Sabtu, 28 September 2013

Mencari Sosok Presiden Idaman

Tak bisa dipungkiri, sosok Presiden Susilo B Yudhoyono (SBY), di masa keduanya, adalah sangat buruk. Ke-buruk-an itu bukan hanya terlihat dalam diri pribadi SBY saja melainkan juga dalam kehidupan perpolitikan. Publik mengetahui kalau presiden kita saat ini sangat lemah. Kasus perbatasan dengan Malaysia, kasus GKI Yasmin dan Ahmadiah, kasus Mesuji, kasus korupsi dan rekening gendut di Polri, dan masih banyak kasus lain yang tak pernah selesai menunjukkan betapa presiden sangat lemah. Ke-lemah-an presiden juga tampak dari aksi curhatnya di media. Selain itu juga kita tahu soal kebohongan yang pernah dikemukakan para aktivis pada 10 Januari 2011.
Karena lemahnya pribadi SBY membuat perpolitikan negeri ini menjadi karut marut. Contoh-contoh di atas adalah buktinya. Segala masalah yang ada bisa sedikit berkurang bila presiden memiliki sikap tegas dalam bertindak dan dalam berpihak.
Keprihatinan inilah yang mendasari tulisan ini untuk mencari kriteria apa yang cocok buat sosok Presiden RI di masa depan.

