Minggu, 21 Juli 2013

Visi Keuskupan: Menjadi Gereja Partisipatif

Setiap kali masuk ke dalam gereja St. Yosep, kita langsung dihadapkan pada tulisan spanduk di atas altar “Visi Keuskupan Pangkalpinang: UMAT ALLAH KEUSKUPAN PANGKALPINANG, DIJIWAI OLEH ALLAH TRITUNGGAL MAHAKUDUS, BERTEKAD MENJADI GEREJA PARTISIPATIF”.

Pemampangan tulisan di atas altar bukanlah tanpa maksud atau bertujuan gaya saja, melainkan agar setiap kali datang ke gereja, umat membacanya, meresapinya dan menghayatinya, sehingga terwujud visi tersebut. Kalimat panjang visi itu sebenarnya bisa disederhanakan menjadi “Menjadi GEREJA PARTISIPATIF.”

Bagaimana kita dapat mewujudkan Gereja Partisipatif? Pertama-tama kita harus paham dulu dua kata tersebut.

Gereja Partisipatif
Gereja adalah umat Allah. Gereja adalah anggota Tubuh Mistik Kristus. Anggota itu disatukan melalui sakramen-sakramen (LG No 7). Sebagaimana tubuh memiliki banyak anggota, namun tetap satu tubuh, demikian juga dengan Gereja (bdk. 1Kor 12: 1 – 12). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Gereja itu adalah saya, Anda dan sekaligus juga kita. Jadi, Gereja memiliki dimensi personal (saya, Anda) dan sekaligus juga kolektif (kita).

Kata “partisipatif” mengacu pada makna berperan serta dalam suatu kegiatan. Kata ini dapat disamakan dengan kata “aktif”. Karena ini, pada kata “partisipatif” tidak ada istilah diam atau pasif. Apapun yang dilekatkan dengan kata “partisipatif” berarti harus bergerak aktif dalam aksi.

Karena itu, Gereja Partisipatif bisa dipahami, secara personal, saya dan/atau Anda berperan serta dan aktif, bukan diam menunggu apalagi pasif. Gereja Partisipatif bisa dipahami, secara kolektif, kita berperan serta dan aktif, bukan diam menunggu apalagi pasif. Berperan serta dalam hal apa? Kita dapat berperan serta atau ambil bagian dalam duka dan kecemasan, derita dan kegembiraan anggota Gereja serta membangun suatu dunia yang dilandasi cinta, damai dan keadilan. (bdk. MGP, no. 159).  Dengan kata lain, kita diminta untuk mau tertawa dengan sesama yang bergembira, dan menangis dengan sesama yang berduka.

Tiga Bintang
Apa kriteria Gereja Partisipatif? Saya bisa dikatakan Gereja Partisipatif atau Anda bisa dikatakan Gereja Partisipatif atau kita bisa dikatakan Gereja Partisipatif jika terdapat tiga bintang sebagai satu kesatuan. Tiga bintang itu adalah:
1.      Berpusat pada Kristus
2.      Berkomunio
3.      Bermisi

Jadi, jika dalam hidup saya sudah berpusat pada Kristus, saya terlibat dalam komunitas dan saya juga terlibat dalam misi, maka saya adalah Gereja Partisipatif. Jika dalam hidup Anda sudah berpusat pada Kristus, Anda terlibat dalam komunitas dan Anda juga terlibat dalam misi, maka Anda adalah Gereja Partisipatif. Dan jika dalam hidup kita sudah berpusat pada Kristus, kita terlibat dalam komunitas dan kita juga terlibat dalam misi, maka kita adalah Gereja Partisipatif.

Bintang 1: Berpusat pada Kristus
Berpusat pada Kristus berarti menjadikan Kristus sebagai sumber kehidupan Gereja (saya, Anda, dan sekaligus juga kita), pusat pelayanan dan tujuan hidup Gereja. (lih. MGP, no. 161).

Menjadikan Kristus sebagai sumber berarti saya, Anda, dan sekaligus juga kita selalu mengawali setiap aktivitas kehidupan dalam Kristus. Saya, Anda dan sekaligus juga kita, selalu menimba kekuatan dari Kristus dalam setiap awal kegiatan. Kristus itu bisa dijumpai dalam Kitab Suci, Ekaristi dan doa devosi. Jadi, jika sebelum beraktivitas saya, Anda dan sekaligus juga kita, membaca Kitab Suci (karena Kitab Suci paling mudah dan dekat) untuk mencari tahu apa kata Yesus hari ini untuk saya, Anda dan sekaligus juga kita, maka kita sudah menjadikan Kristus sebagai sumber. Bisa juga dengan berdoa kepada Kristus, mohon berkat dan perlindungan.

Menjadikan Kristus sebagai pusat pelayanan atau kegiatan artinya ajaran, semangat dan hidup Kristus mewarnai setiap karya saya, Anda dan sekaligus juga kita. Jadi, jika misalnya hari ini kita membaca Kitab Suci dan menemukan apa kata Tuhan, maka perkataan Tuhan itu hendaknya mewarnai kehidupan kita hari ini.

Menjadikan Kristus sebagai tujuan berarti apapun yang saya, Anda dan sekaligus juga kita kerjakan demi kemuliaan Tuhan. Atau juga seperti yang dikatakan Yesus, “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25: 40).

Bintang 2: Berkomunio
Berkomunio berarti berkomunitas. Keuskupan kita sedang menggalakkan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai bentuk cara menggereja yang baru. Jadi berkomunio berarti terlibat dalam kegiatan KBG.

Karena itu, saya baru dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika saya terlibat aktif dalam kegiatan KBG. Anda baru dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika Anda terlibat aktif dalam kegiatan KBG.

Dalam berkomunio pertama-tama ada saling kenal, bukan sekedar identitas saja melainkan juga kehidupan dan kebutuhan. Dalam berkomunio itu ada juga komunikasi yang dialogal, bukan monologal. Komunikasi dialogal berarti komunikasi dua arah: saling berbicara dan saling mendengarkan.

Harus disadari bahwa satu komunitas itu beragam, baik suku, status sosial, pekerjaan, umur, dll. Keragaman ini harus menjadi kekayaan, bukan bahan perpecahan. Agar dalam keragaman ini, komunio bisa berjalan, maka dibutuhkan sikap rendah hati, lemah lembut, sabar, saling mengasihi, saling membantu, saling menghormati, tidak membalas dendam, solider, dan sikap kemuridan. (lih. MGP, no. 173).

Bila dalam KBG saya, Anda dan sekaligus juga kita dapat mewujudkan komunio, maka KBG kita menjadi “Gereja Domestik” yang adalah sakramen keselamatan. (bdk. MGP, no. 179).

Bintang 3: Bermisi
Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, dan kita adalah anggotanya. Saya dan Anda sudah disatukan dengan Kristus melalui sakramen. Penyatuan itu membuat saya dan Anda ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus.

Karena itu, saya dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika saya bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Anda dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika Anda bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Dan kita, sebagai anggota KBG, dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika kita bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Karya pastoral ini misalnya seperti bakti sosial, kunjungan orang sakit, membantu sesama, dll.

Saya dan juga Anda dapat bermisi secara personal dan juga secara kolektif dalam KBG. Sekalipun personal, kita tak bisa dipisahkan dari Kristus. Karya misi yang dilakukan harus bersumber, berpusat dan bertujuan demi kemuliaan Kristus.

Bermisi ini bisa saja lewat kata-kata, misalnya menasehati rekan yang malas, menegur teman yang menyontek, menghibur orang sakit, dll. Bermisi juga bisa lewat perbuatan, misalnya membantu dengan dana orang yang berkekurangan, bakti sosial, donor darah, dll. Bermisi bisa pula lewat sikap hidup, misalnya sikap rendah hati, pemaaf, lemah lembut, tidak egois, sikap mau berbagi, dll.

Gereja Partisipatif Dinamis
Gereja Partisipatif yang mau diwujudkan bukanlah bersifat statis, dalam arti sekali aksi selesai. Bukan berarti bahwa dengan menampilkan 3 bintang dalam satu kegiatan sehingga kita menjadi Gereja Partisipatif maka selesai. Gereja Partisipatif itu haruslah dinamis, tidak hanya sekali aksi saja, melainkan berlangsung seterusnya.

Tiga bintang sebagai kriteria Gereja Partisipatif haruslah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga bintang itu harus dijalankan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Dan ketiga bintang itu harus tetap menjadi pedoman setiap langkah hidup kita.


by: adrian

(C E R P E N) Tono & Tini

TINI DAN TONO


            Hujan terus mengguyur kota Jakarta. Sudah tiga hari ini hujan tidak bosan-bosannya turun dari langit, padahal masyarakatnya sudah bosan. Siapa sih, yang nggak bosan mendekam terus di rumah. Apalagi Tono dan adiknya, Tini, dua bocah ingusan usia 8 dan 5 tahun. Sudah dua hari mereka tidak ngamen di bisbis kota jurusan UKI – Priok atau Rawamangun. Rumah mereka di perkampungan kumuh Prumpung, sudah tergenang air. Biasa, sudah tradisi.
            Tono duduk sambil memeluk kakinya. Sementara adiknya sibuk mengitari ruang segi empat puncak monas. Ketika air mulai membanjiri kawasan rumah mereka, Tono cepat-cepat mengajak adiknya ke Monas. Ia ingat pesan almarhum si Mbah, orang yang telah merawat mereka sejak kecil.
            “Tahun ini, alam akan murka pada Jakarta. Kalo banjir datang, pergilah kamu ke monas. Di sana aman.”
            Semalam, ia berhasil main kucing-kucingan dengan petugas pintu monas. Ia berhasil masuk membawa adiknya dan naik ke atas. Sudah dua hari mereka di sana. Sementara banjir terus menyapu rata permukaan kota Jakarta. Dari atas monas, mereka tidak bisa lagi melihat kampung Prumpung. Semua sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang. Bang liat, air sudah memasuki rumah-rumah orang kaya itu.”
            “Biarin! Agar mereka tau rasa juga.”
            Sepertinya murka alam kali ini cukup adil, pikir Tono. Banjir tidak saja melanda kaum miskin kota, melainkan juga kena pada orang-orang kaya. Dengan serius ia memparhatikan keluarga kaya keluar dari rumah dengan naik gerobak. Ada juga yang pakai truk. Tono tersenyum. Ada kesan lucu dari pemandangan itu. Biasanya mereka merasa nyaman dengan sedan mewahnya. Kini, banjir mendidik mereka untuk merasakan juga nikmatnya naik gerobak atau truk.
            “Bang, ada tawuran!”
            Edan, pikir Tono. Masa’ dalam suasana susah begini, orang masih sibuk tawuran. Tono berdiri mendekati adiknya. Dilayangkannya pandangannya ke arah telunjuk adiknya.
            “O, itukan pintu air Manggarai. Pasti warga mau supaya pintu air itu dibuka. Liatlah, rumah warga sudah pada terendam semuanya.”
            “Tapi di sana kok nggak banjir.” Tini menunjuk ke sebuah perumahan elit Kapuk, di wilayah Utara Jakarta “Tu, malah ada yang asyik main golf.
            “Liat, warga dan tentara lagi rebutan perahu karet.”
            “Liat, ada bendera partai di sana. Ngapain ya mereka? Bagi-bagi bantuan atau kampaye?”
            “Bang, kita turun cari makan dulu, yuk! “
            “Buat apa? Kita di sini saja supaya selamat. Menurut ramalan, banjir kali ini sangat dahsyat. Pasti akan banyak yang mati. Nanti kalo airnya sudah surut, baru kita turun. Kita langsung ke mal untuk ambil barang-barang yang selama ini hanya bisa kita liat. Kan, orang-orang sudah pada mati. Kita tinggal milih, mana yang suka”
            “Aku nanti ambil play station, boneka-bonekaan, ...”
            “Tu liat, air sudah masuk istana negara.”
            Banjir terus merengsek naik. Air tidak mau pandang bulu. Sejak istana negara dilanda air setinggi lutut, tidak ada lagi kawasan Jakarta yang bebas banjir. Sungguh dahsyat banjir kali ini.
            Para gelandangan yang biasanya membuat rumah di kolong jembatan atau di bantaran kali, terlihat sibuk membangun rumah di atas pohon-pohon di pinggir jalan kota Jakarta. Dalam waktu singkat, pohon-pohon mahoni yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk, Diponegoro, Imam Bonjol serta kawasan monas, sudah dipenuhi dengan rumah gubuk yang terbuat dari kardus.  Sementara orang-orang kaya terpaksa nginap di hotel-hotel atau di gedung-gedung bertingkat. Dengan sekejap, hotel sudah dipenuhi dengan warga kelas elit, bahkan mereka sampai ke atap gedung bertingkat itu.
            “Bang, itu kan Bang Sonny, yang biasa bawa acara Famili cepek. Mau ke mana dia, banjir-banjir begini. Tu, lagi abang pembawa acara kuis . Ada lagi di sana Bang Tantowi, pembawa acara milioner. Mau kemana mereka, ya?”
            “Biasa. Mau mengajak orang Jakarta bermimpi.”
            Air hujan tetap terus turun dari langit. Sementara langit belum juga menunjukkan tanda-tanda kecerahan. Banjir terus naik. Sekarang, orang-orang yang berada di lantai dua gedung bertingkat berajak naik ke tingkat atas. Mereka naik ke atap gedung tersebut. Patung sang tokoh proklamator sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang, sebenarnya apa yang menyebabkan banjir ini?”
            “Suara ahli saja nggak mau didengar, apalagi kita!”

Tanjung Pinang, 7 Februari 2002

by: adrian
Baca juga:
1.      Leo dan Lia
2.      Maafkan Aku, Lala
4.      Kicau Burung Hilang

5.      Kuda Lumping

(Inspirasi Hidup) Percaya sebagai Dasar Relasi

PERCAYA SEBAGAI DASAR RELASI
"Perekat yang menyatukan suatu hubungan, termasuk hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah kepercayaan, dan kepercayaan itu dibangun atas dasar integritas." Demikian kata Brian Tracy. Kepercayaan adalah fondasi dari semua hubungan. Hubungan kerja, bisnis, kepemimpinan dan tentu saja cinta dibangun atas dasar kepercayaan. Tanpa itu, sebuah hubungan tak akan berjalan, sebuah organisasi pun akan kacau, karena relasi itu dipenuhi dengan saling curiga dan saling menjatuhkan.

Bayangkan jika kita berada dalam sebuah lingkungan, hubungan atau organisasi tanpa kepercayaan, para pekerjanya saling curiga satu sama lain dan para atasannya berusaha mempertahankan posisinya masing-masing dengan segala cara. Organisasi seperti itu sangat rapuh dan tinggal menunggu waktu untuk hancur.

Sebagai seorang pemimpin, kita harus meluangkan banyak waktu untuk membangun kepercayaan dari bawahan atau pengikut kita. Kepercayaan itu sebenarnya dibangun atas fondasi sederhana. Jalanilah kehidupan dengan penuh integritas dan hormati orang lain. Konsistensi dalam kata dan perbuatan. Melakukan dan menepati apa yang kita katakan pada orang lain. Untuk itu semua dibutuhkan komunikasi yang dialogal.

Sebelum kita mengharapkan orang lain percaya pada kita, sebagai pemimpin kita harus percaya dahulu pada orang lain. Mendelegasikan tugas atau kewenangan merupakan salah satu wujud memberi kepercayaan. Delegasikanlah kewenangan kita pada mereka. Mereka pun akan merasa dipercaya dan dihargai atas kemampuan mereka. Memberi delegasi kepada bawahan sama saja berarti kita mengakui keberadaannya.

Memang harus disadari bahwa menumbuhkan kepercayaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kita pernah mengalami trauma atas penyalahgunaan kepercayaan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dan hanya butuh waktu beberapa detik untuk menghancurkannya. Meskipun demikian tetaplah berusaha untuk mempercayai. Belajarlah mempercayai, belajarlah untuk jadi orang yang dipercaya.

by: adrian, diolah dari email Anne Ahira
Baca juga refleksi lainnya:

Renungan Hari Minggu Biasa XVI-C

Hari Minggu Biasa XVI, Thn C/I
Bac I   : Kej 18: 1 – 10a; Bac II     : Kol 1: 24 – 28
Injil     : Luk 10: 38 – 42

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara tentang hubungan dekat dengan Tuhan. Kedekatan relasi ini tidak disalahgunakan, melainkan ditunjukkan bagaimana seharusnya. Dalam bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Kejadian, ditampilkan kedekatan hubungan Abraham dengan Allah. Abraham tidak memanfaatkan kedekatan relasi tersebut untuk kepentingan dirinya, melainkan Abraham tampil sebagai pelayan.

Hal senada tampak dalam bacaan kedua. Paulus memiliki relasi yang dekat dengan Kristus. Namun Paulus tidak menyalahgunakan kedekatan relasi ini untuk kenikmatan pribadinya, melainkan untuk melayani jemaat. Malah demi pelayanan umat ini Paulus harus menderita, tapi ia tetap bersuka cita. (ay. 24). Dalam suratnya kepada jemaat di Kolese Paulus menyatakan bahwa Kristus juga dekat dengan para jemaat. Namun Paulus meminta agar umat tidak menyalahgunakan kedekatan itu untuk kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.

Memanfaatkan kedekatan yang benar terlihat juga dalam Injil, yang ditampilkan oleh Maria. Kedekatan itu bukan hanya soal relasi emosional, melainkan juga pada fisik, yaitu “duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya.” (ay. 39). Di sini Maria mau memberikan teladan kedekatan itu. Memang ada kesan kedekatan Maria semata untuk kepentingan dirinya. Namun kedekatan Maria itu berguna untuk mengetahui kehendak Tuhan baginya.

Melalui sabda-Nya hari ini, Tuhan menyadarkan kita bahwa kedekatan dengan diri-Nya hendaknya jangan disalahgunakan untuk kepentingan diri kita sendiri yang dapat mengorbankan sesama, melainkan untuk pelayanan bagi sesama. Dekat dengan Tuhan berarti ikut ambil bagian dalam tugas pelayanan-Nya. Bukan lantar berarti kita tidak perlu dekat dengan Tuhan. Justru kita dipanggil untuk hidup dekat dengan-Nya. Kedekatan itu dapat terlihat dalam devosi Sakramen Mahakudus, rajin menghadiri ekaristi, membaca kitab suci, doa dalam komunitas, dll. Akan tetapi dari kedekatan itu kita terpanggil kepada sesama.

by: adrian