Sabtu, 25 Desember 2021

MERAYAKAN NATAL, MERAYAKAN IMAN DAN SYUKUR

 

Natal sebagai Peristiwa Iman

Natal merupakan peristiwa iman. Pusat imannya adalah Yesus Kristus. Yesus, yang adalah Allah, turun ke dunia menjadi manusia. Yohanes, dalam Injilnya, berkata, “Firman telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita.” (Yoh 1: 14). Inilah yang dikenal dengan istilah inkarnasi. Jadi, inti iman dalam peristiwa natal adalah inkarnasi.

Kenapa peristiwa inkarnasi, bagi umat kristiani, disebut sebagai peristiwa iman? Orang Kristen percaya bahwa Allah itu mahakasih dan mahakuasa. Karena kasih-Nya, Allah ingin menyelamatkan manusia. Allah menyelamatkan manusia melalui cara Allah, yaitu menjadi manusia dan tinggal di antara manusia.

Banyak orang tidak bisa menerima fakta, yang bagi kaum nasrani dikenal sebagai kebenaran iman, bahwa Allah menjadi manusia. Fakta ini tidak bisa dimengerti oleh akal budi manusia. Bagaimana mungkin Allah yang mahakudus hadir dalam diri manusia yang lemah dan penuh cacat cela? Bagi mereka, yang ilahi tidak bisa bersatu dengan yang fana dan duniawi. Karena itulah, banyak orang menolak kebenaran iman ini. Malah mereka menilai bahwa hal tersebut – Allah menjadi manusia – adalah dosa (menyekutukan Allah). Terlihat jelas bahwa mereka menolak hanya karena otak mereka tidak sanggup memahaminya.

Berbeda dengan orang kristen. Para pengikut Kristus ini tidak melihat peristiwa inkarnasi sebagai peristiwa akali semata, melainkan lebih pada peristiwa iman. Bagi orang kristiani otak manusia itu sangatlah terbatas. Sehebat dan segenius apapun manusia, otaknya memiliki keterbatasan. Ia tidak mampu memahami segala-galanya, apalagi Allah yang mahakuasa. Keterbatasan otak inilah yang akhirnya diimbangi dengan iman. Maka, di saat budi tak mampu memahami, iman berperan. Dengan iman ini orang berkata, "Aku percaya sekalipun aku tidak tahu apa-apa."

Bagi umat nasrani, dalam peristiwa natal (kelahiran Yesus) terlihat bukan saja Allah mengasihi umat manusia, melainkan juga Allah yang mahakuasa. Karena Allah itu mahakuasa, ia dapat mengatur rencana penyelamatan-Nya sesuai kehendak-Nya. Karena kemahakuasaan-Nya, Allah bisa menjadi apa dan siapa saja menurut yang dimaui-Nya. Paulus, dalam suratnya yang pertama kepada umat di Korintus, menulis, “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasehati Dia?” (ay. 16). Tidak ada satu manusia di dunia ini yang mengetahui jalan pikiran Allah sehingga bisa mengatur-atur rencana Allah.