CATATAN LEPAS BUKU “SEJARAH TEROR: JALAN PANJANG MENUJU 11/9”
Tanggal 30
Desember 2013 lalu saya membeli buku “SEJARAH TEROR: Jalan Panjang Menuju 11/9”
di Toko Buku Kanisius, Yogyakarta. Buku ini ditulis Lawrence Wright dengan mewawancarai langsung pelaku-pelaku
sejarah tersebut, baik dari pihak teroris, Arab maupun Amerika. Ada lebih dari
500 narasumber yang diwawancarai. Karena itu benar apa yang dikatakan The Wall Street Journal bahwa buku ini
“Didasari riset yang mendalam...”.
Membaca
buku ini, kita akan dicengangkan betapa ajaran islam dijadikan dasar tindak terorisme.
Di banyak halaman buku ini diungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan
berdasarkan ajaran Al-Quran. Lawrence Wright menulis bahwa para tokoh sentral
teroris ini adalah juga orang yang teguh berpegang pada agamanya. Mereka
mengaku sebagai islami, karena menerapkan ajaran islam. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa Osama bin Laden merupakan prototipe Muhammad. Karena itulah,
menjadi pertanyaan kita: bagaimana bisa
seseorang yang religius sekaligus juga teroris. Tapi itulah yang terjadi.
Dengan
dasar Al-Quran itu, para teroris ini bukan saja menebarkan ketakutan, melainkan
juga permusuhan kepada Barat (termasuk Amerika). Padahal Amerika tak pernah
menganggap islam sebagai musuh. Buktinya ketika al-Qaeda sudah merencanakan
aksinya menyerang Amerika, pihak Amerika sama sekali tidak punya pikiran jahat
terhadap mereka. Amerika tidak menganggap al-Qaeda sebagai musuh, kecuali pasca
11 September.
Selain
Amerika, ada dua lagi sasaran kebencian kaum muslim, yaitu kristen dan Yahudi. Sebenarnya
sasarannya hanya dua, yaitu Yahudi dan kristen. Barat/Amerika dimusuhi karena dilihat
sebagai pusat kekristenan. Kristen dan Yahudi sebagai sasaran menjadi mendasar
karena keduanya terdapat di dalam Al-Quran. Selain terdapat dalam Al-Quran,
kedua sasaran tadi juga masih dikaitkan dengan sejarah Perang Salib. Di sini
terlihat jelas bahwa kaum muslim belum bisa berdamai dengan sejarah masa lalu.
Islam Agama Damai?
Selama ini
umat islam selalu mengklaim bahwa agama islam adalah agama damai. Terkenal
dengan istilahnya rahmatil alamin,
agama membawa rahmat dan damai. Akan tetapi, membaca buku ini dan ditunjang
beberapa fakta-fakta yang ada sudah sepantasnya klaim tersebut perlu
dipertanyakan.
Untuk
membela diri, seringkali orang mengatakan bahwa aksi teroris itu bukanlah
ajaran islam yang sebenarnya. Tentu pernyataan ini sangat kontradiksi mengingat
para pelaku teroris mendasarkan tindakannya pada ajaran islam. Justru kelompok
islam radikal ini menilai kelompok lain melanggar ajaran islam atau tidak setia
pada ajaran islam. Pertanyaannya: yang mana ajaran islam yang sebenarnya?
Sekalipun
kelompok non radikal menilai bahwa kelompok radikal itu salah atau keliru,
namun jarang terdengar kecaman terhadap mereka (kecuali ketika muncul peristiwa
memalukan). Kebanyakan mereka memilih diam. Kita bisa lihat contohnya di
Indonesia. Inilah yang menjadi alasan kenapa teroris dapat merasa aman di
Indonesia. Umat muslim Indonesia menerima mereka secara pasif. Aksi pasif ini
membuat mereka bisa “cuci tangan” bila sang teroris tertangkap, namun secara
tersembunyi mereka mendukung tindakan teroris itu. Malah ada kelompok
membelanya; dan kelompok ini dibiarkan.
Karena itu,
tentang pernyataan “islam agama damai” kita dapat membuat satu kesimpulan.
Islam sebagai agama damai dapat terjadi jika orang tidak melaksanakan ajaran
islam secara setia, namun jika orang melakukan ajaran islam maka islam itu
sebagai agama kekerasan yang menakutkan.
Islam Agama Toleran?
Toleransi
itu mengandaikan adanya perbedaan. Toleransi bisa terwujud bila ada semangat
saling menghargai dan menghormati perbedaan. Dengan menghargai dan menghormati
itu, orang tetap akan melihat sesama yang berbeda itu sebagai teman, bukan
musuh atau ancaman yang harus dimusnahkan. Jadi, dalam toleransi itu perbedaan
tetap ada dan tidak dipaksakan supaya menjadi satu dan sama. Tanpa ada
perbedaan maka tidak akan ada toleransi. Adakah toleransi dalam islam?
