Selasa, 01 April 2014

Pemimpin dari Dalam

Banyak orang menganalogikan kepemimpinan dengan kesuksesan. Kehidupan pemimpin selalu dikaitkan dengan sesuatu yang baik. Bahkan, banyak bawahan yang terkagum-kagum dengan apa yang dimiliki dan dilakukan pemimpinnya terlepas dari benar atau salahnya. Orang lebih sering membayangkan pemimpin dari bagaimana pembawaannya, apa yang ia tampilkan sehingga jarang orang membayangkan bahwa dalam kepemimpinan, rasa dan kepribadian itu sangat penting. Terlihat betapa kita lebih sering mementingkan looks daripada feels-nya.

Kualitas diri seorang pemimpin akan diuji dan disorot saat ia memecahkan masalah, memilih individu yang potensial untuk menjadi bawahannya juga menguatkan manajemen kinerja dan pembelajarannya. Hal yang sering kita lihat, saat seorang pemimpin diangkat, kita kemudian merasakan ia berjarak dengan bawahannya. Seringkali, meski memiliki kecerdasan dan kemampuan teknis yang tidak diragukan, pemimpin jelas segera disorot bila ia tidak memiliki purpose yang jelas, sulit membawa tim menghayati masalah, dan tidak mampu mencari solusi dan mengubah kebiasan. Alhasil kita mulai meragukan kemampuannya sebagai pemimpin.

Sebaliknya kita bisa melihat seorang pemimpin saat ia bisa membentuk sinergi kelompoknya. Seorang CEO, yang kemampuan bahasanya pas-pasan, berhasil membawa sebuah perusahaan ke kinerja paling atas, dan membuat perusahaan sangat terkenal dengan sinergi timnya. Beliau memang dikritik karena sedikit ketinggalan dalam memandang perkembangan teknologi ke depan. Namun, ia berpendapat bahwa banyak ahli teknologi yang bisa berada dalam timnya. "Masalahnya bukan di perubahan sistem dan teknologi, tetapi lebih kepada kemampuan menggerakkan pemikiran dan hati setiap bawahan." la tidak segan "pasang badan" untuk bergaul maupun bersusah-susah dengan bawahan. Prinsip yang ia pegang: "People don't grow from the neck up. Kita harus melibatkan head, heart, dan hand-nya." la juga tidak segan mengeluarkan testimoni tentang bagaimana ia mendapatkan keyakinan-keyakinan sebagai manusia, maupun sebagai pemimpin. Kita bisa segera angkat topi karena merasakan betapa beliau sangat mindful dan penuh perasaan dalam mengembangkan potensi timnya. Seperti diungkapkan John C Maxwell, "Leadership is not about titles, positions or flowcharts. lt is about one life influencing another."

Pemimpin adalah Pembentuk karakter
Setiap pemimpin perlu sadar sesadar-sadarnya bahwa seluruh perilaku dan value system pribadinya akan diawasi followers-nya. Komitmennya akan dihitung, konsistensi antara bicara dan kenyataan akan ditunggu. Apa yang ia janjikan di dalam meeting, komentar, dan celetukannya terhadap situasi tidak lepas dari perhatian orang lain. Begitu apa yang dijanjikan betul-betul dilakukan dan terbukti benar, followers pun akan mulai bergerak sejalan dengan apa yang diarahkan oleh sang pemimpin. Apa sebenarnya yang menggerakkan para followers ini? Self leadership yang kuatlah yang memancarkan karisma seorang pemimpin. Karakter pemimpin yang seolah-olah terpampang di etalaselah yang menjadi panutan pengikutnya. Sebelum self leadership kuat, arahan pemimpin hanya sesuatu di atas kertas yang tidak menyatu dengan dirinya. Itulah sebabnya pemimpin harus menguatkan karakternya dahulu, sehingga bisa menjadi pusat perubahan, di tengah aneka ragam karakter followers-nya.

Seorang pemimpin, apakah itu pemimpin RT/RW, pemimpin keluarga, apalagi pejabat negara, paling tidak perlu mendalami apa itu kepribadian dan bagaimana kepribadiannya terbentuk. Ia perlu mengklarifikasi nilai-nilai yang dianut, mengakui kekuatan dan kelemahannya, meningkatkan kemampuan bicara dan presentasinya sehingga ia bisa membagi energi dan waktunya agar sempat membangun kepribadian para followers-nya. Sudah tidak zamannya lagi pemimpin mengeluh mengenai timnya, apakah kemampuan atau karakternya. Sebaliknya pemimpin harus membangkitkan keyakinan pada anak buahnya bahwa ia bisa menjadi orang yang lebih mumpuni dan lebih baik. Kita lihat betapa Jokowi-Ahok menerima anak buah apa adanya dan mencoba mengembangkan dari yang ada, plus mengubah karakternya. "Our character defines us. Only after we determine who we are can we know how to grow."

Open Intelligence
Saat seseorang diangkat menjadi pemimpin, sering kita lihat layout ruangan dipindah menjadi ruang tersendiri yang lebih besar, lebih private. Fasilitas seperti tempat makan atau kendaraan pun terpisah dengan kondisi lebih baik. Bila tidak hati-hati hal ini bisa membuat para pemimpin lupa bahwa ia sebetulnya perlu berada di tengah pengembangan dan perubahan followers-nya. Kepemimpinan bukan "solo practice". Pemimpin punya peran krusial untuk menggerakkan, mendorong orang lain, dan memberi arahan. Pemimpin perlu peka bila ada ketidakkompakaan anak buah, penolakan dan rasa tidak nyaman. la juga harus mengetahui "timing" kapan mengguncang anak buah untuk bergerak. Pemimpin perlu berani membentuk komunitas gaya barunya. Di masa sekarang pemimpin jelas perlu upaya yang lebih smart dan gesit. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang tertutup dan tidak terbaca oleh anak buah bisa mengarahkan emosi anak buah? Sudah waktunya kita membuktikan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi: “I suppose leadership at one time meant muscles; but to day it means getting along with people.”

