Sabtu, 29 Juni 2013

(C E R P E N) Semalam di KM Bukit Siguntang

SEMALAM DI KM BUKIT SIGUNTANG

Namanya Vera Monica. Apakah itu nama asli atau bukan, aku tidak peduli. Apalah arti sebuah nama! Umurnya, menurut perkiraanku, sekitar 25 tahunan, Mungkin lebih sedikit. Yang jelas tidak lebih dari tiga puluh. Masih muda dan cantik. Rambutnya dipotong pendek model Demi Moore (era awal 90-an), selaras dengan postur tubuhnya yang tinggi langsing. Di antara teman-temannya ¾ semua berjumlah enam orang (cewek semua) ditambah satu orang bapak ¾ dia dianggap sebagai leader (mereka menyebutnya Mak Geng). Barangkali karena faktor usia dan postur tubuhnya tadi.
Kami berkenalan di atas kapal Bukit Siguntang. Ternyata kami sama-sama naik dari pelabuhan Kijang dan tujuan pun sama, yaitu Tanjung Priok. Vera bersama rombongannya tidur di lantai dek lima beralas tikar yang mereka beli dari pedagang yang selalu lalu lalang sebelum kapal berangkat. Aku juga tidur di lantai, tapi bukan dek lima. Persisnya di putaran tangga, pertengahan antara dek empat dan lima. Antara tempatku dan rombongan Vera tak ada batasan. Karena itulah dengan mudah aku memperhatikan mereka, termasuk bila ada yang lagi ganti pakaian. Dari aktivitas memperhatikan inilah akhirnya aku berkenalan dengan Vera.
Sejak kapal berlayar, meninggalkan pelabuhan Kijang, pukul 11.00, aku selalu berada dalam rombongan itu. Aku tak peduli dengan tasku di bawah, meski aku tahu kapal Bukit Siguntang kaya dengan pencuri dan pencopetnya. Mungkin lantaran aku berada di antara cewek-cewek. Pemberitahuan makan siang oleh petugas kapal tidak kami gubris, soalnya ada persediaan. Kami asyik ngobrol, asyik ngegombal sambil bermain kartu. Mulai empat satu sampai song.[1] Ketawa  cekikian  selalu  keluar dari selah bibir mereka yang rata-rata bergincu. Vera juga bergincu, namun warnanya tak senorak beberapa temannya: Pinta, Neneng, Elin, Lusi, Desi dan Fitri. Gincu Vera berwarna coklat muda, serasi dengan warna bibirnya.
Kami bermain hingga pukul 14.15, sampai satu per satu dari kami tergeletak di atas tikar. Tinggal aku dan Vera. Aku berdiri menghampiri Vera, yang sudah dari tadi duduk di tangga menuju dek enam. Ia mengeluarkan sebatang Sempurna Mild, lantas menyelipkan di sela bibirnya. Aku segera menyalakan rokok itu dengan mancisku. Dalam perhitunganku, ini mungkin rokok ke enam belas sejak kami ngobrol bersama. Hebat benar nih cewek, pikirku.
“Ke atas, yuk,” ajakku. “Sambil hirup udara segar. Dari tadi kita di sini terus hirup asap rokok. Sumpek.”
“Lagi malas, bang!” Ujarnya tanpa memperhatikan aku. Segumpal asap rokok keluar dari mulutnya disusul isapan dalam. Tak lama kemudian gumpalan asap keluar dari dua lubang hidungnya berbarengan dengan yang keluar dari sela bibirnya. Aku menggeleng-geleng kecil kepalaku agar tak terlihat olehnya reaksiku atas aksinya itu.
Vera menatap ke arah teman-temannya yang sudah pada tiduran.  Lusi dan Desi tidur berpelukan. Fitri tidur telentang. Kaki kanannya menindih pinggul Pinta yang tidur miring berbantalkan lengannya. Neneng tidur menantang, siap untuk digagahi, kata Vera. Kami berdua tersenyum saja. Sementara di barisan paling ujung, seorang bapak tidur sambil memeluk seorang gadis, yang hingga saat itu belum kuketahui identitasnya. Tapi mereka masuk rombongan Vera.
“Ntar malam aja, bang.”
“Jam berapa?”
“Ya..., sekitar jam sembilanan lah.”
***
Ning – nong – ning ....., terdengar bunyi alarm, pertanda tak lama lagi bakal ada pengumuman. Aku melihat jam di dinding dek lima. Pukul 20. 40. Dan benar, tak lama kemudian terdengar sebuah pengumuman dari balik speaker.