12 Kriteria Sosok Presiden
Ada banyak kriteria yang bisa diajukan untuk mencari sosok anggota dewan yang ideal. Dalam tulisan ini akan diberikan 12 kriteria.
a.        Takut akan Tuhan
Ketika mengikuti pencalonan Gubernur Bangka Belitong 2007, Basuki T Purnama[1]  memilih satu slogan kampanye yang berbunyi “takut akan Tuhan”. Slogan ini didasarkan pada Kitab Suci[2]. Orang yang takut akan Tuhan akan menjauhi kejahatan, sehingga ia terhindar dari maut (baca: jerat hukum). “Takut akan Tuhan” mau menunjukkan kualitas keberimanan seseorang. Karena itu, sikap “takut akan Tuhan” ini hendaknya dimiliki oleh presiden kita kelak.
b.        Ksatria
Ksatria bukan cuma sikap berani tanpa perhitungan, tetapi berani dengan bijaksana. Sifat ksatria berarti bukan hanya hebat dalam perang dengan kemenangan gilang gemilang, melainkan juga dengan jujur dan lapang dada mau mengakui kekalahan dan kelemahannya. Kekalahan atau kelemahan tak perlu ditutupi dan keunggulan lawan harus diakui. Salah satu bentuk sifat ksatria adalah mundur dari jabatan.
c.         Jujur, Adil dan Tegas
Masih segar dalam benak kita tindakan nekad Pong Harjatmo pada 30 Juli 2010 dengan membubuhkan tulisan di atap gedung DPR: Jujur, Adil, Tegas. Meski aksi Pong ini ditujukan ke anggota dewan, namun pesannya kena juga ke presiden saat ini. Karena itu, pada awal tahun 2011 muncul pernyataan 18 kebohongan pemerintahan SBY dari tokoh lintas agama. Semua itu berakar pada ketidak-tegasan SBY sehingga dalam bertindak dan bersikap dia berlaku tidak adil. Dan ketidak-adilan dan ketidak-tegasan itu ditutup dengan kebohongan. Oleh karena itu, sosok presiden masa depan harus memiliki ketiga sifat di atas. Sosok presiden yang tegas dapat kita lihat dalam diri Bung Karno.
d.        People Oriented
Model pemilihan presiden kita saat ini sudah jauh berbeda dari jaman Suharto. Presiden sekarang langsung dipilih oleh rakyat. Sebagai wujud terima kasih atas kepercayaan rakyat, maka hendaknya presiden terpilih lebih memperhatikan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat, khususnya yang kecil dan terpinggir, harus mengalahkan kepentingan partai. Sikap people oriented berarti presiden mengabdikan dirinya secara total untuk kepentingan rakyat. Sebagai seorang pemimpin, sudah sepantasnya presiden meninggalkan politik pencitraan diri. Dave Ulrich, dalam wawancaranya dengan KOMPAS awal Maret lalu berkata, “Pemimpin yang baik harus mengurangi perhatian kepada diri sendiri..., dan lebih banyak melayani yang lain.”[3] Pada kriteria ini, menjadi calon yang ideal untuk presiden masa depan adalah Bapak Jokowi dan Bapak Ahok.
e.         Bermoral
Moral merupakan pedoman yang mengatur manusia untuk melakukan yang baik dan menghindar yang buruk.[4] Sangat diharapkan di masa depan presiden memiliki moralitas sehingga mereka dapat menghindar hal-hal yang buruk dan berusaha melakukan hal yang baik demi kesejahteraan masyarakatnya. Sekalipun bermoral, presiden hendaknya jangan jatuh ke dalam tindakan sok moralis alias munafik.
f.         Cerdas berhati nurani
Tentulah diharapkan agar presiden itu harus memiliki kecerdasan yang mumpuni agar tidak malu-maluin dalam kancah politik dunia. Kecerdasan, selain sebagai sarana yang memudahkan untuk berkomunikasi, dapat juga membantu untuk bersikap kritis terhadap masalah yang dihadapi. Namun hendaknya tidak hanya berhenti pada cerdas otak, tetapi juga harus cerdas hati. Untuk itu dia harus memiliki hati nurani yang bisa mengajaknya untuk berempati dan bersolidaritas dengan korban.
g.        Berani berkorban
Yesus pernah menasehati murid-Nya, yang kelak akan menjadi pemimpin, agar tidak seperti pimpinan duniawi pada umumnya yang memerintah rakyatnya dengan “tangan besi”. Sebaliknya “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."[5] Memberikan “nyawa” berarti mau berkorban demi rakyat. Inilah yang diharapkan pada presiden kelak.
h.        Rendah hati
Sosok presiden di masa yang akan datang hendaknya memiliki sikap rendah hati. Kriteria rendah hati ini tidak hanya tampak dalam penampilan melainkan juga dalam sikap dan tutur kata. Contoh profil rendah hati terlihat dalam diri Bapak Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN, dan juga Bapak Jokowi, Bupati Solo. Sikap ini akan memangkas jarak anggota dewan dengan rakyat.
i.          Arif
Kearifan tumbuh di atas kerendahan hati. Sikap ini akan menuntun orang untuk dengan benar memilih tindakan yang harus diterapkan.[6] Atau dengan kata lain, mampu membaca masa depan dan menetapkan arah yang positif. Dengan sikap ini, tentulah presiden dapat terhindar dari praktek-praktek tak terpuji.
j.          Berpengalaman
Yudi Latief pernah mengungkapkan salah satu kriteria pemimpin yang baik, yang dapat diterapkan dalam sosok presiden masa depan adalah pengalaman. Menurutnya seorang pemimpin harus memiliki jabatan pemimpin atau setingkatnya dalam organisasi tertentu.[7] Pengalaman berorganisasi inilah yang bisa dijadikan modal untuk mengatur dan mengelola bangsa ini.
k.        Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban atas janji-janji yang telah diucapkan kepada orang lain. Istilah sederhananya, bagaimana kita membuktikan janji-janji yang dibuat menjadi kenyataan.[8] Sebagai bentuk akuntabilitasnya, presiden harus membuat laporan terbuka, baik melalui situs resmi pemerintah maupun lewat media massa, tentang kerja yang sudah dilakukannya.
l.          Mencintai rakyat
Dr Haryono Umar, dalam tulisannya di Tempo Interaktif, menilai bahwa pemimpin yang didambakan masyarakat adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya.[9] Pemimpin dengan kriteria ini akan selalu membuat kebijakan pro rakyat. Dengan kriteria ini maka presiden di masa depan tidak akan “menjual” bangsanya ke negara lain atau juga tidak mau dikendalikan oleh kekuatan asing.
Demikianlah beberapa buah pikiran untuk mewujudkan adanya sosok presiden yang ideal demi terciptanya perubahan yang lebih baik bagi bangsa ini. Namun di atas semuanya itu, political will menjadi mutlak dibutuhkan. Tanpa adanya kemauan dan usaha, semuanya menjadi percuma. Dan ini semua ditentukan juga oleh rakyat yang memilih.
Tanjung Balai – Karimun, 20 Maret 2012
by: adrian




[1] Dikenal sebagai Ahok, yang dinobatkan majalah TEMPO sebagai salah satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia (2006). Dan pada 2007 ia dinobatkan sebagai Tokoh Anti Korupsi dari penyelenggara negara oleh Gerakan Tiga Pilar Kemitraan.
[2] Ada banyak sumber Kitab Suci, khususnya dari Perjanjian Lama, yang mendasari slogan “Takut akan Tuhan”. Yang bisa disebut di sini misalnya Mazmur 25: 12; 111: 10 dan Amsal 8: 13; 14: 27 dan 16: 6
[3] KOMPAS, 14 Maret 2012, hlm 18
[4] Bdk. Sonny Keraf, Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 20
[5] Markus 10: 42-45
[6] Dr. William Chang, Menggali Butir-Butir Keutamaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002, Hlm 36-37
[7] Briko Alwiyanto, “15 Pemimpin Muda Berpengaruh”, dlm  Kompas.com, 16 Desember 2008, 17:20 WIB
[8] Yulia Permata Sari, “Empat Kunci jadi Pemimpin Sukses”, dlm Media Indonesia.com, 8 Maret 2010, 15:30 WIB
[9] Dr. Haryono Umar, “Pemimpin yang Mencintai Rakyat”, dlm Tempo.co, 2 Desember 2008, 15:51 WIB

Orang Kudus 28 September: St. Eustakia

santa eustakia, perawan
Eustakia adalah puteri bungsu Santa Paula, janda seorang bangsawan Romawi. Ia dikenal sebagai gadis Romawi pertama yang mengikrarkan kaul kemurnian hidup bagi Kristus. Oleh Santo Hieronymus, pembimbing rohaninya di Betlehem, Eustakia diberi julukan “Bunga para Gadis.”

