Rabu, 05 Desember 2018

SEPUTAR LITURGI SABDA

Dalam perayaan ekaristi atau ibadat sabda, setelah upacara pembukaan disusul dengan liturgi sabda. Bagian akhir dari upacara pembukaan adalah Doa Pembuka, sedangkan bagian pertama dari liturgi sabda adalah Bacaan Pertama. Untuk misa harian, ada dua bacaan (bacaan pertama dan Injil), sedangkan misa hari Minggu dan hari raya ada 3 bacaan (bacaan pertama, kedua dan Injil). Setelah bacaan pertama ada Mazmur Tanggapan (MT). Dalam misa harian sesudah MT langsung diikuti dengan Bait Pengantar Injil lalu Bacaan Injil; sementara dalam misa hari Minggu atau hari raya, sesudah MT ada Bacaan Kedua lalu Bait Pengantar Injil dan Bacaan Injil. Setelah Bacaan Injil ada Homili, lalu diikuti Credo atau Aku Percaya. Liturgi Sabda ditutup dengan Doa Umat. Semua kegiatan ini berlangsung di mimbar (PUMR no. 309). Untuk misa harian, dua bagian terakhir sering ditiadakan.
Misa Harian
Misa Hari Minggu/Hari Raya
1.    Bacaan Pertama
2.    Mazmur Tanggapan
3.    Bait Pengantar Injil
4.    Bacaan Injil
5.    Homili

1.    Bacaan Pertama
2.    Mazmur Tanggapan
3.    Bacaan Kedua
4.    Bait Pengantar Injil
5.    Bacaan Injil
6.    Homili
7.    Aku Percaya (credo)
8.    Doa Umat
Lektor membacakan bacaan pertama dan kedua dengan suara nyaring, dengan jelas dan penuh penghayatan (OLM no. 14). PUMR meminta agar sesudah bacaan (baik pertama maupun kedua) diadakan saat hening sejenak agar umat dapat merenungkan apa yang mereka dengar (no. 56, 128, 130; bdk. OLM no. 28). Bagaimana lektor memulai tugasnya? Ordo Lectionum Missae mengatakan, “Selalu hendaknya dikatakan: Pembacaan dari ... atau Pembacaan dari surat...” (no. 121.1). Setelah bacaan pertama disusul dengan mazmur tanggapan. PUMR menganjurkan supaya mazmur tanggapan ini dilagukan, sekurang-kurangnya bagian ulangan yang dibawakan umat (no. 61, bdk. OLM no. 20). Jika tidak dilagukan, mazmur tanggapan hendaknya didaraskan (no. 61).

KETIKA KEBENARAN MELAWAN KEBIASAAN


Suatu pola hidup atau sikap perilaku yang dihayati secara rutin bertahun-tahun akan menjadi suatu kebiasaan. Baik diri sendiri maupun orang lain sudah terbiasa dengan pola, gaya atau sikap hidup tersebut. Dan tak jarang kebiasaan itu menciptakan kenyamanan. Ketika  orang sudah nyaman dengan kebiasaan, maka perubahan akan sulit terjadi. Inilah yang dikenal dengan istilah stagnan. Maka, sekalipun ada sesuatu yang tidak benar dalam kebiasaan itu, tetap saja orang tidak mau berubah.
Tulisan “Bertahan demi Kebiasaan” merupakan sebuah refleksi bagus soal pertentangan antara kebenaran versus kebiasaan. Penulis mengungkapkan refleksinya dalam bentuk cerita fiktif sehingga sangat menarik untuk dibaca. Dalam cerita tersebut ditampilkan sosok Ibu Yulia yang menghadapi orang-orang yang sudah bertahan dalam kebiasaan. Memang penulis tidak memberikan penilaian secara tegas mana yang baik dan benar. Semuanya diserahkan kepada penilaian para pembaca.
Tentang melawan kebiasaan ini, sangat menarik juga untuk membaca tulisan di blog ini: Paus Fransiskus, Manusia yang Tak Mau Terikat Kebiasaan. Sepertinya tulisan tentang Paus Fransiskus ini dapat menjadi penunjang refleksi orang dalam membaca tulisan “Bertahan demi Kebiasaan”. Lebih lanjut mengenao tulisan ini, silahkan klik dan baca di sini. Selamat membaca!