“Perhatian kepada para penumpang. Dua puluh menit lagi akan diputar film khusus dewasa di mini theater di dek dua, tangga paling depan. Film dengan judul Original Sin akan menampilkan aktor Antonio Banderas dan artis cantik Angelina Jolie. Film ini menyuguhkan adegan-adegan menarik, romantis dan seru. Karcis tanda masuk bisa anda peroleh di depan pintu masuk mini theater. Datanglah segera! Jangan lewatkan tayangan menarik ini!”
“Nonton, yuk!” Ajak Neneng penuh semangat.
Kulihat Lusi dan Desi bersiap-siap. Yang lain pun terlihat begitu antusias menyambut ajakan Neneng. Mereka segera mengambil dompet dari tasnya masing-masing. Tak lupa Sempurna Mild. Cuma Vera yang tidak menampilkan ekspresi gembira. Wajahnya biasa-biasa saja. Aku menghampirinya.
“Nggak nonton, Ver?”
 Vera menatapku dengan tatapan bingung. Aku pun ikut-ikutan bingung. “Siang tadi maunya jalan-jalan.”
“Habis nonton, kan bisa.”
“Malas, bang! Paling adegannya gitu-gitu aja.”
“Ya sudah. Kita jalan-jalan saja.”
Setelah rekan-rekan Vera turun ke dek dua, kami segera pergi keluar. Setelah puas mengitari sisi kapal, mulai dari dek enam sampai dek tujuh, akhirnya kami nongkrong di kafe yang berada di dek delapan, bagian paling belakang kapal. Aku memesan dua gelas kopi dan makanan kecil. Kami duduk ngobrol sambil menikmati alunan musik karaoke, yang suara penyanyinya jauh beda dengan musik lagunya.
Dari obrolan itu, aku akhirnya tahu siapa Vera dan teman-temanya. Aku bukan cuma tahu usianya yang 27 tahun, asalnya atau tentang keluarganya, tetapi aku juga tahu profesinya. Pengakuan itu menguatkan dugaanku sebelumnya kalau mereka adalah pelacur (kata itulah yang dipakai Vera. Ia tidak mau memakai istilah lain, yang hanya sekedar pemanis). Aku juga akhirnya tahu siapa bapak tua dalam rombongan mereka yang selalu dekat dengan gadis berambut panjang dan dicat pirang. Dia adalah bos mereka (dikenal dengan istilah tekong) dan gadis itu adalah calon istrinya. Entah istri ke berapa, jelas Vera cuek.
“Di kampung, aku dijanjikan kerja di restoran di Singapor. Sampai di sana aku bukannya kerja di restoran, tapi di sebuah bar tempat ajang pelacuran.”
“Apa kamu nggak berontak?”
“Mulanya sih kita nolak. Tapi karna dipaksa dan terpaksa, yah dijalani aja. Eh, akhirnya terbiasa. Lumayan, bisa bantu keluarga di kampung. Adikku sudah bisa kuliah. Semester akhir.”
Aku memperhatikan arloji Vera. Waktu menunjukkan pukul 22:15. Aku mengajaknya turun ke lantai tujuh. Orang-orang di kafe semakin banyak. Aku merasa tak enak kalau pembicaraan kami didengar orang lain. Vera ternyata mengerti kemauanku. Kami duduk di atas pagar lambung kanan kapal di dek tujuh. Berdua kami menghadap ke arah kegelapan malam. Bulan yang muncul belum sempurna bentuknya. Mungkin dua hari lagi, pikirku.
Vera mulai bercerita tentang tempatnya berkerja. Ia berkata bahwa rata-rata cewek-cewek di sana masih muda. Dalam rombongannya di kapal, Desi adalah yang termuda. Umurnya baru 18 tahun. Desi bekerja sejak usia 16 tahun, sama seperti dirinya dulu. Di tempat mereka, suasana sungguh menyenangkan. Diri mereka sungguh dihargai, dihormati dan dilayani. Ini membuat mereka betah dan senang dengan profesinya (aku nggak ngerti bentuk penghargaan, penghormatan dan pelayanan yang mereka terima).
“Di tempat kami ada batas maksimum bekerja. Kalo udah umur 30, kita nggak dipake lagi. Udah kadaluarsa.” Vera tersenyum. ”Contohnya dua cewek yang tidur di bawah abang.”
Aku ingat akan dua wanita yang tidur di dek empat, persis di bawah turunan tangga. Sebelum aku larut dalam kelompok Vera, aku sempat ngobrol dengan dua wanita itu. Keduanya sudah berstatus janda. Yang satu sudah kawin empat kali, yang lain baru dua kali. Anak-anak mereka di kampung bersama neneknya.
