Sabtu, 10 November 2012

Bidaah Jaman Leo Agung



Bidaah Masa Paus Leo Agung

Pada masa kepemimpinan Paus Leo I atau dikenal juga sebagai Leo Agung, ada banyak bidaah yang menyebarkan ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran iman resmi Gereja. Paus Leo Agung berjuang keras melawan mereka dibantu beberapa tokoh-tokoh lainnya. Berikut ini adalah para bidaah itu dengan ajarannya.

Pelagianisme

Pelagianisme dikembangkan oleh Pelagius. Sedikit sekali informasi yang dapat diketahui mengenai kehidupan Pelagius. Meskipun dia kerap disebut sebagai seorang rahib, namun hal itu tidak memberi kepastian bahwa dia memang adalah seorang rahib. Agustinus mengatakan bahwa dia hidup di Roma "dalam waktu yang sangat lama," dan bahwa dia berasal dari kepulauan Inggris. (Santo Heronimus menduga dia adalah seorang warga Skotlandia atau mungkin saja dari Irlandia). Yang pasti, dia terkenal di provinsi Romawi, baik karena kehidupan publiknya yang dijalaninya dengan matiraga-keras, maupun karena kekuatan dan persuasivitas dari khotbahnya. Sampai saat gagasan-gagasannya yang lebih radikal tercuat ke depan publik, bahkan tokoh-tokoh yang disebut sebagai sokoguru Gereja seperti Agustinus pun menyebutnya sebagai “orang suci.”

Pelagius mengajarkan bahwa kehendak manusia, dibarengi perbuatan-perbuatan baik dan kehidupan bermatiraga secara ketat, cukup untuk menjalani suatu kehidupan tanpa dosa. Dia mengatakan kepada para pengikutnya bahwa tindakan yang benar dari pihak manusia adalah segala-galanya yang diperlukan untuk mencapai keselamatan. Bagi dia, rahmat Allah hanyalah keuntungan tambahan; berguna, namun tidak esensial. Pelagius tidak percaya akan dosa asal, namun mengatakan bahwa Adam telah mengutuk umat manusia dengan teladan yang buruk, dan bahwa teladan baik Kristus menawarkan bagi kita suatu jalan menuju keselamatan, bukan melalui pengorbanan, melainkan melalui pengarahan kehendak. Heronimus bangkit sebagai salah seorang kritikus utama terhadap Pelagianisme, karena, menurut Heronimus, pandangan Pelagius secara mendasar mendustai karya Sang Mesias; dia secara pribadi lebih menyukai kata “pengajar” atau “guru” sebagai ganti sebutan apapun untuk kuasa ilahi.

Pelagianisme adalah faham yang meyakini bahwa dosa asal tidak merusak hakikat manusia (yakni hakikat ilahi, karena manusia diciptakan dari Allah) dan bahwa dengan kehendaknya yang fana manusia masih sanggup untuk memilih yang baik atau yang buruk tanpa pertolongan ilahi. Dengan demikian, dosa Adam "memberikan teladan yang buruk" bagi keturunannya, namun tindakan-tindakan Adam tidak mengandung konsekuensi-konsekuensi lain yang dihubung-hubungkan dengan dosa asal. Dari sudut pandang Pelagianisme, peran Yesus adalah "memberikan suatu teladan yang baik" bagi seluruh umat manusia (dengan demikian adalah kebalikan dari teladan buruk Adam). 

Singkatnya, manusia sepenuhnya memegang kendali, dan oleh karena itu sepenuhnya bertanggung jawab, atas keselamatannya sendiri selain itu juga sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap dosa yang diperbuatnya ("sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap dosa" ditekankan baik oleh pendukung maupun penentang Pelagianisme). Menurut Pelagianisme, oleh karena manusia tidak lagi memerlukan rahmat Allah di luar kreasi kehendaknya maka Sakramen Baptis tidaklah mengandung kualitas redemptif (pengampunan dosa) sebagaimana yang diajarkan oleh kaum Kristiani yang ortodoks.