Selain
mengklaim sebagai agama damai, umat islam juga mengatakan bahwa agama islam itu
agama yang toleran. Akan tetapi, sekali lagi, setelah membaca buku ini dan
ditunjang beberapa fakta-fakta yang ada, klaim tersebut sangat meragukan. Satu
alasan meragukan klaim itu adalah tidak adanya sikap menghargai dan menghormati
perbedaan. Yang ada adalah pemaksaan kehendak.
Pemaksaan
kehendak terlihat dalam sikap para teroris, yang mengaku sebagai orang yang
islami (melaksanakan ajaran islam dengan benar dan setia). Mereka ingin agar
Arab itu hanya punya satu agama saja. Ini didasarkan pada ucapan Nabi Muhammad
sendiri, “Jangan sampai ada dua agama di Arab.” (hlm. 199). Karena itu, orang
asing yang non islam wajib diusir. Mereka dilihat sebagai musuh dan acaman bagi
islam.
Karena itu,
kasus intoleransi banyak ditemui di negara-negara yang penduduknya mayoritas islam.
Indonesia salah satu contohnya. Ada banyak kasus ketidakadilan yang diterima
oleh kelompok minoritas seperti kristen, syiah, ahmadiyah, dll. Umat islam
selalu melihat bahwa kelompok-kelompok minoritas ini sebagai sebuah ancaman
bagi islam. Karena itu, kelompok minoritas ini selalu ditekan dan ditindas.
Hanya Tuhan yang Tahu
Salah satu
daya tarik orang menjadi teroris adalah konsep mati syahid. Kelompok teroris
menawarkan masuk surga bagi mereka yang berjuang di jalan Tuhan dan membela
agama Tuhan. Gambaran surganya pun sangat memikat. Karena itu, orang pun berbondong-bondong
menyerahkan diri, bahkan untuk menjadi senjata mematikan dalam aksi bom bunuh
diri. Atas aksi mereka ini, belum ada institusi islam yang berani menyatakan
bahwa mereka itu masuk neraka, bukannya surga.
Kebanyakan
orang menyatakan tindakan teroris itu salah karena dilihat dari kacamata hukum
positif. Tapi, kalau dilihat dari hukum islam, mereka itu benar, malah layak
masuk surga. Bagaimana yang sebenarnya? Hanya Tuhan saja yang tahu.
Sebenarnya,
de-radikalisasi kelompok islam garis keras bisa dilakukan oleh institusi islam
(untuk Indonesia misalnya MUI) dengan mengeluarkan fatwa haram bagi teroris,
bagi aksi bunuh diri serta larangan menguburkan secara islami bagi para
pelakunya. Dan ini jangan hanya berlaku di satu tempat, melainkan di semua
negara. Dengan ini maka akan muncul islam sebagai agama damai.
Standar Ganda Dunia Islam
Ada semacam
“standar ganda” dalam sikap terhadap kelompok islam garis keras ini, khususnya
di Indonesia. Ketika ada umat islam “tertindas”, maka akan muncul aksi demo. Tak
jarang aksi demo diikuti dengan aksi anarki yang ditujukan kepada obyek
simbolis. Misalnya, ketika Amerika menyerang salah satu negara islam, tak
jarang warga Amerika yang sedang berlibur atau obyek-obyek yang berbau Amerika
(KFC, misalnya) menjadi sasaran amuk massa. Atau ketika terjadi penindasan atas
umat islam Rohingya, tiba-tiba seorang biksu di Jawa Timur diserang sebagai
aksi balasan. Namun jika penindasan itu dilakukan oleh umat islam sendiri,
tidak ada aksi demo menentang. Belum pernah muncul aksi demo atau kecaman
menentang Taliban yang melakukan aksi terhadap umat islam sendiri.
Contoh lain,
ketika Sultan Bolkiah mengumumkan pemberlakukan hukum islam di Brunei, di mana
hukum itu tidak hanya berlaku bagi umat islam saja, melainkan juga yang non
islam, adakah protes dari kelompok islam? Protes hanya muncul dari kelompok hak
azasi manusia. Ini membuktikan bahwa Sultan melaksanakan ajaran islam,
sekalipun untuk itu membuat islam terlihat sebagai agama yang intoleran.
Satu hal
yang menarik adalah bahwa ternyata kekerasan tak bisa dipisahkan dari budaya
Arab Saudi. Dan selama ini orang menilai bahwa Islam tak bisa dilepaskan dari
Arab. Karena itu ada pendapat bahwa islamisasi itu identik dengan arabisasi.
Menerima agama islam selalu disertai juga dengan penerimaan budaya Arab. Salah
satunya adalah kekerasannya. Maka dari itu kita bisa maklum kenapa Indonesia,
yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah berubah menjadi beringas. Ini bisa
dilihat pada kelompok-kelompok islam garis keras seperti FPI, HTI, dll. Hal ini
disebabkan karena mereka tidak hanya menerima agamanya saja melainkan juga
budayanya juga.
Jakarta, 7 Mei 2014
by: adrian