“Mereka dulu juga kerja di sana. Tapi karna usianya udah 30, mereka pindah ke Pinang. Soalnya, batasan maksimum di Pinang agak longgar.”
Aku mengajak Vera turun ke dek enam. Kami berjalan bergandengan menyusuri sisi kiri kapal. Kami menuju ke anjungan, bagian depan dek enam. Suasananya gelap agak remang-remang. Cocok buat orang pacaran. Cahaya rembulan yang belum sempurna menambah asyik suasana. Waktu menunjukkan pukul 23:30.
Ketika kami tiba di anjungan, ternyata sudah ada beberapa pasangan dengan berbagai aktivitas. Ada yang peluk-pelukan. Yang duduk di bangku asyik cium-ciuman sambil raba-rabaan. Ada juga yang pegang-pegangan atau gerayang-gerayangan. Pokoknya, orang melakukan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain. Aku dan Vera memilih di pojok kiri anjungan. Kami berdiri menghadap ke depan kapal. Tiupan angin sangat terasa kencangnya. Seakan-akan diri kami mau terlempar olehnya. 
Aku coba memulai pembicaraan. Menyambung pembicaraan sebelumnya, aku coba menasehati Vera dengan berbagai argumen etika-moral dan HAM. Tak ketinggalan juga masalah penyakit, jender dan emansipasi wanita kuutarakan. Entah kenapa, semua itu mengalir dengan lancar. Mungkin aku memiliki bakat sebagai konselor atau sejenisnya. Aku tidak tahu. Namun yang membuat aku kaget adalah tanggapan Vera. Pertama kukira Vera akan takjub dengan nasehatku, tersentuh lalu menerima perkataanku. Ternyata Vera malah bersikap sinis.
“Kenapa sih banyak orang pada sibuk ngurusi orang lain? Kenapa musti repot-repot kalo memang wanitanya mau diperdagangkan?”
“Tapi kalian diperdagangkan demi sebuah bisnis kotor. Bisnis seks! Masa’ tubuh kalian mau dihargai tujuh ratus ribu hingga satu juta.”
“Emang ada yang lebih dari itu? Mau dong,” Vera bercanda. “Udahlah bang, nggak usah munafik dan sok moralis. Dunia sekarang sudah kotor semua, kok. Coba abang pikir. Apa bedanya kami ini dengan para wakil rakyat. Bukankah mereka itu diperdagangkan ke Senayan oleh partainya. Di Senayan mereka sibuk menjual pikiran, sibuk ngobral ocehan dan janji-janji gombal. Itu semua demi partai. Apa itu nggak kotor?”
Aku terhentak kaget mendengar pengakuannya. Aku jadi ingat kisah mundurnya ketua PDI-Perjuangan dari jabatan komisi di Senayan. Yah, Sophan Sophian pernah berkata kalau dirinya mundur lantaran dunia politik (termasuk Senayan) sudah tak cocok lagi buatnya. Yang benar disalahkan, yang salah menjadi benar. Mungkin Pak Sophian tahu bahwa politik di Senayan sudah kotor. Atau barangkali ia sudah sadar kalau dirinya diperdagangkan oleh partainya. Barangkali mungkin. Dan bila demikian, benarlah apa yang dikatakan Vera.
“Aku heran, kenapa pemerintah sibuk nguber-nguber jaringan bisnis wanita ini. Padahal kalo kita liat di tivi, di sana pun ada perdagangan kaum perempuan. Kok, nggak diapa-apain? Aku senang dengan aksi para pelacur di Kalkuta, yang ada di Kompas hari ini.[2] Mereka berkata bahwa penolakan moral atas profesi mereka adalah tidak bermoral. Mereka menuntut pengakuan sosial dan hak-hak hukum. Mereka ingin hak-hak sebagai pekerja, menikmati apa yang dirasakan oleh pekerja, yang bekerja dan membanting tulang dengan tubuhnya. Kiranya Indonesia perlu mengikuti cara itu”
“Apa maksudmu dengan perdagangan perempuan di tivi?”
