Senin, 20 November 2017

HALANGAN DAN LARANGAN MENIKAH

Semua orang memang punya hak untuk menikah. Namun karena menikah itu merupakan tindakan hukum, maka hanya mereka yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah (kan. 1058). Hukum pernikahan katolik mengenal adanya halangan dan larangan. Larangan dan halangan nikah tidak untuk menghapus hak orang untuk menikah, tapi untuk mengatur pelaksanaannya demi terwujudnya sebuah pernikahan yang sah (valid) dan halal (layak).
Larangan nikah tersebar dalam KHK antara lain kan. 1071, 1077, 1102, 1124, 1130 dan 1684. Larangan tidak menghalangi secara mutlak seseorang untuk menikah. Larangan ini dituntut demi halalnya sebuah pernikahan. Pelanggaran terhadap larangan membuat pernikahan tidak halal, meski tetap sah. Pasutri telah menikah resmi dan dapat mengurus akta nikah di catatan sipil, karena negara hanya melihat validitas pernikahan yang sesuai dengan ketentuan hukum agama (bdk. UU no 1 thn 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat 1).
Larangan nikah tidak hanya dikenakan kepada calon pasutri saja, melainkan juga peneguhnya (pastor paroki, imam atau diakon). Umumnya ada 2 faktor penyebab orang melanggar larangan ini, yakni ketidak-tahuan dan kesengajaan karena terdesak. Untuk mendapatkan kehalalan pernikahan yang dilarang, maka pasutri harus memenuhi kembali ketentuan hukum yang dilanggar. Untuk menghapus larangan nikah sehingga orang bisa menikah secara halal, dibutuhkan izin khusus dari Ordinaris Wilayah. Yang termasuk Ordinaris Wilayah adalah Uskup, Vikjen dan Vikep (kan. 134 §2).
Berikut ini beberapa pernikahan yang dilarang dalam Gereja Katolik adalah: (1) menikah dengan orang pengembara, (2) menikah dengan orang yang pernah kumpul kebo, (3) pernikahan orang yang pernah murtad, (4) pernikahan orang yang terkena sanksi hukuman gerejawi, (5) pernikahan anak yang belum dewasa, (6) pernikahan lewat pengantara, (7) pernikahan beda Gereja.

by: adrian