Selasa, 29 Juli 2014

Orang Kudus 29 Juli: St. Simplisius, Faustinus & Beatriks

SANTO SIMPLISIUS, FAUSTINUS & SANTA BEATRIKS, MARTIR
Ketiga bersaudara ini adalah warga kota Roma yang telah menganut agama Kristen. Mereka dibunuh karena imannya sekitar tahun 303 – 304. Menurut cerita, Simplisius dan Faustinus dianiaya dan dipancung kepalanya karena tidak mau meninggalkan imannya kepada Kristus. Mayat keduanya dibuang ke dalam sungai Tiber.

Beatriks, saudari mereka, berusaha menemukan kembali jenazah Simplisius dan Faustinus di sungai Tiber dan menguburkannya di pekuburan Generosa di jalan ke Porto. Tujuh buan kemudian, Beatriks sendiri ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian ia dihukum mati di penjara pada tanggal 11 Mei. Jenazahnya dikuburkan oleh orang-orang Kristen lainnya.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun, hlm 368
baca juga riwayat orang hari ini
St. Martha

(Pencerahan) Dalam Genggaman Penguasa

DALAM GENGGAMAN PENGUASA

Di dunia ini penguasa itu identik dengan pemegang kuasa. Ada banyak kuasa di dalam genggaman tangannya, yang dapat menentukan nasib orang lain. Memang tetap harus diakui bahwa hidup mati ada dalam kuasa Tuhan, meski dalam arti tertentu dapat juga dipindahkan ke tangan manusia yang memiliki kuasa tadi.

Kalau penguasa alam semesta itu hanya ada satu, yaitu Tuhan Allah, maka penguasa di dunia ini ada banyak, tergantung bidangnya. Untuk sebuah negara, penguasanya adalah kepala pemerintah, meski teorinya mengatakan bahwa rakyatlah pemilik kuasa itu. Di bidang hukum, hakimlah penguasanya. Dialah pemegang keputusan bersalah atau tidaknya seseorang.

Untuk lingkup Gereja, misalnya di keuskupan, pemegang kuasa itu adalah uskup. Inipun masih ada catatannya, yaitu bahwa menurut teorinya kekuasaan dalam Gereja itu berarti pelayanan dan pengabdian. Tapi, itu lebih pada teori. Karena, sebagaimana lazim terjadi, tidak banyak teori sejalan dengan prakteknya.

Karena dengan kuasa yang dimiliki itu, sang penguasa dapat menentukan nasib orang lain, maka wajar bila banyak orang berusaha dan berjuang agar bisa dekat dengan penguasa. Kedekatan ini tentulah akan berdampak positip baginya. Dan supaya bisa dekat dengan sang penguasa itu, berbagai cara pun dilakukan. Salah satunya adalah menjilat. Dari sinilah muncul istilah ABS (Asal Bapak Senang).

Ada banyak manfaat yang diperoleh dari kedekatan relasi dengan penguasa ini. Salah satunya adalah perlindungan. Dengan adanya perlindungan, orang akan merasa aman dan nyaman. Apapun tindakannya, bahkan salah sekalipun, orang tetap dilindungi berkat perlindungan tadi. Karena itu, orang salah bisa jadi tidak disalahkan. Jika melakukan hal yang benar, maka pujian akan melambung tinggi melampaui langit, meski sebenarnya biasa-biasa saja. Ada banyak orang lain melakukan hal yang serupa, bahkan mungkin lebih lagi, namun tidak mendapat apresiasi karena tidak adanya kedekatan relasi dengan penguasa. Sekali lagi, ini semua karena kedekatan dengan penguasa.

Di negara, pelaku kejahatan (entah itu narkoba, korupsi atau lainnya) dapat melenggang bebas berkat adanya relasi yang dekat dengan penguasa. Di keuskupan, imam-imam bermasalah tidak akan dipermasalahkan karena kedekatannya dengan uskup. Malah mungkin ia akan dibela dan justru orang lain yang menjadi biang permasalahan. Akan tetapi, jika tidak punya relasi dekat dekat dengan uskup, imam bermasalah tetap menjadi masalah, dan ia akan dipermasalahkan.

Sungguh, enaknya punya relasi dekat dengan penguasa. Orang yang salah jadi tidak dipersalahkan dan orang bermasalah menjadi tidak dipermasalahkan. Semua itu berkat kedekatan relasi dengan sang penguasa. Namun, ini hanya terjadi di dunia. Jauh berbeda dengan di akhirat atau di hadapan Tuhan Allah, karena Sang Penguasa Agung adalah Hakim yang jujur dan adil. Tuhan tidak akan berkompromi dengan kesalahan atau kejahatan, meski bagi-Nya selalu terbuka pintu tobat.
Jakarta, 17 Juni 2014

Renungan Hari Selasa Biasa XVII - Thn II

Renungan Hari Selasa Biasa XVII, Thn A/II
Bac I    Yer 14: 17 – 22; Injil             Yoh 11: 19 – 27;

Bacaan pertama hari ini menampilkan “curhatan” Allah dan umat-Nya. Dalam kitabnya, Yeremia menyampaikan bahwa Allah sangat kecewa pada umat pilihan-Nya, yaitu bangsa Israel. Kekecewaan Allah itu dilukiskan dengan ungkapan menangis siang dan malam tiada hentinya. Allah meratapi umat-Nya karena mereka telah menyimpang. Akan tetapi, umat Israel juga menyadari akan keberdosaannya. Mereka berharap agar Tuhan tidak menjatuhkan hukuman yang berat atas mereka karena perbuatan jahat mereka. Hanya kepada Tuhan Allah saja mereka dapat berharap, karena memang DIA-lah pengharapan mereka. Di balik pengharapan ini terlihat bahwa mereka percaya kepada Allah.

Gambaran Nabi Yeremia ini terlihat juga dalam Injil hari ini, secara khusus dalam komunikasi antara Tuhan Yesus dan Martha. Diceritakan bahwa saat itu Martha sedang bersedih karena kematian Lazarus, saudaranya. Ketika ia mendengar bahwa Tuhan Yesus datang, ia segera menemui-Nya dan menyampaikan harapannya. Martha berharap sekiranya Tuhan Yesus ada saat itu, tentulah saudaranya itu tidak mati. Akan tetapi, Yesus memenuhi harapannya itu, karena ia adalah pengharapan itu. “Akulah kebangkitan dan hidup.” (ay. 25), kata Yesus. Dan di balik harapan Martha, terbersit kepercayaannya.

Sabda Tuhan hari ini mau menyatakan kepada kita bahwa ada hubungan antara harapan dan sikap percaya. Harapan membuahkan sikap percaya. Dan sikap percaya melahirkan sikap berserah. Sikap-sikap inilah yang hendaknya dihidupi oleh kita. Melalui sabda-Nya Tuhan menghendaki supaya kita senantiasa menaruh harapan dan percaya kepada Tuhan. Pada Tuhan-lah harapan kita serahkan dan kita bercaya Dia akan menjawabnya.

by: adrian