Sebagai pemimpin, kita tidak bisa mempunyai persepsi yang realistis bila kita berjarak dengan lapangan yang lebih dikuasai bawahan. Kita perlu selalu ingat bahwa business seorang leader adalah menemukan kesempatan bekerja dengan persepsi bawahan, mendeteksi kesulitan praktis dan menikmati kesuksesan yang dialami anak buah. Pemimpin perlu mengembangkan "open intelligence" sambil kuat-kuat menjaga prinsip engagement, dan integritasnya. Apa pun dan di mana pun bentuk kepemimpinan yang ada di pundak kita, peran terbesar kita adalah memberi inspirasi kepada follower kita.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD HOGANP ERSONALITAYS SESSMENT

Orang Kudus 1 April: St. Nonius Alvares Pareira

SANTO NONIUS ALVARES PAREIRA
Nuno Alvares Pereira lahir pada 24 Juni 1360 di Cernache do Bonjardim, Sertã, Castelo Branco, Portgual. Ia adalah putera dari Álvaro Gonçalves Pereira, seorang Ksatria Hospitalier, dan Iria Gonçalves do Carvalhal. Nonius lahir diluar pernikahan kedua orangtuanya, tetapi satu tahun setelah kelahirannya, ia memperoleh pengakuan termasuk dari pihak kerajaan, yang membuatnya dapat menerima pendidikan bagi anak-anak bangsawan. Ketika berusia tigabelas tahun, Nonius mengikuti jejak ayahnya dengan menjadi seorang Ksatria. Ketika berusia enambelas tahun, ia menikah dengan seorang janda, Leonor de Alvim. Dari pernikahannya ia dikaruniai dua orang putera, yang meninggal saat masih kecil, dan seorang puteri bernama Beatrice. Ketika terjadi perang antara Portugal dan Castilla, Nonius menjadi komandan perang bersama Raja Joao I, dan bahkan dalam kepemimpinannya, ia berhasil memenangkan pertempuran di Aljubarrota, yang mengakhiri perselisihan kedua negara. Dalam aktivitas militernya, Nonius tidak hanya mengandalkan kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan kegiatan-kegiatan rohani. Ia sangat mencintai Ekaristi dan berdevosi kepada Bunda Maria, bahkan ia dikisahkan selalu berdoa sebelum berperang. 

Pada tahun 1387, Nonius kehilangan isterinya, Leonor, yang meninggal dunia. Setelah itu, ia menolak untuk menikah kembali. Nonius banyak mendermakan kekayaannya kepada orang miskin, dan membangun biara dan gereja. Pada tahun 1423, setelah puterinya menikah dengan Alfonso, putera Raja Joao I, Nonius memutuskan untuk bergabung dengan Ordo Karmel di Lisbon. Nonius mendapatkan nama baru, Nuno dari St. Maria. Ia ingin sekali pergi meninggalkan Portugal, tetapi atas desakan putera Raja, Nonius tetap tinggal di Portugal. Nonius melayani orang sebagai Bruder yang bertugas membuka pintu biara. Nonius dari St. Maria Alvares Pereira, O.Carm., meninggal dunia pada Minggu Paskah, 1 April 1431, di biara Karmel di Lisbon, Portugal. Pada 23 Desember 1918, ia dibeatifikasi oleh Paus Benediktus XV, dan pada 26 April 2009, ia dikanonisasi oleh Paus Benediktus XVI (untuk daftar paus bergelar Benediktus, klik di sini).

Renungan Hari Selasa Prapaskah IV - A

Renungan Hari Selasa Prapaskah IV, Thn A/II
Bac I   : Yeh 47: 1 – 9, 12; Injil    : Yoh 5: 1 – 16

Bacaan pertama yang diambil dari Kitab Yehezkiel, bercerita tentang pengalaman spiritual Yehezkiel. Dia melihat dari Bait Allah mengalir air yang kemudian membentuk sungai. Setiap daerah yang dialiri sungai itu berdampak pada kehidupan. Di tepi sungai itu tumbuh pohon-pohonan. Air itu akhirnya bermuara di Laut Asin dan mengubahnya, dari sebelumnya tidak ada kehidupan menjadi ada kehidupan. Air dari Bait Suci itu membuat “semuanya di sana hidup.” (ay. 9).

Gambaran air yang membawa kehidupan terlihat dalam diri Yesus. Injil hari ini mengisahkan mujizat yang dilakukan Yesus kepada orang lumpuh yang sudah 38 tahun terbaring di serambi dekat Pintu Gerbang Domba. Ketika Yesus melihatnya, Yesus langsung bertanya, “Maukah engkau sembuh?” (ay. 6); kemudian Yesus berkata kepadanya, “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah!” (ay. 8). Setelah sembuh, Yesus memintanya untuk tidak lagi jatuh ke dalam dosa (ay. 14).

Saat ini kita masih dalam masa prapaskah. Salah satu aksi yang diminta dalam masa prapaskah ini adalah pertobatan. Bertobat berarti kita diajak untuk meninggalkan kemanusiaan lama kita yang penuh dengan dosa. Dengan bertobat berarti kita sembuh. Karena itu, sabda Yesus kepada orang lumpuh tadi dapat diterapkan kepada kita saat ini. Tuhan Yesus telah memberi kehidupan kepada kita. Tuhan Yesus sudah memberi kesembuhan kepada kita melalui sakramen tobat. Oleh karena itu, Tuhan Yesus meminta kita untuk tidak berbuat dosa lagi.

by: adrian