Yaa, abang ini emang nggak tau atau pura-pura nggak tau? Iklan-iklan itu, lho! Banyak iklan menampilkan cewek-cewek cantik, seksi, banehol, sensual, seronok dan lain-lain. Liatlah si Yanti dengan kemontokan buah dadanya dalam iklan Hemaviton action. Atau Diana dengan kemulusan pahanya. Bukankah itu bentuk pelecehan terhadap tubuh wanita? Atau cara berpakaian dan gaya penyanyi serta penari wanita di tivi yang dinilai banyak orang kurang etis. Mereka memakai longdress yang diberi belahan sampai pangal paha. Pakaian dibuat sedemikian rupa, sehingga memperlihatkan perut dan pusarnya dengan  jelas. Kostum  serba rapat tapi bahannya serba tipis, sementara CD-nya dibuat dari bahan yang mengkilat warna kontras dengan pakaian luarnya agar kelihatan jelas CD-nya. Apa itu bukan bentuk perdagangan tubuh perempuan. Toh, mereka juga dibayar agar mau tampil seronok dan sensual dengan memamerkan bagian-bagian tubuh yang menggoda. Semakin berani tampil seronok, semakin tinggi juga bayarannya.”
Aku terdiam.
“Oya, bicara soal iklan, aku jadi ingat satu hal ini. Ternyata agama pun sudah mulai diperdagangkan. Orang menawarkan barang dengan pake nama, atribut atau unsur agama. Agama sungguh-sungguh dimanfaati, agar umatnya mau membeli. Sama saja artinya agama diperdagangkan. Apa itu nggak lebih kotor dari perdagangan wanita? Tapi orang kok diam saja? Apa karena kami wanita?”
Aku tak bisa dan tak mau menjawab. “Tapi, apa kamu sadar kalo dirimu diperdagangkan? Apa kamu nggak sadar kalo kamu ada dalam bisnis yang kotor?”
Yaaaa, si abang ini. Tadi kan udah kubilang bahwa dunia sekarang ini memang lagi kotor semua.”
“Tapi kita nggak usah ikut-ikutan kotor, dong. Contohnya Sophan Sophian.” Aku coba berteori. “Ia sadar kalo dunianya sudah kotor. Ia tau bahwa dirinya sedang diperdagangkan partainya. Namun akhirnya ia memilih keluar dari dunia politik. Ia keluar dari Senayan.”
“Dia itu manusia langka! Tempatnya emang bukan di Senayan, tapi di museum. Jadi barang pajangan untuk dilihat, dikagumi dan dibicarakan orang serta menjadi bahan catatan sejarah.”
Malam kian larut. Kapal yang kami tumpangi terus melaju membelah kegelapan malam. Angin bertiup sangat kencang sehingga menusuk tulang-tulang persendianku. Sesekali aku menggigil, tapi aku berusaha menahannya. Malu bila ketahuan Vera yang sepertinya sudah biasa dengan angin malam. Aku mencoba merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Ternyata ia melakukan hal yang sama. Maka kucoba memberanikan diri untuk merangkulnya. Vera memeluk pinggangku.
Kuperhatikan daerah sekitarku. Ternyata tinggal kami berdua yang ada di anjungan. Kuajak Vera duduk di bangku tengah. Vera duduk di antara kedua pahaku. Posisi ini memungkinkan aku puas memeluknya dari belakang. Kuraih tangan Vera untuk melihat jam. Pukul 24:10. Tentu pintu-pintu sudah ditutup. Soalnya tadi dua puluh menit sebelum pukul 24:00, diumumkan agar penumpang kembali ke tempatnya masing-masing; pintu-pintu keluar akan dikunci. Aku sudah mengajak Vera untuk kembali, tapi ia mau habiskan malam ini bersamaku.
“Dingin ya, bang.”
“Ehm!”
Kami terdiam dalam keheningan malam. Sejenak kami coba merasakan aliran-aliran kehangatan dalam tubuh sebagai reaksi atas dekapan tubuh.
“Ver, apa kamu sebenarnya suka dengan pekerjaanmu ini?”
“Segalanya serba terpaksa. Mulanya sih Vera sempat kaget, karena dari kampung dijanjikan kerja di restoran. Tapi, akhirnya terpaksa Vera jalani saja.”
“Di dunia ini banyak juga yang serba terpaksa. Ada yang sudah susah payah kuliah, akhirnya jadi tukang ojek. Kadang ijasahnya nggak cocok dengan bidang kerja yang sedang digelutinya. Nah, miripkan dengan kami?” Vera tersenyum. “Ada sarjana lulusan akademi pelayaran, ujung-ujungnya jadi guru SMP, karena nggak ada pekerjaan lain. Di pelosok desa terpencil pula [3]
Aku jadi ingat pada beberapa temanku yang sudah menyandang gelar sarjana. Ada yang jadi pegawai bank. Ada yang satpam. Ada yang jadi kepala gudang. Ada yang kerja di LSM anak jalanan. Ada juga yang kerjanya di bengkel. Benar apa yang dikatakan Vera. Semua itu dilakukan karena terpaksa. Semua itu karena uang. Uanglah yang membuat Vera dan rekan-rekannya terjun dalam dunia pelacuran di negeri orang.
