Minggu, 23 Februari 2014

(Sharing Hidup) Mengkritisi Single Fighter

SINGLE FIGHTER
Single fighter adalah istilah untuk orang yang suka bekerja sendiri, tidak mau melibatkan orang lain. Di balik kecenderungan ini ada tersembunyi sifat serakah akan peran dan jabatan. Ada begitu banyak faktor yang membuat seseorang bertindak single fighter, mulai dari ketidakpercayaan pada orang, kecenderungan ingin dipuji hingga keserakahan peran dan jabatan tadi. (Uraian lain tentang hal ini dapat klik di sini).

Seseorang mensyeringkan pengalamannya berkaitan dengan single fighter ini. Dulu ia suka mengkritik sikap pimpinannya yang single fighter. Sekalipun dirinya, sebenarnya adalah pembantu atau rekan tugas, namun semua tugas selalu ditangani pimpinan sendiri tanpa pernah berkoordinasi dengan dirinya. Hanya tugas yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh pimpinan itu, baru dilimpahkan kepada dirinya atau orang lain. Misalnya, ia tidak bisa melaksanakan tugas pada tempat yang berbeda dengan waktu yang sama atau berdekatan.

Akan tetapi, sikap kritisnya akan kecenderungan single fighter pimpinannya ini ditanggapi negatif oleh orang lain. Ada orang mengatakan kalau dirinya ambisius; ada pula yang bilang jika ambisinya tak tercapai sehingga timbul sikap iri. Yang lain menilai dia cemburu karena tidak bisa seperti sang boss. Dan masih ada banyak pendapat lain berkaitan dengan sikap kritisnya atas kecenderungan single fighter bossnya. Semuanya bernada negatif.

Benarkan ia cemburu? Iri hatikah dia? Atau apa yang mendasarinya mengkritik kecenderungan single fighter pimpinannya?

UMAT. Cuma satu kata saja. Pengalaman membuktikan bahwa kecenderungan single fighter sang pimpinan membawa korban, yaitu umat. Banyak pelayanan pastoral untuk umat jadi terbengkelai. Karena begitu banyaknya yang mau dikerjakan, sementara ia tidak mau berbagi peran dan tugas, membuat ada banyak tugas yang terlupakan. Dan ujung-ujungnya umat yang menanggungnya.

Sebagai contoh, soal pembagian jadwal misa. Masalah ini pun, yang sebenarnya bisa dilimpahkan kepada rekan kerjanya, tetap berada di bawah kendalinya. Namun karena kesibukan lainnya, terkadang, bahkan sering, jadwal ini terbengkelai. Akhirnya, ada beberapa kelompok yang luput dari pelayanan misa. Pertanyaan: kenapa urusan ini tidak mau dilimpahkan kepada rekan yang lain? Apakah takut tidak mendapatkan jatah misa di “tempat yang basah”?

Contoh lain adalah soal rencana kegiatan rohani. Ada kelompok kategorial ingin mengadakan kegiatan rohani. Mereka menghadap kepada pimpinan minta pendapat soal waktu, dana dan hal-hal lainnya. Acara ini selalu molor hingga berbulan-bulan, hanya karena tidak ada kecocokan waktu dengan sang boss. Di tempat lain bukan hanya sekedar molor, tetapi batal. Persoalan, kenapa masalah waktu hanya dipatokkan pada waktunya saja? Bagaimana dengan rekannya yang lain? Padahal setelah dicek, rekan yang lain memiliki waktu yang luang. Kenapa tidak mau berbagi?

Dari dua contoh di atas, dan masih ada banyak contoh lain, dapat disimpulkan bahwa akibat keserakahan akan jabatan dan peran membawa korban pada orang lain yang seharusnya dilayani. Umat yang seharusnya mendapatkan pelayanan pastoral, akhirnya diabaikan, hanya karena satu orang serakah yang lalai. Sebenarnya hal ini dapat dengan mudah diatasi jika ada pembagian tugas dan peran; jika pimpinan mau berbagi tugas dan peran dengan pembantu atau rekannya.

Inilah yang mendasari kenapa seseorang tadi selalu mengkritik pimpinannya yang cenderung single fighter. Bukan karena iri hati atau lainnya seperti penilaian negatif kebanyakan orang, melainkan karena tidak tega melihat umat menjadi korban atas sikap serakah itu. Seandainya kecenderungan single fighter ini tidak membawa dampak buruk bagi umat, tentulah tidak ada kritik pedas yang dilayangkan kepada pimpinan. "Saya tidak akan mempermasalahkan single fighter jika semua tugas bisa ditangani dengan baik dan benar sehingga umat tidak menjadi korban," ungkapnya menutup sharing ini.
Jakarta, 18 Desember 2013

Orang Kudus 23 Februari: St. Willigis

SANTO WILLIGIS, PENGAKU IMAN

Willigis adalah seorang anak dari orang kebanyakan; namun ia berhasil menjadi kanselir tiga orang Kaisar Jerman. Negarawan bijaksana ini berhasil menjaga keamanan seluruh negeri. Sebagai Uskup Mainz dan wakil Paus, ia mengangkat uskup-uskup yang baik, mendirikan gereja-gereja dan membangun banyak jembatan. Ia membangun sekolah-sekolah untuk memajukan ilmu. Willigis menegakkan tata tertib dan memajukan kegiatan penghormatan pada Tuhan.

Renungan Hari Minggu Biasa VII - A

Renungan Hari Minggu Biasa VII, Thn A/II
Bac I   : Im 19: 1 – 2; 17 – 18; Bac II      : 1Kor 3: 16 – 23;
Injil     : Mat 5: 38 – 48

Sabda Tuhan dalam bacaan-bacaan liturgi hari ini dapat dirangkum sebagai berikut: Kita adalah bait Allah. Bait Allah itu kudus. Oleh karena itu, hendaklah kita hidup kudus atau sempurna.

Itulah yang dikatakan Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus. Paulus mengingatkan para jemaat akan keberadaan Roh Kudus dalam diri mereka. Paulus juga menyadarkan para jemaat bahwa tubuh mereka adalah bait Allah. Karena bait Allah itu adalah kudus, maka jemaat diminta untuk menjaga kekudusan dirinya dengan tidak mencemari tubuh dengan dosa.

Dalam bacaan pertama dan Injil, kembali ajakan untuk menjadi kudus disuarakan. Dalam bacaan pertama, Allah meminta umat-Nya untuk hidup kudus seperti diri-Nya. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak membenci saudara, hidup jujur, tidak berdosa, tidak menuntut balas atau mendendam serta hidup dalam kasih. Permintaan Allah ini kembali disuarakan oleh Yesus dengan sedikit perubahan. Bagi Yesus, perbuatan baik itu ditujukan bukan saja kepada orang sendiri, melainkan orang luar, bahkan musuh sekalipun.

Hendaklah kita menjadi kudus seperti Allah. Hendaklah kita sempurna seperti Bapa di surga yang adalah sempurna. Inilah yang hendak disampaikan Tuhan melalui sabda-Nya hari ini. Tuhan menyadarkan kita bahwa diri kita adalah bait Allah yang hidup. Kita diminta untuk menjaga kekudusan bait Allah itu. Jangan mencemarinya. Menjadi pengikut Kristus kita dituntut untuk hidup sempurna.

by: adrian