Jumat, 10 Juni 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH ASY-SYUARA AYAT 196

 


Dan sungguh, (Al-Qur’an) itu (disebut) dalam kitab-kitab orang yang terdahulu. (QS 26: 196)

Publik sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga sebagai wahyu Allah. Karena Allah itu maha benar, maka benar pula apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu, Al-Qur’an dinilai suci karena Allah adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an berarti juga penghinaan terhadap Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi bentuk hukuman bagi mereka yang menghina Allah (QS al-Maidah: 33).

Al-Qur’an dikenal juga sebagai kitab atau keterangan yang jelas. Kata “jelas” di sini dimaknai bahwa apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an harus dimaknai secara lugas. Dengan kata lain, ketiga Allah berbicara, Allah tidak menggunakan kata-kata kias. Karena itu, kata “membunuh” harus dipahami dengan tindakan menghilangkan nyawa seseorang, tidak ada makna lain. Demikian pula dengan kata “perang” atau “jihad”. Memang tidak semua perkataan Allah itu selalu bermakna lugas. Ada beberapa yang memiliki makna kias, terlebih kata-kata yang berkonotasi seksual. Misalnya, kata “bercampur” dimaknai dengan bersetubuh. Sekalipun memakai makna kias, tetap saja perkataan Allah itu mudah dipahami, karena Allah sendiri sudah berfirman bahwa diri-Nya telah memudahkan Al-Qur’an supaya mudah dipahami.

Berangkat dari premis-premis di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa kutipan di atas tidaklah sepenuhkan merupakan perkataan Allah. Dua kata yang berada di dalam tanda kurang, yaitu “Al-Qur’an” dan juga “disebut”, harus diakui sebagai tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Aslinya wahyu Allah ini berbunyi sebagai berikut: “Dan sungguh, itu dalam kitab-kitab orang yang terdahulu.”

Ketika wahyu Allah berada dalam bentuk aslinya, maka yang dijumpai adalah ketidak-jelasan makna. Dengan demikian, ia bertentangan dengan wahyu Allah sendiri, yang menyatakan Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas. Membaca kutipan ayat di atas dalam bentuk aslinya hanya menemui ketidak-jelasan. Apa yang dimaksud dengan “itu” dan siapa yang dimaksud dengan “orang-orang yang terdahulu”. Sungguh tidak jelas. Ketidak-jelasan ini akhirnya melahirkan kebingungan bagi umat islam di kemudian hari. Akhirnya, dengan inisiatif mereka kemudian menambahkan dua kata pada wahyu Allah tersebut, yaitu kata “Al-Qur’an” dan “disebut”. Dengan penambahan itu maka wahyu Allah menjadi mudah dipahami, yakni bahwa Al-Qur’an sungguh disebut dalam kitab-kitab orang yang terdahulu. Tentang frase terakhir, umumnya dipahami sebagai orang Yahudi dan Nasrani, sehingga kitabnya adalah Taurat dan Injil.