Pelagianisme ditentang oleh Santo Agustinus dari Hippo, yang mengajarkan bahwa keselamatan seseorang itu terjadi semata-mata melalui rahmat Allah, dan hanya oleh kehendak Allah untuk menganugerahkannya bagi siapapun yang dipilih-Nya, tanpa perlu partisipasi dari pihak yang bersangkutan. Ajaran Agustinus mengakibatkan dikutuknya Pelagianisme sebagai suatu ajaran sesat dalam beberapa sinode lokal. Pelagianisme dikutuk pada tahun 416 dan 418 dalam konsili-konsili Kartago. Pengutukan-pengutukan ini secara ringkas disahkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431, meskipun bukan tindakan utama dari konsili itu. Pelagianisme sebagai suatu gerakan bidaah yang terstruktur lenyap selepas abad ke-6 namun gagasan-gagasan pokoknya terus-menerus menimbulkan perdebatan.

Thomas Bradwardine (1290 – 26 Agustus 1349), Uskup Agung Canterbury, dalam De causa Dei contra Pelagium et de virtute causarum menolak faham Pelagian pada abad ke-14, dan Gabriel Biel melakukan tindakan yang serupa pada abad ke-15.

Manicheisme

Aliran Manicheisme dikembangkan oleh seorang yang bernama Mani. Ia lahir di Persia sekitar tahun 215. Tidak banyak informasi yang dapat diketahui tentang orang ini. Yang jelas ia menganggap dirinya mengikuti nabi-nabi Perjanjian Lama, Zarathrustra, Buddha dan Yesus dengan menggabungkan unsur-unsur ajaran Zoroastrianisme, Buddhisme, Gnotisisme dan Kristianisme. Dengan ajarannya ini manusia dapat membebaskan diri dari benda dan kegelapan. Ajaran ini disertai dengan mati raga yang keras. Ia disebarkan melalui kegiatan misioner yang giat ke India, Cina, Italia, Afrika Utara, dan bagian lain dari kekaisaran Romawi.

Priscillianisme

Priscillian digambarkan sebagai pria bangsawan yang memiliki kekayaan besar, berani, gelisah, fasih, belajar melalui banyak membaca, sangat siap dalam debat dan diskusi. Pengikutnya yang pertama adalah seorang wanita bernama Agape dan seorang retorik bernama Helpidius. Melalui kharisma bicaranya dan reputasi dalam asketisme ekstrim ia menarik banyak pengikut, termasuk dua uskup: Instantius dan Salvianus. Sekte baru ini menjadi menarik perhatian Hyginus, uskup Codoba, Hydatius, uskup Emerita dan Ithacius dari Ossonoba. Para uskup dari Hispania dan Aquitaine ini kemudian mengadakan sinode di Zaragoza tahun 380. Meski dipanggil, para priscillian menolak untuk hadir, dan sinode menjatuhkan hukuman ekskomunikasi terhadap empat pimpinannya: Instantius, Salvianus, Helpidius dan Priscillian.

Ithacius dipilih untuk menegakkan keputusan sinode, tetapi ia gagal membawa bidaah itu untuk berdamai. Ithacius kemudian mengajukan banding ke otoritas kekaisaran. Kaisar Gratian mengeluarkan dekrit yang menghukum para priscillian dalam pengasingan. Mereka meminta bantuan Paus Damasus I di Roma, namun ditolak. Mereka pergi ke Milan untuk membuat permintaan yang sama kepada St Ambrosius, namun hasilnya sama.

Melalui intrik dan suap di Pengadilan dengan sukses mereka dibebaskan dari hukuman pengasingan. Mereka juga diizinkan untuk mendapatkan kembali kepemilikan dari gereja-gereja mereka di Hispania, serta mereka memaksa Ithacius untuk meninggalkan negara itu.

Setelah kematian Priscillian, para pengikutnya meningkat. Paulus Orosius, seorang imam Galikan dari Barat Laut Hispania, menulis kepada St Agustinus (415) untuk meminta bantuannya dalam memerangi ajaran sesat. Paus Leo I mengambil langkah tegas dan aktif untuk menghadang aliran sesat ini.

Landasan doktrin Priscillianisme adalah Gnostik Manichaean, yaitu keyakinan akan adanya dua kerajaan, Kerajaan Cahaya dan Kerajaan Kegelapan. Malaikat dan jiwa manusia dipisahkan dari substansi Ketuhanan. Jiwa manusia yang dimaksudkan untuk menaklukkan Kerajaan Kegelapan, tapi jatuh dan dipenjara dalam tubuh materi. Keselamatan manusia terdiri pembebasan dari dominasi materi.

Doktrin-doktrin ini bisa diselaraskan dengan ajaran Alkitab hanya oleh sebuah sistem yang kompleks penafsiran, menolak interpretasi konvensional dan mengandalkan ilham pribadi. Para Priscillian menerima sebagian besar Perjanjian Lama, tetapi menolak kisah penciptaan. Beberapa Kitab Suci apokrif diakui sebagai asli dan terinspirasi. Karena Priscillian percaya bahwa materi dan alam yang jahat, mereka menjadi pertapa dan berpuasa pada hari Minggu dan Hari Natal. Karena doktrin mereka esoteris dan eksoteris, dan karena itu percaya bahwa laki-laki pada umumnya tidak bisa memahami jalan yang lebih tinggi atau setidaknya mereka dari mereka yang tercerahkan, diizinkan untuk berbohong demi akhir suci. Agustinus menulis sebuah karya yang terkenal, "Contra Mendacium" ("Melawan Berbohong") sebagai reaksi terhadap doktrin ini.

Monofisitisme

Monofisitisme (berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu mono yang berarti satu dan phusis yang berarti kodrat). Monofisit adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran bidaah oleh Konsili Kalsedon pada tahun 451. Aliran ini memahami bahwa, Kristus hanya memiliki satu kodrat, yaitu kodrat ilahi.

Monofisit melihat bahwa tabiat yang Yesus miliki hanyalah tabiat tabiat yang satu dan kudus (ilahi). Terdapat dua doktrin utama dalam monofisit:
1.     Eutychianisme meyakini bahwa kodrat manusiawi dan ilahi pada Kristus tergabung menjadi suatu kodrat yang tunggal: kodrat kemanusiannya telah hilang seperti memasukan madu ke dalam laut.[4] Sesuai dengan nama alirannya, tokohnya adalah Eutykhes seorang rahib di biara arkimandrit di Konstantinopel.
2.     Apollinarisme mempercayai bahwa Kristus memiliki tubuh dan dasar hidup manusiawi, tetapi Logos Ketuhanan telah mengambil tempat nous, atau "dasar pemikiran", dapat dianalogikan tetapi tidak identik dengan akal.

Cyrillus adalah seorang uskup Aleksandria yang setuju bahwa iman akan inkarnasi Allah hanya terjamin jika communicatio idiomatum diterima tanpa syarat dan gelar Theotokos diberikan kepada bunda Maria, maka akibat ini perhatian Cyrillus tertuju pada soteriologis. Ia menaruh perhatian, sekaligus menentang pandangan soteriologis dan pemahaman kodrat Yesus yang dipahami oleh Nestorius. Komentar Cyrillus pada ekaristi Nestorius yang menurutnya dalam ekaristi yang hadir di altar hanyalah tubuh manusia, sehingga daya ilahi tidak ada. Bertolak dari keprihatinan inilah, Cyrillus menegaskan bahwa Logos, ilahilah yang menjelma ke dalam Yesus Kristus. Ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan subjek, yaitu kodrat ilahi pada Yesus Kristus. Maka ajaran ini juga diteruskan oleh Rahib Eutykhes.

Yustianus adalah seorang yang dikenal sekali karena keorthodoksannya. Ia seorang kaisar yang memerintah di Byzantium (527-565). Dalam masa pemerintahannya, Yustianus dikenal sebagai kaisar yang tidak mau tunduk pada siapapun, bahkan setiap uskup baik dari gereja Timur ataupun Barat harus mematuhi setiap keputusan-keputusannya. Keorthodoksan dan kerasnya pemerintahan Yustianus, membuat ia mengawasi dengan sangat ketat setiap penyimpangan terhadap Kristen Orthodoks. Selama pemerintahan Yustianus, ia mengangkat sebuah undang-undang baru yang salah satu penekanannya adalah mengagungkan kekuasaan kaisar, menekankan juga pengaruh besar dari bapak-bapak gereja dan uskup di seluruh wilayah kekaisarannya, karena inilah akhirnya pengaruh gereja mencapai puncaknya di wilayah Timur. Selain kejayaan dalam masa kekaisarannya, Yustianus juga terpengaruh oleh karakter Kontantinus dalam usahanya mengembalikan kemuliaan kekaisaran yang murni. Maka usaha ini didukung oleh isterinya, yaitu Ratu Theodora yang dikenal sebagai pendukung Monofisit yang teguh. Atas dukungan besar dari isterinya untuk merebut kembali Afrika Utara, Italia, Sardinia, Sisilia, dan Spanyol bagian Selatan dan juga usaha untuk menyatukan kelima uskup, yaitu: Roma, Konstantinopel, Anthiokhia, Aleksandria, dan Yerusalem dilihat sebagai pengaruh besar yang membuat Yustianus akhirnya menerima Monofisit.

Setelah pisah dari gereja resmi melalui Konsili Kalsedon dan berdiri sendiri terjadi juga berbagai pandangan dalam kalangan Monofisit sendiri. Golongan itu adalah:
1.     Golongan Yulianis atau dikenal dengan Aphthartodocetae yang mengajarkan bahwa tubuh Kristus tidak dapat binasa sejak inkarnasi.
2.     Golongan Theopaschitisme yang muncul pada abad VI yang mengajarkan bahwa dalam inkarnasi Yesus, Allah sesungguhnya ikut menderita. Ajaran ini dipelopori oleh Yohanes Maxentius.

by: adrian, dari berbagai sumber

Orang Kudus 10 November: St. Leo Agung

Santo Leo agung, Paus & Pujangga Gereja
Sebagai paus, Leo Agung dikenal juga sebagai Leo I. Ia lahir di Tuscany, Italia, dari sebuah keluarga bangsawan kaya. Ia diangkat menggantikan Paus Sixtus III (432 – 440) dan dinobatkan pada 29 September 440. Ketika terpilih menjadi paus, ia sedang menjalankan suatu misi diplomatik di Gaul (sekarang : Perancis) atas permintaan Kaisar Valentinianus III. Misi itu ialah mendamaikan Aetius dan Albinus, dua jenderal kekaisaran yang bertikai sehingga melemahkan pertahanan bangsa Perancis melawan serangan bangsa Barbar. Pengangkatan dirinya menjadi paus sungguh mengejutkan karena pada waktu itu ia masih berstatus Diakon Agung di dioses Roma.

Ia segera menunjukkan bakat dan kemampuannya memimpin Gereja, dengan mengambil tindakan keras terhadap bidaah-bidaah yang berkembang pada masa itu: pelagianisme, Manicheisme, Priscillianisme dan Monofisitisme. Leo benar-benar menghadirkan kembali sosok Rasul Petrus yang pernah dengan pedangnya membela Yesus di taman Getzemani. Leo menghadapi semua serangan terhadap ajaran iman yang benar dan serangan terhadap kota Roma dengan kesucian dan kefasihan lidahnya. Raja Atilla dan Genserik tak berdaya menghadapinya.

Pada tahun 442, Leo menghadapi masalah-masalah serius di dalam diosesnya, khususnya di Aquileia, Italia. Di sana ada beberapa pengikut Pelagius – seorang rahib Inggris yang menyebarkan ajarat sesat Pelagianisme – berniat kembali ke pangkuan Gereja namun tidak sudi melepaskan ajaran sesat yang telah dianutnya. Hal ini sangat merisaukan Leo karena di antara ajarannya yang lain, Pelagius dengan tegas menolak pentingnya rahmat Allah bagi keselamatan. Menghadapi hal itu, Paus Leo menuntut agar semua pengikut Pelagianisme yang mau kembali ke pangkuan Gereja harus membuat pengakuan umum akan iman katolik di hadapan sinode pada uskup di wilayahnya dan secara terbuka menolak Pelagianisme.

Selanjutnya Leo menghadapi lagi aliran Manicheisme, yang mengajarkan adanya dualisme antara prinsip kebaikan dan kejahatan. Hidup manusia di dunia ini merupakan suatu pertentangan kekal antara kedua prinsip itu; semua hal duniawi, termasuk tubuh manusia, adalah jahat pada dirinya. Ditumpangi oleh bangsa Vandal yang suka berperang, banyak penganut Manicheisme bermigrasi dari Kartago ke Italia dan menetap di Roma. Menghadapi bahaya aliran sesat ini maka pada tahun 443 Paus Leo menggalakkan kampanye menentang pada penganut Manicheisme itu. Ia didukung oeh Kaisar Valentinianus III. Banyak penganut aliran itu kemudian bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja.

Di luar Roma, paus khawatir akan bahaya bangkitnya kembali ajaran sesat Priscilianisme di Spanyol yang dalam beberapa hal sama dengan Manicheisme. Aliran itu mengajarkan bahwa unsur manusiawi dan unsur duniawi sama-sama merupakan hasil prinsip kejahatan dan bahwa hanya unsur ilahi sajalah yang baik. Sebagai jawaban terhadap seruan paus, para uskup Spanyol menyelenggarakan sinode untuk menghukum aliran sesat Priscillianisme di Spanyol.

Paus juga menyerang aliran sesat Monofisitisme yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunya satu kodrat, yaitu kodrat ilahi. Ajaran ini menentang dogma tentang Kristus, Pribadi Ilahi yang mempunyai dua kodrat, Allah sekaligus manusia. aliran inilah yang menyebabkan krisis doktrinal paling besar dalam masa kepemimpinan Leo. Aliran ini berkembang luar biasa cepatnya, sehingga Santo Flavianus, Patriark Konstantinopel menyerukan kepada Leo akan dukungannya sebagai pembela dan pemimpin tertinggi Gereja. Leo menjawab seruan itu dalam sebuah suratnya kepada Flavianus. Di dalamnya ia menandaskan secara jelas bahwa Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia, tetapi satu pribadi yaitu pribadi Yesus Kristus. Surat kepada Flavianus ini kemudian menjadi pokok keputusan Konsili Kalsedon.

Ketika Kaisar Teodosius II – pendukung kental para penganut Monofisitisme – mendengar pernyataan paus itu, ia segera memerintahkan Dioscurus, Patriark Aleksandria yang menganut Monofisitisme, untuk menyelenggarakan satu konsili di Efesus. Uskup-uskup yang berkumpul dalam konsili itu dijaga ketat oleh pasukan-pasukan kekaisaran. Santo Flavianus dipersalahkan dan mati karena pembelaannya terhadap ajaran iman yang benar sebagaimana ditekankan Paus Leo. Para utusan paus tidak punya hak bicara dan tidak diperkenankan memimpin rapat. Surat yang dikirim Paus Leo tidak dapat didengarkan dengan baik karena kegaduhan dan teriakan-teriakan. Akhirnya konsili liar itu mengesahkan ajaran sesat Monofisitisme. Paus Leo mengutuk konsili itu dan menamakannya sebagai Konsili para Penyamun.

Sebagai protes terhadap keputusan konsili liar itu, Paus Leo menyelenggarakan sebuah konsili lain di Kalsedon pada tahun 451. Tugas konsili ini ialah “menegaskan kodrat keallahan dan kemanusiaan dalam pribadi Yesus Kristus serta mengutuk Monofisitisme dan membendung pengaruhnya.” Sekitar 600 orang uskup yang berkumpul dalam konsili itu menerima ajaran dogmatik Leo yang tertulis dalam suratnya kepada Santo Flavianus. Dalam tulisan-tulisannya yang bernada keras maupun manis, ia menyerang semua bidaah itu. Ia pantang menyerah, seperti seekor singa menerjang setiap mangsa yang ada di hadapannya.

Selain menghadapi aliran sesat itu, Leo menghadapi juga serangan terhadap kota Roma. Tercatat serangan Atilla, raja bangsa Hun pada tahun 452, dan serangan Genserik, raja bangsa Vandal yang suka berperang. Leo bersama sekelompok imam dan senator Roma menghadap Atilla dan berbicara dengannya. Ia berhasil meyakinkan Atilla agar segara menarik pasukan-pasukannya dan tidak menyerang kota Roma. Demikian pula terhadap Genserik, raja Vandal itu. Leo benar-benar menghadirkan kembali sosok Rasul Petrus yang membela Yesus dengan pedangnya. Ia berhasil menerjang bangsa-bangsa barbar yang mau menghancurkan kekristenan.

Dengan semua tindakannya, Leo menjadi salah seorang paus pembela ajaran iman yang benar dan pembela kota Roma dari serangan bangsa barbar. Ia, seorang gembala yang baik yang berani membela umatnya dari berbagai serangan. Ia menjadi teladan bagi para gembala: penuh semangat, berhati lapang tetapi tetap saleh, sehingga dapat bertindak secara fleksibel. Surat-surat dan kotbah-kotbahnya sangat bernilai karena buah pikirannya yang dalam. Selain dikenal sebagai penulis, orator, diplomat, negarawan dan teolog, Leo juga seorang administrator besar. Selama masa pontifikatnya, ia membangun dan memperbaiki banyak gereja. Masa kepemimpinannya menandai salah satu masa yang paling penting dalam sejarah Gereja Perdana.

Ia wafat pada 10 November 461 dan dimakamkan di ruang depan basilik Santo Petrus. Beliau adalah paus non-martir pertama dalam sejarah Gereja. Pada tahun 688, Paus Sergius I (687 – 701) memindahkan relikuinya ke bagian dalam basilik itu. Pada tahun 1607 para pekerja menggali kembali relikuinya dan memindahkannya ke dalam basilik Santo Petrus yang baru. Pada tahun 1754, Paus Benediktus XIV (1740 – 1758) menggelari Leo sebagai Pujangga Gereja.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Sabtu Biasa XXXI - Thn II

Renungan Hari Sabtu Pekan Biasa XXXI B/II
Bac I  Flp 4: 10 – 19; Injil        Luk 16: 9 – 15

Di dalam Injil hari ini Yesus berbicara soal kesetiaan, pengabdian, harta dan mamon yang adalah dewa uang. Sabda Yesus ini secara implisit diarahkan kepada orang-orang Farisi. Mereka dikenal sebagai "hamba-hamba uang." (ay. 14). Sabda Yesus merupakan sindiran dan kritikan terhadap mereka yang gila pada uang dan kekayaan; yang mengutamakan uang dan kekayaan daripada Allah.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa secara tersembunyi Yesus mau menyampaikan kepada kaum Farisi dan juga para murid-Nya agar tidak melupakan Tuhan hanya demi uang dan kekayaan. Bukan berarti Yesus mengajak mereka bersikap anti pada uang dan kekayaan, yang adalah mamon. Yesus berkata, "Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi." (ay. 9). Ada sikap lepas bebas terhadap mamon itu. Artinya, para murid diminta untuk menggunakan mamon tidak hanya demi kepentingan diri sendiri melainkan juga kepentingan sesama.

Pengajaran Yesus inilah yang diterapkan oleh Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus mengungkapkan pengalaman hidupnya berkaitan dengan uang dan kekayaan. Terhadap mamon itu, Paulus bersikap lepas bebas sehingga kesannya ia berkekurangan tapi sebenarnya berkelimpahan. Apa yang ada pada Paulus digunakan untuk umat demi kemuliaan Kristus.

Dewasa ini harta dan kekayaan menjadi segala-galanya dalam kehidupan manusia. Ada banyak kaum Farisi generasi baru saat ini. Hidup hanya untuk uang dan kekayaan; uang dan kekayaan hanya untuk hidup. Tuhan menjadi yang kesekian.

Oleh karena itu, Sabda Tuhan hari ini mau menyadarkan kita untuk bersikap terhadap uang dan kekayaan itu. Bukan lantas kita menjadi antipati. Tuhan menghendaki agar kita, hidup dan diri kita, terarah pada-Nya. Tujuan hidup kita adalah kebahagiaan di sorga. Di sorga uang dan kekayaan itu tidak dibutuhkan; tapi kita dapat menggunakan uang dan kekayaan itu untuk ke sorga. Ini mengandaikan hati dan pikiran kita terarah kepada Tuhan.

by: adrian