Minggu, 15 April 2012

Aksi Paskah 2012 Umat Katolik St Mikael, Tanjung Batu

Lubuk, 8 April 2012 - Setelah perayaan ekaristi perayaan Pesta Paskah, yang dipimpin oleh Rm. Yudhi, semua umat beserta romonya berangkat menuju pantai Lubuk. Perjalanan memakan waktu sekitar 25 menit. Rencananya, di sanalah mereka mau mengungkapkan kegembiraan paskah dalam kebersamaan. Di sana juga mereka ingin menghaturkan syukur. Semuanya itu diwujud-nyatakan dengan aksi menanam pohon pinus.

Perlu disadari bahwa bumi ini lagi menghadapi ancaman bahwa pemanasan global atau yang dikenal dengan istilah global-warming. Isu global warming merupakan ancaman bagi kehidupan bumi dan semua isinya termasuk manusia. Artinya, ia akan mendatangkan kematian bagi kehidupan. Untuk itu, bumi perlu diselamatkan. Salah satu bentuk penyelamatan adalah dengan penghijauan.

Atas dasar inilah, panitia paskah 2012 stasi St Mikael, Tanjung Batu, menggagas aksi tanam pohon pinus. Meski kecil tapi bermakna. Aksi ini dikaitkan dengan paskah, yang adalah kebangkitan Tuhan Yesus. Yesus bangkit dari kematiannya. Jadi, ada keselarasan antara penghijauan dengan kebangkitan.

Inilah cukilan-cukilan gambar aksi mereka.......






BERKACA PADA ST PAULUS: Mencari Peran OMK


Pengantar
Dalam sejarah Gereja Katolik, sosok St Paulus sangatlah penting. Karena itu, sosoknya dipilih Gereja untuk direnungi dan direfleksikan selama bulan Kitab Suci. Merefleksikan sosok Paulus ini bukan berarti kita hanya memuaskan pengetahuan akali kita tentang perihal Paulus. Merefleksikan sosok Paulus berarti kita mengambil sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupan diri kita.
Itulah makna refleksi: “memantul kembali”. Pantulan itu kembali ke diri kita. Berefleksi itu ibarat kita berkaca di sebuah cermin. Ketika kita berdiri di depan cermin, ia memantulkan kembali gambaran diri kita. Di sana kita bisa melihat diri kita: kekurangan dan kelebihan. Yang kurang segera dihilangkan, sedangkan yang lebihnya dipertahankan. Kegiatan refleksi selalu menyentuh 3 aspek: pikiran, perasaan dan kemauan, yang berakhir pada tindakan nyata. Ketiga aspek tersebut harus sejalan. Karena itu, ketika kita merefleksikan Paulus ini, hendaknya kita tidak hanya berhenti pada aspek pikiran atau perasaan saja, melainkan harus sampai pada aksi. Tidak cukup kita sekedar tahu dan merasa kagum dengan Paulus tanpa adanya aksi nyata. Jadi jangan cuma NATO.
Aktivitas refleksi atau berefleksi selalu diikuti adanya perubahan ke arah yang positip. Bandingkan ketika kita berkaca. Tentulah sesudah kegiatan itu, ada perubahan pada diri kita: lebih cantik dan rapih. Tanpa perubahan refleksi hanya sebatas wacana. Dan ini biasanya hanya menyentuh dimensi otak saja. Refleksi harus menyentuh dimensi lainnya yang bermuara pada aksi. Dari sanalah lahir perubahan. Jadi, dengan berefleksi kita diajak untuk berubah. Ada kisah anak harimau.
Saat ini, Paulus menjadi cermin bagi kita. Di sana kita dapat melihat sosok diri kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Sebagai pribadi maupun kelompok kita sama-sama mempunyai misi yang satu MENJADI  SAKSI  KRISTUS.
Dari Saulus ke Paulus
Sejarah hidup Paulus diawali dari Saulus. Panggilan hidup Paulus dapat dibagi ke dalam 3 bagian: masa Saulus (Kis 7: 54 – 58; 8: 1 – 3; 9: 1 – 2); masa perjumpaan dengan Yesus (Kis 9: 3 – 19); dan masa menjadi rasul (Kis 9: 20 – 31 ; Kis 11: 19 – 30 ; Kis 12: 24 – 28: 31).
Kita semua tentu tahu siapa Paulus itu pada masa Saulus. Mungkin dari beberapa kutipan ini, kita bisa membuat gambaran tentang Paulus yang waktu itu masih bernama Saulus.
8:1a Saulus juga setuju, bahwa Stefanus mati dibunuh.
8:3 Tetapi Saulus berusaha membinasakan jemaat itu dan ia memasuki rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara.
9:1 Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan.
Hampir tak ada kesan baik pada diri Paulus. Bahkan Paulus sendiri memberi kesaksian negatip tentang dirinya sendiri. “Aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” (1Kor 15: 9)
Akan tetapi sejak perjumpaannya dengan Yesus dan dibabtis dalam nama Yesus, Paulus mengalami perubahan. Perubahannya sungguh sangat drastis. Sisa-sisa Saulus tidak ada lagi membekas dalam dirinya. Paulus sendiri menggambarkan kalau perjumpaan itu membuat dirinya “sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya.” (1 Kor 15: 8). Artinya masih polos.
Paulus adalah salah satu rasul terbesar, sekalipun ada beberapa ahli meragukan ke-rasul-annya. Dikatakan terbesar karena aktivitasnya yang tinggi, medan karyanya yang luas, surat-suratnya yang banyak, penderitaan dan pengorbanannya yang luar biasa. Karena itulah, Paulus berani berkata, “Aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua.” (1 Kor 15: 10). Perjuangan Paulus untuk mewartakan Injil Tuhan dan membangun jemaat sangatlah berat, karena ia harus menghadapi banyak tantangan. Ia dihina, disepelekan sampai dilempari dengan batu hingga dikira sudah mati. Dalam perjalanan dia mendapat tantangan seperti kehabisan makanan dan kapal karam. Lebih dari itu, ia mendapat tantangan untuk mewartakan Injil di tengah masyarakat yang sudah “mapan” baik dalam hal budaya (perkawinan, adat istiadat, seks bebas dan liar, dll), sosial (gender, status sosial, dll), mentalitas warga (hedonistis, konsumtivistis, materialistis, dll).
Sekalipun tantangan dan percobaan yang berat selalu menghadang Paulus, ia tetap setia pada panggilannya. Paulus tidak lari dan meninggalkan tugasnya. Ia tetap terus mewartakan Injil baik lewat kata-kata maupun dengan aksi nyata. Kesetiaan Paulus dalam menjalani tugas dilakukan hingga akhir waktu. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Tim 4: 7). Kristus yang diimani Paulus benar-benar merasuk ke dalam jiwa-raganya. “Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2: 20). Itulah pernyataan Paulus. Dengan demikian baptisan yang diterima Paulus tidak menjadi sia-sia. Dengan baptis itu, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” (Gal 2: 19c)
Sejarah panggilan Paulus sebagai saksi Kristus mau menunjukkan bahwa kita dipanggil untuk mencari kebenaran dan kebaikan. Kita diajak untuk selalu mencari dan mencari apa yang BENAR dan BAIK buat diri kita dan masyarakat, bukan apa yang enak. Inilah semangat pengabdian Paulus
Bagaimana dengan Kita?
Kita telah mengetahui kapan Gereja Katolik memasuki tanah air kita, khususnya di wilayah keuskupan kita. Memasuki daerah berarti Gereja berusaha untuk merasuki hidup masyarakatnya dengan semangat, jiwa dan roh Kristus. Gereja merupakan perwakilan Kristus di dunia. Pertemuan Gereja Katolik dengan masyarakat terus menerus berlangsung hingga kini. Kita yang kini mengaku murid Kristus terjadi karena kita telah bertemu dengan Kristus dalam baptisan.
Saat ini kita mencoba berkaca pada St Paulus. Maka dengan melihat Paulus, kita menemukan bahwa panggilan Paulus adalah juga panggilan kita, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok (OMK). Setelah berjumpa dengan Kristus dalam sakramen baptis, kita dipanggil untuk menjadi saksi-Nya. Dengan semangat Paulus untuk mencari apa yang BAIK dan BENAR, kita diajak untuk mewartakan Injil di tempat kita berada.
Karena panggilan Paulus adalah juga panggilan kita, maka tantangan Paulus juga merupakan tantangan kita. Harus diakui kalau dalam melaksanakan tugas ini, kita menemui sejumlah tantangan. Kita akan berhadapan dengan budaya (soal perkawinan, adat istiadat, seks bebas dan liar, dll) dan masalah sosial (gender, status sosial, dll) yang sudah berakar dan sudah ada sebelum Gereja datang. Dalam perkembangan lanjut kita juga berhadapan dengan arus perubahan zaman yang mengubah mentalitas umat manusia, termasuk mungkin juga kita. Ada mentalitas hedonistis, konsumtivistis, dan materialistis.
Sudah 2 poin kita temukan diri kita dengan berkaca pada Paulus. Apakah poin ketiga juga ada pada kita? Inilah yang jadi persoalan. Apakah kita tetap setia pada panggilan sekalipun tantangan dan cobaan menghantam kita? Bagaimana kita yang sudah dirasuki semangat, jiwa dan roh Kristus (seperti Paulus) menghadapi persoalan budaya, masalah sosial dan mentalitas hidup? Apakah kita berdiri di atasnya, bersikap cuek atau kita larut dan terlibat di dalamnya?

Nah, ini merupakan salah satu ladang panggilan kita. Bagaimana peran OMK dalam menyikapi persoalan yang hidup di masyarakatnya?