Ketika ibunya, Paula, meninggalkan segala-galanya dan berangkat ke Palestina untuk mengurbankan hidupnya demi Kristus dan kepentingan sesama, Eustakia menemaninya. Ia mau menjadi seperti ibunya dalam hal pengabdian kepada Kristus dan sesama. Di Palestina mereka berdua bersama-sama mengunjungi berbagai tempat suci yang pernah disingahi Kristus semasa hidup-Nya. Paula, ibunya, mendirikan sebuah biara di Betlehem dan Eustakia menjadi salah satu anggota biara itu.

Sepeninggal ibunya, Eustakia menjadi pemimpin biara itu di bawah bimbingan Santo Hieronymus. Sebagai pemimpin biara, Eustakia benar-benar menunjukkan teladan hidup yang cemerlang dalam mengamalkan segala kebajikan kristiani demi kemuliaan Kristus.

Santo Hieronymus sangat mengagumi cara hidup Eustakia. Ada beberapa surat yang ditulisnya kepada Eustakia untuk menunjukkan kekagumannya pada cara hidup Eustakia. Dalam salah satu suratnya ia menulis, Eustakia, anakku dan adikku yang terkasih di dalam Kristus, Tuhan! Umurku dan kasih sayangku memperkenankan aku menggunakan kata-kata seperti itu. Sesungguhnya Tuhan telah menciptakan engkau untuk menjadi orang terkemuka di antara para gadis Romawi. Oleh karena itu, berjuanglah sekuat tenagamu agar tugasmu yang suci mulia itu kauselesaikan sampai tuntas di dalam nama Kristus Tuhan kita. Kiranya kebahagiaan yang telah kauperoleh dari Kristus, tidaklah hilang karena kebodohan yang hanya menuntut pengorbanan yang setengah-setengah.”

Sebaiknya cara hidup Eustakia menjadi dorongan moril yang besar bagi Santo Hieronymus dalam usahanya menyelesaikan terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin. Setelah mengabdi Tuhan dalam waktu yang cukup lama, Eustakia meninggal dunia pada tahun 419. Tidak lama kemudian Santo Hieronymus pun menyusul dia ke dalam kebahagiaan surgawi yang tak kunjung berakhir.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Sabtu Biasa XXV-C

Renungan Hari Sabtu Biasa XXV, Thn C/I
Bac I   : Za 2: 15, 10 – 11a; Injil         : Luk 9: 43b 45

Bacaan Injil hari ini diawali dengan informasi keheranan umat atas mujizat yang dilakukan Yesus, yaitu mengusir roh jahat dari seorang anak muda. Ketakjuban itu semakin bertambah karena para rasul, yang sebelumnya sudah menerima kuasa dari Yesus, tidak dapat menyembuhkan anak itu. Karena itulah, setelah anak itu sembuh, “takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah.” (ay. 43a).

Umat melihat Allah hanya dari sisi kebesaran saja. Karena itu, Yesus mengungkapkan sisi lain dari Allah, yaitu penderitaan. Kepada para rasul-Nya, Yesus berkata bahwa “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.” (ay. 44). Para rasul tidak mengerti akan hal ini. Mereka tidak bias menerima kalau Allah yang hebat itu harus diserahkan ke dalam tangan manusia, yang artinya hidup menderita.

Gambaran Allah yang menderita ini bukan saja tidak bisa diterima oleh para rasul. Sampai saat ini pun masih ada orang yang tidak percaya kalau yang disalib itu itu adalah Yesus. Mereka ini menggunakan cara piker manusia, yaitu kalau Tuhan itu maha kuasa, maka Ia dapat lolos dengan mudah dari penderitaan. Hanya manusia saja yang menderita. Sabda Tuhan hari ini menghendaki agar kita tidak takut akan penderitaan. Lewat sabda-Nya Tuhan mau mengatakan pada kita bahwa di saat kita mengalami penderitaan, kita tidaklah sendirian. Dia juga pernah menderita. Dan lebih dari itu Tuhan hadir di tengah-tengah kita (Za 2: 10 – 11).

by: adrian