Uang sudah menjadi dewa yang selalu disembah dan dicari-cari. Manusia sudah menjadi budak. Apa saja dilakukan, halal dan tak hahal, hanya demi uang. Mengapa manusia mau mencari dan mengejar uang? Kenapa mereka mau menjadi budak uang? Demi kebahagiaan? Apakah kebahagiaan harus diiperoleh dengan uang?
Apalagi di Indonesia ini. The name of the game is (only) money, kata orang. Di Indonesia ini yang ada cuma permainan duit. Jangan bicara soal rasa aman. Jangan bicara soal penegakan hukum. Jangan ngomong soal keadilan. Jangan ngomong soal kehidupan dan bernegara yang tertib dan teratur. Jangan ngomong soal hati nurani. Semua nilai dan ukuran kehidupan cuma diukur dengan uang... Sebab permainan yang dikenal di Indonesia cuma duit, duit, duit. Duit menjadi permainan satu-satunya, yang mendominasi kehidupan bangsa. Semua orang tahu, mana ada urusan apa pun di Indonesia ini, yang tidak pakai duit.[4] 
Jari telunjukku membelai lembut di pipi Vera yang mulus. Vera tetap berada dalam dekapanku. Aku seakan tak mau melepaskannya. Kusandarkan kepalaku ke sisi kanan kepalanya hingga ia dapat merasakan hembusan nafasku.
“Ver ....”
Vera menengadah menatapku. Perlahan kelopak matanya tertutup dan bibirnya sedikit terbuka. Sebuah isyarat bahwa ia ingin dicium. Aku tak mau membuang kesempatan itu. Segera kurapatkan bibirku. Dalam sekejap kami larut dalam lumatan kenikmatan nafsu birahi. Tangan kananku dengan sengaja mendarat lembut di sebuah bukit yang kenyal. Kucoba membelai dan meremasnya, namun tiba-tiba Vera menepis tangan usilku.
“Yang ini ada bayarannya, lho!” ujar Vera tanpa ekspresi marah. Ia malah tersenyum, membuat aku jadi malu.
Akhirnya kami larut dalam kehangatan malam. Dinginnya malam sudah tak terasa. Putaran waktu terus berpacu menyongsong pagi. Kapal Bukit Siguntang tetap melaju  menembus kegelapan dan kesunyian malam di tengah lautan pekat. Pelabuhan Tanjung Priok sudah siap menanti. Di sanalah kami nanti berpisah, menuju pada kehidupan kami masing-masing.
Vera terlelap dalam dekapanku.
Selamat jalan, Ver! batinku. Semoga kamu selalu bahagia walau pekerjaanmu dipandang hina oleh masyarakat. Aku tetap menerimamu apa adanya. Apapun dirimu, aku akan tetap selalu menerimamu, meski aku tak bisa memilikiku ***

by: adrian
KM Bukit Siguntang, dalam perjalanan ke Tg. Priok, Jakarta,
 25-26 Feb 2002
Baca juga cerpen lainnya:
1.      Maafkan Aku, Lala
2.      Leo dan Lia
3.      Cita-cita Warni
4.      Kuda Lumping
5.      Pasien Kamar 14
6.      Jam Waker



[1] Empat satu adalah jenis permainan kartu dengan cara menjumlahkan angka kartu hingga berjumlah 41 (kartu gambar bernilai sepuluh). Song adalah sejenis permainan kartu khas kepulauan Riau, yang dimainkan dengan cara membuat kartu seri atau dengan membuat kartu paralel (Joker memiliki posisi netral). Kalau di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan Leng
[2] Ini tambahan terakhir, dikutip dari Kompas, (maaf kami lupa tanggalnya); yang jelas kutipan tersebut diambil dari kolom “Kilasan Kawat Dunia”, masih dalam format lama (thn 2002). 
[3] Kisah seorang guru SMP di sebuah desa miskin di pegunungan gamping dalam Ratri, Murid Nomor Satu, cerpen karya Seno Gumira Adjidharma
[4] Bagian yang dicetak miring adalah tambahan kemudian, dikutip dari Kompas, 17 Maret 2002, hlm 25. Diandaikan tulisan ini sudah ada saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar