Hingga usia lima tahun, Rosaline Ineke Witanto menghabiskan hari-hari dalam
kebersamaan dengan keluarganya di Solo, Jawa Tengah. Setelah itu, bersama
seorang adik perempuan, ia tinggal di rumah nenek-kakek di Purwokerto, Jawa
Tengah, lantaran ibundanya sakit hepatitis. Waktu itu, orangtuanya mengatakan
bahwa mereka akan berlibur di Purwokerto. “Tapi kami tidak pernah dijemput
untuk kembali ke Solo. Bahkan, saya kemudian didaftarkan sekolah TK di
Purwokerto,” kisah Niek, yang pada waktu itu merasa ditinggalkan.
Tiga tahun berselang. Niek mendapat kabar dukacita: sang ibu meninggal. Ia
sangat terpukul dan merasa kehilangan. Dalam kesedihan, ia merasa dikuatkan
oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk guru di sekolah. “Jika tidak ada mereka,
saya tidak tahu seperti apa jadinya,” tandas perempuan kelahiran Solo, 30
Oktober 1973 ini.
Niek berusaha bangkit dan menata hati. Ia sadar, dirinya tak bisa terus
terpuruk dan larut dalam kesedihan. Menjalani hidupnya, Niek dan adik
perempuannya merasa, nenek dan kakek menjadi pengganti orangtuanya. “Nenek dan
kakek tidak pernah sedikitpun mengeluh bahwa saya dan adik membebani. Mereka
juga banyak menanamkan arti tanggung jawab dan bagaimana seseorang harus
bekerja untuk dapat mengubah nasib,” tutur Niek.
Nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan oleh nenek dan kakeknya terpatri
dalam diri Niek. Ia bertekad untuk bisa mandiri dan terus berjuang. Doa pun
menjadi sandaran dan kekuatannya. “Saya yakin, hidup seseorang sudah digariskan
tahap demi tahap. Dalam setiap tahap itu, Tuhan pasti memberikan penolong,”
tandasnya.
Terus Berjuang