi dia adalah mengikuti Kristus yang tersalib. Kepada Yesus, ia berkata, "Engkaulah ya Tuhan satu-satunya cita-citaku."

Laurensius masuk biara kanonik dari Santo Joris di Pulau Alga. Di sanalah ia hidup lebih dekat dengan Tuhan dalam matiraganya, doa dan pekerjaan harian. Hanyalah sekali ia pulang ke kampung halamannya ketika ibunya meninggal dunia. Pekerjaan yang ditugaskan kepadanya ialah mengemis-ngemis makanan di kota untuk seluruh penghuni biara. Tugas ini dilaksanakannya dengan penuh kegembiraan dan kesabaran demi Yesus yang tersalib.

Pada tahun 1406 ia ditahbiskan menjadi imam dan 27 tahun kemudian diangkat menjadi uskup di Kastello. Administrasi keuskupan dipercayakannya kepada orang lain dengan maksud agar dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada pelayanan dan pemeliharaan umatnya. Laurensius yang saleh ini kemudian diangkat menjadi Patrik pertama di Venesia.

Di dalam kebesarannya ia tetap seorang uskup yang sederhana dan rendah hati. Ia terus menolong orang-orang miskin meskipun hal itu kadang-kadang membuat dia harus berutang pada orang lain. Ia percaya penuh pada penyelenggaraan ilahi: "Tuhan yang maha agung yang akan melunaskan utang-utangku."

Ketika ajalnya mendekat, Laurensius tidak mau berbaring di atas tempat tidur yang empuk. Ia menyuruh pembantu-pembantunya agar membaringkan dia di atas papan yang biasa digunakannya. Ketika ia meninggal dunia, jenazahnya disemayamkan selama dua bulan lamanya di dalam kapel biara. Badannya tidak rusak bahkan menyemburkan bau harus yang semerbak bagi setiap pengunjungnya. Laurensius wafat pada tahun 1455.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Biasa XXII - Thn II

Renungan Hari Rabu Pekan Biasa XXII B/II
Bac I  1Kor 3: 1 – 9; Injil       Luk 4: 38 – 44

Setelah peristiwa rumah ibadat, Yesus bersama para murid-Nya pergi ke rumah Simon. Di sana terjadi lagi suatu mujizat: demam ibu mertua Simon hilang setelah dihardik Yesus. Tentu peristiwa ini menjadi daya tarik tersendiri. Karena itu dalam waktu sekejap datanglah banyak orang ingin disembuhkan.

Apa yang telah dilakukan Yesus sangat menyenangkan masyarakat sekitar situ. Oleh karenanya adalah wajar jika mereka ingin menahan Yesus tetap tinggal bersama mereka. Alasannya, mereka hanya mau menikmati kebaikan Yesus; dan hanya mereka saja.

Akan tetapi Yesus menolak pemikiran mereka. Kebaikan-Nya harus juga dirasakan dan dinikmati oleh orang lain. Kebaikan Yesus tidak hanya terbatas pada satu kelompok saja. Maka dari itu Yesus berkata, "Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus." (ay. 43).

Lewat peristiwa ini Tuhan mau mengajak umat untuk tidak bersikap egois, hanya mau mementingkan kepentingan diri atau kelompoknya sendiri. Sering umat mengalami "kebaikan" dari seorang pastor di paroki. Dan hal ini membuat umat suka padanya sehingga merasa berat bila pastornya itu dipindahkan ke paroki lain.

Tuhan mau agar umat bersedia berbagi "kebaikan" dari orang yang terlah berbuat baik padanya. Tuhan menghendaki agar umat tidak memonopoli "kebaikan" itu hanya untuk diri atau kelompoknya saja. Merelakan dengan ikhlas "kebaikan" pergi agar bisa dirasakan dan dinikmati orang lain berarti kita sudah turut menebarkan dan menyebarkan kebaikan itu sendiri.

by: adrian